Meminta Anies Tak Latah Ikuti Jokowi

Rafyq Panjaitan
Wajar Tak Sempurna Hanya Manusia Biasa. User story pikiran pribadi. Genggam Dunia Teman!
Konten dari Pengguna
15 Juli 2018 19:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini momen bersejarah. Pergantian Presiden-Wakil Presiden itu krusial. Kupikir seluruh elemen bangsa akan memfokuskan perhatiannya pada momen 5 tahunan itu.
ADVERTISEMENT
Politisi, gerakan sosial civil society, akademisi, pers dan sebagainya pada 4-10 agustus mendatang akan memeras pikiran mengawal proses transisi kepemimpinan nasional itu.
Dengan political behaviour (perilaku politik) masyarakat kita saat ini, tak ada fanatisme berlebihan pada partai politik (ya wajar saja, fungsi partai politik mandek, pun gagasan kerakyatannya masih di atas kertas, belum menyentuh realitas). Kini, yang masih dominan adalah faktor ketokohan (figur).
Itu penyebabnya, partai politik tak percaya diri mengarungi pertarungan, karena ia mesti selektif memilih figur yang diusungnya. Kendati figur tersebut tak mengalir darah partai, namun menjanjikan kemenangan, ia akan dikerjar partai.
Beberapa pekan ini, nama Gubernur DKI Anies Baswedan santer digadang-gadang salah satu kandidat kuat untuk capres-cawapres 2019. Namanya ada di papan survei, pun riak riak suara kader partai politik.
ADVERTISEMENT
Entah, apa yang dipikirkan para elit partai yang menganggu Anies di kursi DKI 1. Mereka tak jemu menggoda Anies untuk ikut tanding. Bukan kah coattail effect merupakan kemasalahatan bersama partai di Pemilu serentak mendatang?
Kalau beberapa pemikiran menyentil potensi Anies maju di Pilpres akibat pertarungan di Pilgub DKI kal itu berdarah-darah. Aku lebih melihat ini budaya politik yang tak beradab.
Mempermainkan kata Tuhan, demi kekuasaan yang lebih besar. Ada celetukan dari pendukung fanatik Anies: 'loh, Jokowi bisa, kenapa Anies enggak,'. Alamak, aku tinggal jawab aja: 'Jokowi nyemplung ke Jurang, Anies ikut nyemplung juga?'.
Ada kekacauan berpikir dari elit politik kita ini. Menganggap amanah rakyat, embel-embel berjanji atas nama Tuhan sebagai hal yang sepele. Aduh, ini negara gak belajar dari ayahnya. Itu Bung Hatta menyingkirkan kepentingan pribadinya, demi republik. Menepikan 'syahwatnya' yang seharusnya pantas didapatnya di usia seperti itu, demi kemaslahatan rakyat Indonesia di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Hatta menikahi Rahmi sampai Indonesia merdeka, ia menikahi Rahmi di usia 40 tahun. Bayangkan. Anies ini katanya pemikir, akademisi, tokoh berpengaruh di dunia. Semoga ia kembali membaca sejarah para founding parent republik ini.
Ada jawaban yang mengelitik dari Anies saat merespon surat terbuka dari Mahfudz Siddiq, ia menuturkan, seharusnya surat teraebut dialamatkan ke partai politik. Loh, partai politik tidak akan berdaya, kalau kemauan dari Anies sendiri tak ada. Ini bangsa nalarnya sudah hidup, jangan dianggap buta.
"Saya sedang mengurus Jakarta, jadi saya terima kasih saja dapat surat. Tapi surat itu harusnya dikirimkan ke partai-partai karena partai-partailah yang membicarakan," kata Anies di Hotel Four Points, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (12/7).
ADVERTISEMENT
Pernahkah jelas tegas bahasa Anies yang menyatakan ia tak akan maju di Pilpres 2019, dan akan menyelesaikan janjinya sampai tuntas di Jakarta?
Aku percaya Anies memahami etika politik secara mendalam. Tapi, godaan tahta memang bisa membutakan siapapun. Jakarta ibu kota negara permasalahannya, juga masalah Indonesia, karena ia cermin negara.
Kita berharap Anies tak latah ikuti langkah Jokowi. Ini buruk bagi budaya politik ke depan, Anies selalu mengatakan Jakarta menyimpan sejarah Indonesia karena momen penting republik ini berdiri ada di Jakarta, semoga ucapan manisnya itu tercermin dari tindakannya yang komitmen mengurus Jakarta dengan segenap keringatnya. Anies, tetaplah di Jakarta, jangan ikuti nafsu politikmu!