Saatnya Menghemat Energi Umat

Rafyq Panjaitan
Wajar Tak Sempurna Hanya Manusia Biasa. User story pikiran pribadi. Genggam Dunia Teman!
Konten dari Pengguna
8 April 2018 8:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demonstrasi sah dalam demokrasi, tak ada alasan untuk melarang demonstrasi. Khususnya di Indonesia, itu dijamin tegas dalam konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Yang kemudian patut diperbincangkan adalah sebesar apa energi yang dihasilkan dari demonstrasi tersebut, dari siapa, dan 'goal' dari demonstrasi itu apa.
Jumat (6/4) Aksi bela Islam 64 sebagai respon atas puisi Sukmawati sah-sah saja secara demokrasi. Tetapi, mari sejenak mengubah cara berpikir pada sisi yang lain.
Sebagai umat Islam, tentu siapapun akan merasa tersinggung dengan puisi Sukmawati yang secara eksplisit mengkomparasikan atribut peribadatan Islam dengan kebudayaan Indonesia.
Ia keliru jika menganggap Islam telah 'menindih' budaya asli Indonesia, ia telah sesat pikir jika tak memahami pengorbanan umat Islam untuk Indonesia.
Kendati Indonesia bukan negara Islam, namun ada satu hal yang kita sering lupa. Indonesia inheren dengan Islam, pun sebaliknya. Kita tak boleh lupa dekrit presiden 5 Juli 1959, bahwa UUD 1945 secara tidak langsung terinternalisasi oleh Piagam Jakarta yang memuat seruan syariat Islam bagi pemeluknya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kita juga tak boleh lupa semangat resolusi jihad KH Hasyim Asyari pendiri Nahdatul Ulama (NU) yang tak bisa kita ukur jasanya demi kemerdekaan Indonesia, pun ayahnya Sukmawati sendiri, yakni Bung Karno meminta bantuan Ulama kharismatik Aceh, Daud Beureueh untuk turut membantu Indonesia lepas dari penjajahan Belanda. Itu semua memakai semangat juang umat Islam, lantas apa?
Belum lagi perdebatan Tan Malaka dengan Lenin soal PAN Islamisme (1922). Lenin mengatakan bahwa gerakan PAN Islamisme menjadi salah satu musuh komunis Internasional, namun Tan berbeda pendapat, ia menilai semangat PAN Islamisme sama dengan ide sosialisme: menghapuskan imperialisme dan kolonialisme.
Tak selesai menulis di user story kumparan tentang perjuangan jihad umat Islam untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, poinnya bukan disitu. Kita bisa saja membaca itu di buku-buku sejarah. Saat ini yang terpenting, peran umat Islam masih sangat strategis untuk membuat Indonesia 'benar-benar merdeka'.
ADVERTISEMENT
Umat Islam harus mengambil peran penting untuk memerdekakan Indonesia pada 'jilid ke-dua'. Saat ini bukan lagi mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan fisik, namun lebih kepada perlawanan ekonomi.
Tahun 2010, jumlah umat Islam Indonesia tercatat sekitar 87 persen dari total jumlah penduduk. Selebihnya diisi penganut agama lain, seperti kristen, hindu, budha dan sebagainya.
Secara statistik dalam logika mayoritas, tidakkah salah jika dikatakan bahwa kegagalan Indonesia juga kegagalan umat Islam? Kemiskinan Indonesia juga kemiskinan umat Islam?. Maka berbicara Indonesia mestilah berbicara umat Islam.
Kembali pada soal demonstrasi. Energi, emosi, psikologi umat terlalu banyak terbuang untuk kemarahan. Tetapi sedikit untuk perubahan.
Perubahan yang seperti apa, perubahan kelas sosial umat Islam. Seharusnya umat Islam lebih banyak energinya habis untuk membicarakan 'perjuangan kelas'.
ADVERTISEMENT
Mengutip Trjokroaminoto dalam tulisannya 'Islam dan Sosialisme' bahwa semangat Islam itu mirip sosialisme: menentang kesenjangan, ketimpangan dan cinta kemaslahatan umum (kebaikan rakyat).
"Adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu.” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10).
Pada sabtu (7/4), Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa dari 100 orang kaya di Indonesia, paling tinggi 10 orang yang beragama Islam.
"Satu-satunya kekurangan kita di bidang ekonomi, kalau ada 100 kaya di Indonesia, paling tinggi 10 orang yang umat. Selainnya tidak," kata JK dalam ceramah di acara milad ke-66 Yayasan Pesantren Islam (YPI) Masjid Al Azhar, Sabtu (7/4)
ADVERTISEMENT
Data per september 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen).
Masih ada jutaan rakyat Indonesia yang miskin, yang hidup papa merana. Ini menjadi tanggungjawab umat Islam. Umat Islam itu rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta. Jadi, kemiskinan di tempat lain, walaupun bukan basis agama Islam, itu tanggungjawab umat Islam juga.
Bagaimana caranya, harus menjadi orang kaya, penguasa ekonomi. Setelah menjadi pemilik dinasti ekonomi, barulah menjadi umara, pemegang kebijakan.
Kita harus akui, umat Islam masih kalah jauh di dunia 'dagang'. Padahal, Islam mengajarkan pintu rezeki banyak terbuka dari jalur niaga (bisnis/dagang).
ADVERTISEMENT
Perlu digalakkan reorientasi perjuangan umat. Perlu menahan diri untuk hal-hal yang membuang energi banyak. Di sini kesadaran elit umat Islam, ulama, para ustadz penting untuk menghemat energi umat, dan mengalihkannya pada gerakan sosial perjuangan ekonomi.
Islam adalah solusi bagi permasalahan rakyat. Ia menganjurkan penganutnya menjadi orang kaya, tetapi tak boleh lupa 'dimensi sosialnya'. Penetrasi dari dimensi sosial inilah yang akan memancarkan cahaya kesejahteraan yang merata. Apakah umat Islam sudah mengaktualisasikan dimensi sosial itu?
Aksi 212, 411 dan sebagainya paska insiden Al Maidah 51 sebenarnya cukup menjadi episode terakhir dari pengerahan energi besar umat Islam, sudah saatnya kembali ke jalur perjuangan yang hakiki, yakni membentuk peradaban madani yang berdasarkan kesetaraan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Umat Islam bisa melahirkan itu, sebab ajarannya sarat dengan dimensi sosial. Setiap kekayaan, harta, pendapatan, semuanya memiliki dimensi sosial (hak orang lain). Kekuatan umat Islam di sini, memiliki solidaritas yang tinggi, kuat, solid.
Kepada para elit umat Islam, para ulama, ustadz para tuan guru sudahilah mengeluarkan energi umat secara berlebihan. Umat harus dididik menjadi raja ekonomi bukan menjadi ahli emosi. Soliditas umat harus dijaga dan dialihkan pada perjuangan melawan kesenjangan sosial.
Kasus Sukmawati percayakanlah pada aparat penegak hukum, kita harus menyudahi pemborosan energi mengurusi caci maki, kita harus marah pada ketimpangan ekonomi, di situlah seharusnya umat Islam berdiri.