Jalan Tengah Sikapi Bahasa Dakwah

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
12 November 2019 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ustad Abdul Somad (Foto: borobudurnews.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ustad Abdul Somad (Foto: borobudurnews.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bahasa dakwah idealnya digunakan dalam dan untuk komunikasi yang sejuk-menyejukkan. Namun dalam praktik di masyarakat, bahasa dakwah juga kerap menimbulkan kesalahpahaman dan ketegangan. Bahkan pada takaran tertentu, penggunaan bahasa dakwah dapat memicu konflik.
ADVERTISEMENT
Ketegangan semacam itulah yang terjadi usai ceramah Ustaz Abdul Somad beberapa waktu lalu. Ceramahnya tentang salib (dan kemudian catur) menuai kontroversi karena argumentasi dan diksinya kelewat vulgar. Akibatnya, sebagian pendengarnya merasa tersinggung.
Pola demikian sebenarnya bersifat umum. Karena itu, kejadian bisa berulang. Baik pendakwah di kampung-kampung, pendakwah intelektual di perguruan tinggi, maupun pendakwah di televisi bisa mengalami hal yang sama.
Potensi Konflik
Bahasa dakwah berpotensi membawa konflik karena berada dalam tegangan antara bahasa khusus dan bahasa umum.
Pada satu sisi para pendakwah berusaha mengemas dakwahnya dengan bahasa yang khas sesuai karakter jamaah yang dihadapinya. Pendakwah menggunakan retorika, pilihan kata, dan jargon khusus yang berlaku khusus di lingkaran internal jamaah.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, pendakwah sendiri tidak bisa membatasi peredaran konten dakwahnya. Lebih-lebih pada era media sosial seperti sekarang. Ketika ceramahnya direkam dan dipublikasikan ke internet, ceramahnya didengarkan oleh jamaah yang sangat heterogen bahkan anonim. Bahasa dakwah yang disusun untuk karakter masyarakat tertentu justru dikonsumsi oleh masyarakat luas yang sangat acak latar belakangnya.
Dualisme sifat bahasa yang bersifat khusus sekaligus umum inilah yang membuat bahasa dakwah selalu punya potensi menuai kesalahpahaman dan kontroversi.
Multitafsir Kitab Suci
Di luar persoalan praktis komunikasi itu, penggunaan bahasa dalam arena dakwah memang memiliki problematika sejak awal. Hidayat (2006) berpendapat, bahasa kitab suci adalah bahasa Tuhan kepada manusia. Pesan terdalam yang terkandung dalam kitab suci bisa saja tidak dapat digapai logika dan bahasa manusia.
ADVERTISEMENT
Untuk mengungkap pesan dalam kitab suci, manusia "hanya" mengandalkan tafsir. Namun tafsir sendiri menyimpan problematika internal. Selain tidak pernah menyediakan jaminan kebenaran, tersedia aneka tafsir yang memungkinkan manusia memperoleh pemahaman yang berbeda dari teks yang sama.
Dalam internal tiap agama telah dikembangkan skema yang memungkinkan tafsir kitab suci dapat ditulis. Pertama, tidak setiap orang berhak menjadi mufasir. Hanya orang dengan kecakapan intelektual dan kebersihan hati yang berhak melakukannya. Kedua, ada berbagai perangkat keilmuan yang harus dikuasai sebelum menafsir. Selain ilmu bahasa, hermeneutika, dan logika, mufasir juga harus menguasai strategi komunikasi. Dengan begitu, tafsir yang dihasilkannya terpercaya terlindung dari sikap buruk manusia sekaligus bisa tersampaikan kepada umat dengan baik.
Namun, ketika tafsiran mubalig disampaikan kepada umat, tafiran itu harus disampaikan dengan bahasa yang sesuai karakteristik umat. Saat berbicara kepada masyarakat terpelajar di perkotaan, mubalig cenderung menggunakan implikatur, tuturan tak langsung, dan simbolik. Adapun saat berbicara kepada masyarakat kurang terpelajar, mubalig menggunakan bahasa langsung dan harfiah. Untuk membuatnya menjadi menarik, mubalig juga kerap memberdayakan humor, eksemplum, bahkan parodi.
ADVERTISEMENT
Batas-batas itu akan terjaga dalam dakwah tatap muka. Mubalig dapat membaca selera, jangkauan intelektual, dan kemampuan berbahasa jamaahnya sehingga berusaha menyesuaikan diri. Mublig juga dapat merespon kembali respon yang diterimanya dari jamaah sehingga prinsip kerja sama terpenuhi.
Namun ketika ceramah diedarkan melalui media sosial, keuntungan komunikasi itu menjadi tidak berfungsi. Konteks spesifik justru hilang, digantikan oleh praanggapan pribadi. Penonton atau pendengar tidak memiliki akses melakukan konfirmasi. Akibatnya, jika ada perbedaan antara pemahaman antara pendengar dengan maksud pendakwah, keduanya tidak dapat bekerja sama mengatasinya.
Persoalan Idiolek
Di pesantren dan sekolah, para mubalig idealnya telah belajar berbagai keterampilan berkomunikasi. Dengan keterampilan itulah para pendakwah mengantarkan hikmah kitab suci kepada umatnya. Jarak antara diri sebagai orang berilmu dengan masyarakat yang kurang berilmu diatasi dengan retorika.
ADVERTISEMENT
Namun, setiap pendakwah juga merupakan penutur yang karakter kebahasaannya unik. Sama seperti manusia lain, para pendakwah memiliki selera dan gaya bahasa yang khas. Kekhasan itu dibentuk melalui proses kognitif, sosial, dan budaya yang panjang. Satu pendakwah mungkin sangat santun, namun pendakwah lain kurang santun. Satu kata yang dipahami satu pendakwah biasa saja dapat dipandang pendakwah lain vulgar.
Di lingkungan masyarakat yang rukun dan arif, perbedaan antara pesan dengan pemahaman adalah kesenjangan (gap) yang wajar dalam peristiwa komunikasi. Perbedaan selera berbahasa antara pendakwah satu dengan lainnya juga gejala yang wajar. Namun dalam masyarakat yang cenderung saling mencurigai seperti saat ini, perbedaan itu dieksploitasi menjadi pemantik konflik.
Karena itulah, perlu jalan tengah untuk menyikapi masalah bahasa dakwah. Di satu sisi para pendakwah perlu lebih berhati-hati, di sisi lain publik harus menjaga dan mawas diri.
ADVERTISEMENT
Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang, penulis buku Politik Bahasa Penguasa (2016)