Ferdian Paleka dan Candu Viral Anak Muda

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
19 Mei 2020 9:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tersangka kasus candaan bantuan sosial, Ferdian Paleka dihadirkan saat gelar perkara di Polrestabes Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/5). Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Fauzan
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus candaan bantuan sosial, Ferdian Paleka dihadirkan saat gelar perkara di Polrestabes Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/5). Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Fauzan
ADVERTISEMENT
Dikenal dengan cara viral ternyata menjadi hasrat baru anak-anak muda zaman sekarang. Tidak hanya di Indonesia, kecenderungan juga terjadi di banyak negara dunia. Gejala ini memicu lahirnya aneka perilaku ganjil. “Demi viral” anak-anak muda rela bertingkah aneh, bahkan gak segan abaikan etika dasarnya sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Lihat misalnya, ada dua remaja yang sengaja mandi sambil melaju di atas sepeda motor. Ada selebritas yang minum susu langsung dari puting sapi yang sedang diperah. Bahkan ada yang tega mengerjai ojek online dengan order palsu. Semua perilaku ganjil itu ditempuh supaya videonya ditonton banyak orang.
Memang sih, dorongan jadi terkenal bukan gejala baru. Sejak industri hiburan berkembang dan melahirkan televisi, banyak orang mulai berpikir jadi bintang musik atau sinetron. Dorongan itu bisa dibaca sebagai usaha individu mengaktualisasikan diri. Berbagai jalan pun ditempuh. Ada yang ikut pencarian bakat, casting, dan cara-cara lain.
Sekarang industri televisi sudah diganti medsos. Nah, di tahap inilah dorongan jadi terkenal tereksploitasi hingga taraf yang mencengangkan oleh media-media baru seperti Tiktok, Instagram, dan Youtube.
ADVERTISEMENT
Ada dua penjelasan dasar untuk memahami dorongan anak muda sekarang menjadi terkenal.
Dari perspektif psikologi sosial, popularitas berkaitan dengan rasa keberterimaan. Dengan menjadi populer anak-anak muda bisa merasa menjadi ada. Penerimaan ini menimbulkan rasa nikmat karena sebagian kebutuhan batinnya terpenuhi.
Kedua, popularitas adalah modal sosial yang potensial dikonversi ke dalam berbagai jenis keuntungan. Selain bisa dikonversi ke keuntungan ekonomi (misalnya dengan skema endorse dan iklan), popularitas juga bisa konversi ke keuntungan budaya (disukai, dikagumi, didengar, dan sebagainya). Bahkan popularitas cukup cair untuk dikonversi menjadi modal politik.
Dua dorongan itulah yang kini melahirkan aneka perilaku ganjil di media sosial. Ini jenis perilaku yang sepenuhnya dikendalikan oleh hukum-hukum media sosial (social media driven).
ADVERTISEMENT
Social media driven terjadi karena anak-anak muda hidup pada dunia hibrida. Selain dikendalikan oleh hukum sosial tempat fisiknya berada, ia juga dikendalikan oleh hukum-hukum media sosial tempatnya beraktualisasi diri. Karena pengaruhnya demikian besar, hukum-hukum media sosial semakin superior sehingga menjadi referensi utama anak muda dalam mengendalikan perilakunya.
Mekanisasi Perilaku
Sosiolog Amerika Talcott Parsons (1975) berhipotesis bahwa perilaku manusia adalah proyeksi dari sistem kepribadiannya. Adapun sistem kepribadian dibentuk oleh sistem sosial tempat pribadi tersebut bermukim. Adapun sistem sosial dibentuk oleh sistem yang lebih superior, yaitu sistem budaya. Di dalam sistem budaya inilah terdapat nilai tentang benar dan salah, baik dan buruk, juga bagus dan jelek.
Dalam kondisi normal, empat sistem itu berjalan linear. Artinya, orang cenderung akan berperilaku sesuai keperibadiannya. Kepribadian individu tumbuh sesuai sistem sosial tempatnya hidup. Adapun sistem sosial dibentuk oleh sistem budaya. Linearitas itu menunjukkan kesinambungan harmoni antara matra satu dengan matra lain.
