Halal dan Haram Riba dalam Perbankan, Menurut Perspektif Islam di Indonesia

Faishal Rahman
Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
26 November 2022 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faishal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi: Pixabay (www.pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi: Pixabay (www.pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Sedikitnya kesadaran kaum muslim di Indonesia yang masih belum memahami apa arti dari riba maupun esensinya, padahal yang populasi umat muslimnya bisa dibilang terbesar. Bahkan menjadi urutan nomor satu di dunia dengan jumlah yang hampir mendekati angka 280 juta jiwa, masih menganggap sebelah mata akan hal ini.
ADVERTISEMENT
Dalam definisinya itu sendiri riba dapat di artikan sebagai tingkat bunga yang lebih tinggi dari biasanya atau tingkat bunga yang menyesakkan. Dan dalam bahasa arab berarti penambahan, suatu peningkatan atau kelebihan, berapapun kecilnya atas suatu modal pinjaman.
Sedangkan menurut ahli fikih berpandangan dalam pengertiannya, riba adalah pengambilan kelebihan harta atau modal, baik dalam utang pembelian maupun dalam transaksi jual beli. Dan dalam hal ini merupakan sebagai kezaliman dan suatu bentuk ketidakadilan. Adapun hikmah dari pelarangan riba di dalam islam, adalah penghapusan ketidakadilan serta pemenuhan hukum dalam sebuah roda perekonomian.
Sekalipun kebanyakan dari umat islam di Indonesia tidak terbiasa dengan sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga muncul dalam berbagai tanggapan menanggapi fenomena tersebut. Perbedaan pendapat yang ada terhadap masalah ini menimbulkan perbedaan hukum mengenai boleh atau tidaknya atas halal dan haram bagi umat islam.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin melihat kembali dalam ajaran islam dimana Al-Quran itu sendiri melarang segala bentuk muamalah yang mengandung unsur riba. Dan adapun pada prinsipnya riba dapat kita kenali secara jelas dan tegas dalam tiga ayat pada Al-Quran yakni, dalam surat ar-Rum ayat 39, surat Ali Imran ayat 130-132 dan surat al-Baqarah ayat 275-280.
Dengan fenomena tersebut yang menjadi bahasan kali ini adalah, tanggapan dari dua ormas islam terbesar di Indonesia terhadap bunga bank, yaitu Nahdlatul Ulama Bahsul Masail dan Muhammadiyah Majelis Tarjih.
Salah satu keputusan yang paling umum di kalangan umat islam adalah keputusan Muktamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabiah as-Sani 1356 H atau tanggal 25 Maret 1937 nomor 204 dan hasil dari Sidang Majelis Tarjih oleh Muhammadiyah pada tahun 1968 di Sidoarjo.
ADVERTISEMENT
Dengan sehubungannya keputusan Muktamar NU II Surabaya pada tanggal 12 Rabiah as-Sani 1346 H atau tanggal 9 Oktober 1927 nomor 28, yang memutuskan bahwa Undang-Undang Bunga Bank dan hubungannya dengan itu adalah identik dengan hukum hipotek yang ditentukan dalam Muktamar.
Ada tiga pendapat yang dikemukakan atas hasil keputusan Muktamar NU II di Surabaya yaitu:
Adapun petunjuk dalam keputusan Muktamar adalah lebih bijak, kita bisa mengambil pendapat pertama, yaitu yang mengingkarinya. Dan sedangkan menyimpan uang di bank (konvensional), karena hanya untuk tujuan keamanan, maka hukumnya makruh selama uang tersebut digunakan dalam hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Dan sementara itu, salah satu jawaban Muhammadiyah terhadap hasil Majelis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo, mengenai persoalan fikih kontemporer khususnya bunga perbankan dilakukan melalui ijtihad. Majelis Tarjih menggunakan tiga metode untuk melakukan ijtihad:
Bisa kita ketahui di dalam menetapkan undang-undang tentang bunga bank itu sendiri, Majelis Tarjih mengaitkannya dengan masalah riba, Majelis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad. Bagi Muhammadiyah, larangan riba adalah karena adanya eksploitasi atau persekusi terhadap peminjaman dana. Akibatnya jika dikenakan bunga bank maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya adalah riba. Sebaliknya, jika illat tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukanlah riba karena tidak haram.
ADVERTISEMENT