Melukis Waktu

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
30 Juni 2021 6:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Sumber: Vox.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Sumber: Vox.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang pergantian tahun, kata atau istilah penunjuk waktu biasanya lebih sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari. Kata dan istilah yang digunakan pun sangat beragam. Penutur dari latar belakang budaya berbeda memiliki dan memilih ungkapan yang berbeda untuk menggambarkan waktu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejumlah sistem bahasa waktu diimajinasikan sebagai sesuatu yang berjalan maju. Imajinasi itu tergambar dari cara penutur bahasa memilah waktu dalam tiga kelompok: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu digambarkan seperti kereta satu arah yang bisa berjalanan menuju masa depan tanpa kesempatan kembali ke masa lalu.
Pada saat yang sama, sejumlah kata yang digunakan manusia juga menunjukkan gambaran waktu yang bergerak membentuk garis spiral. Waktu terus melaju maju namun pada yang sama membentuk gerakan melingkar yang membuatnya mengulangi masa lalu.
Satuan tahun menggambarkan gerak lurus, sementara hari dan bulan menggambarkan gerakan melingkar. Tahun terus bertambah sementara hari dan bulan membentuk siklus. Jika dipadukan, gerakan ini menggambarkan waktu dalam gerak spiral.
ADVERTISEMENT
Bahasa-bahasa di dunia memiliki banyak kosakata untuk menggambarkan satuan waktu: detik, jam, hari, bulan, tahun, hingga milenium. Satuan-satuan itu menggambarkan imajinasi penutur bahasa bahwa waktu bisa dipilah dalam satuan-satuan kecil yang bisa dipisah secara tegas. Pagi dianggap berjarak dengan siang sebagaimana siang dianggap berjarak dengan sore dan malam.
Penggambaran waktu di berbagai bahasa memiliki rujukan objektif yaitu rotasi dan revolusi bumi. Rotasi menciptakan siang dan malam yang dapat dibagi dengan jelas. Adapun revolusi bumi menghasilkan pergantian musim yang di beberapa negara juga memilah waktu dengan jelas: dingin, panas, semi, dan gugur atau musim hujan dan kemarau.
Namun demikian, pembagian satuan waktu tidak selalu merujuk pada kondisi alamiah. Satuan waktu juga bisa dibuat dengan merujuk pada legenda. Orang Jawa dan Bali, misalnya, membagi waktu dalam lima hari pasaran (pancawara) dengan merujuk pada kisah Prabu Aji Saka yang didatangi lima jenis cahaya (dewa) dalam lima hari semedinya.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam bahasa Sunda ditemukan aneka satuan waktu yang dasar asumsinya adalah aktivitas manusia (Dewi, 2014). Contohnya, haneut moyan ‘hangat berjemur’ yang merujuk pada waktu sekitar pukul delapan pagi. Ada juga frasa harieum beungeut ‘wajah teduh’ yang merujuk pada hari mulai teduh selepas matahari terbenam. Juga ada ngaluluh taneuh ‘menginjak tanah’ yang menunjukkan waktu para petani mulai bekerja menggarap tanah.
Fakta kebahasaan ini menunjukkan bahwa gambaran waktu dan waktu merupakan dua hal yang berbeda. Waktu sebagai objek alamiah (waktu objektif) tidak terjangkau manusia. Namun waktu sebagai produk budaya (waktu subjektif) bisa digambarkan sekreatif mungkin sesuai pengetahuan dan kepentingan penutur bahasa.
Masyarakat akademik membuat satuan waktu seperti tahun ajaran baru, awal semester, tengah semester, akhir semester, dan lainnya. Karyawan memilah waktu dengan merujuk kondisi keuangannya: tanggal muda dan tanggal tua. Adapun para rentenir menggambarkan waktu dengan memilah waktu lepas dan waktu tarik. Seluruh satuan waktu itu sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan, tidak terikat oleh waktu alamiah.
ADVERTISEMENT
Waktu subjektif yang lentur membuat penutur memiliki keleluasaan tanpa batas menggambarkan waktu tanpa harus terikat waktu objektif yang ada. Di tangan penutur, bahasa menjadi kuas yang digunakan untuk melukis realitas waktu sesuai imajinasinya. Lukisan waktu itu bisa bercorak realis tapi juga surealis, bergantung pada keyakinan budaya masyarakat.
Kondisi ini mengajarkan bahwa ternyata ada waktu yang hakiki dan ada yang artifisial. Waktu hakiki dibentuk oleh alam tanpa sedikit pun campur tangan manusia. Waktu hakiki ada dan tetap bekerja dengan atau tanpa kesadaran manusia. Keberadaan waktu jenis ini bisa saja lebih kompleks dari yang bisa digambarkan manusia dengan bahasa.
Waktu artifisial adalah waktu yang tidak pernah ada namun dianggap ada karena manusia menganggapnya ada. Jenis waktu ini mengikat manusia melalui hukum sosial. Waktu ini bersifat relatif karena sepenuhnya dikendalikan sistem budaya. Keberadaan dan ketiadaannya ditentukan bahasa yang digunakan untuk menggambarkannya.
ADVERTISEMENT
Rahmat Petuguran, dosen Sosiolinguistik Universitas Negeri Semarang