ADVERTISEMENT
Kesinambungan harmonis itu dibentuk melalui proses panjang yang didahului proses sosialisasi, negosiasi, dan kemudian pelembagaan. Ketika sudah dilembagakan, nilai-nilai mendapat legitimasinya untuk diikuti. Di dalamnya ada mekanisme reward and punishment. Perilaku yang mendapatkan reward lingkungan biasanya berkembang. Sebaliknya, perilaku ang mendapatkan punishment akan direpresi sehingga mandek atau bahkan hilang.
Candu viral di kalangan anak muda menunjukkan perilaku individu telah keluar dari pola konvensional itu. Candu viral memotong mata rantai hubungan perilaku dengan sistem lainnya. Kondisi ini mengakibatkan lahirnya perilaku-perilaku baru yang anakronistik. Banyak perilaku yang muncul tanpa rasionalitas budaya. Perilaku itu muncul begitu saja hanya karena dorongan jangka pendek untuk mendapat perhatian masyarakat.
Di media sosial, apa yang disebut “perhatian masyarakat” dikonkretkan sekaligus disimplikasi dalam bentuk jumlah penonton (views) dan like. Semakin banyak penonton dan like yang diperoleh orang cenderung merasa perilakunya berterima. Keberterimaan ini mendorong perilaku baru yang lebih anakronis, ganjil, dan bahkan ekstrem.
ADVERTISEMENT
Dari sisi budaya, mekanisasi perilaku ini sebetulnya kondisi yang mengerikan. Sebab, manusia telah rela menanggalkan piranti budaya sebagai sistem kendali perilakunya dan menggantikannya dengan piranti yang amat mekanis. Piranti budaya dalam bentuk pengetahuan, pikiran kritis, sensitivitas sosial, empati, dan sebagainya diganti oleh sistem baru yang amat mekanis: views dan like. Pada titik tertentu, ini merupakan blunder karena melahirkan penyakit budaya.
Kemampuan Tidak Melakukan Apa-apa
Pandangan bahwa candu viral adalah penyakit budaya mungkin terdengar terlalu kuno. Namun pandangan itu akan terbukti kebenarannya karena perilaku ganjil “demi viral” itu mulai mengganggu nilai-nilai dasar manusia.
DI tingkat pertama, nilai elementer yang telah terganggu adalah logika. Hari ini semakin sulit memahami aneka perilaku ganjil anak-anak muda di media sosial. Banyak perilaku itu yang sulit diterima akal sehat.
ADVERTISEMENT
Pada tahap berikutnya, nilai elementer yang dilanggar adalah etika. Beberapa pencari perhatian telah terbukti melanggar etika publik supaya kontennya mendapat banyak views. Ada yang langsung mendapat sanksi sosial (misalnya anak-anak yang menajdikan kuburan untuk balap trail), namun sebagian besar lolos begitu saja.
Di tahap akhir, orang tidak akan memberi toleransi ketika candu viral telah melanggar empati kemanusiaan. Misalnya, ada anak muda yang membuat order fiktif untuk pengendara ojek online. Di tahap ini orang bukan saja muak dengan perilaku ganjil itu, tapi dengan berbagai upaya akan melawannya.
Meski demikian, kontrol dari luar semacam untuk menyembuhkan penyakit budaya itu tidak akan sepenuhnya efektif. Candu viral hanya mungkin dicegah secara internal dengan mengintervensi pikiran para (calon) pelakunya. Namun cara ini pun tidak mudah karena pengguna media sosial punya pengetahuan, kesehatan mental, dan standar etika yang beragam.
ADVERTISEMENT
Di antara sekian banyak kemungkinan cara mengintervensi pikiran anak muda itu, mengajarkan keterampilan tidak berbuat apa-apa adalah salah satunya. Kita perlu mengajak anak muda untuk sesekali mendiamkan tubuh dan pikirannya. Biarkan tubuh dan pikiran tidak melakukan apa-apa.
Ini keterampilan yang berharga karena membuat anak muda dapat merefleksikan perilakunya. Dengan tidak melakukan apa-apa, anak-anak muda bisa merenungkan apa yang perlu dan tidak perlu dilakukannya. Kaum rebahan pasti setuju banget ide ini.
Rahmat Petuguran dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang