Sosiolinguistik dalam Dapur Master Cheff Indonesia

rahmat petuguran
Penulis lepas, pengajar dan peneliti bahasa di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
2 Juli 2021 11:36 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rahmat petuguran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosiolinguistik dalam Dapur Master Cheff Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gara-gara "ibu negara", belakangan saya jadi suka nonton Master Cheff Indonesia. Sambil rebahan usai seharian momong Ishvara, anak kami, kami sering nonton reality show itu bareng-bareng.
ADVERTISEMENT
Awalnya sih saya tidak suka, mengira acara semacam itu pasti penuh gimmick ala reality show.
Ya emang bener sih, ada sih gimmicknya. Bentuknya berupa penokohan dan konflik yang kadang tampak dibuat-buat.
Tapi gimmicknya relatif masih bisa diterima karena tidak keterlaluan dan ada rasionalitasnya. Paling tidak tidak ada adegan peserta yang pancinya terbang dengan sendirinya lalu masuk molen pengaduk semen gitu.
Minat saya menonton juga muncul karena edisi ini, dapur Master Cheff Indonesia menampilkan keragaman bahasa yang layak diamati sebagai bahan diskusi.
Karena saya mengajar sosiolinguistik, keragaman karakter dan perangai berbahasa "aktor" di dapur itu bisa jadi bahan perkuliahan sosiolinguistik.
Di sesi ini, keragaman bahasa peserta sangat menonjol. Keragaman ini terutama dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu etnik, gender, dan distribusi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Ada Lord Adi yang dialeknya khas Melayu, ada La Ode yang punya dialek khas Sulawesi (Muna), Olive yang medok nggak ketulungan khas Surabaya, juga Jenny yang punya dialek Sunda.
Fakta bahwa mereka berasal dari daerah berbeda-beda dan menggunakan bahasa Indonesia dengan cara berbeda adalah bukti otentik variasi bahasa.
Variasi bahasa juga bisa kita lihat berdasarkan gender penggunanya. Ada "tokoh-tokoh" yang dikarakterisasi sesuai stereotip gender dalam acara ini.
Thea, misalnya, cenderung "julid". Adapaun Nadia ditampilkan menunjukkan performa bahasa yang lembut, feminin.
Benarkah perempuan memang cenderung lebih julid dari laki-laki? Dan, apa penanda bahasa yang bisa disebut feminin? Itu pertanyaan yang bisa jadi bahan diskusi di kelas. Jawabannya perlu dicari dengan serius supaya tidak terjebak pada jawaban hipotesis yang bias gender.
ADVERTISEMENT
Nah, peragaan lain yang ditampilkan di dapur Master Cheff ini adalah kaitan bahasa dan kekuasaan.
Di sepanjang kompetisi juri ditempatkan sebagai pihak yang paling otoritatif berpendapat dan berkomentar. Posisi mereka sebagai "juri" dan latar sebagai cheff profesional memberi otoritas sosial dan keilmuan sehingga komentar mereka selalu dianggap benar.
Otorisasi itu kemudian diperkuat dengan cara berbahasa, setidaknya dalam dua cara.
Komentar yang detail dengan diksi teknis dari para juri adalah salah satu cara subjek mengotorisasi dirinya. Diksi teknis memberi kesan bahwa pengucapnya punya pengetahuan luas tentang topik tertentu, dalam hal ini adalah masakan.
Selain istilah teknis, otorisasi itu dilakukan dengan penggunaan bahasa Inggris. Para juri sering menyebut bahan, alat, dan teknik memasak tertentu dengan istilah berbahasa Inggris. Ini memberi kesan bahwa juri punya pengalaman internasional.
ADVERTISEMENT
Otoritas besar para juri itulah yang kemudian melahirkan karakter berbahasa tertentu.
Para juri cenderung menyatakan penilaian (ya iya lah, namanya juga juri ๐Ÿ™‚ ). Kecenderungan menilai itulah yang melahirkan bentuk tindak tutur yang khas dalam ucapan mereka; tindak tutur ekspresif.
Distribusi otoritas yang tidak seimbang antara peserta dan juri membentuk pola interaksi tertentu yang tergambar dalam bahasa.
Peserta yang kekuasannya lemah cenderung menyatakan diri dengan ucapan-ucapan singkat yang pendek, misalnya "Iya, Cheff", "Maaf, Cheff", "Baik, Cheff." dan "Terima kasih, Cheff" persis seperti mahasiswa yang membalas pesan-pesan dosennya di grup WhatsApp kelas. ๐Ÿ™‚
Nah, uniknya adalah: peserta yang sama menunjukkan performa bahasa yang berbeda ketika berbahasa di dapur dengan ketika mereka mengomentari jalannya kompetisi sebagai "narator".
ADVERTISEMENT
Mereka lebih ekspresif ketika berkomentar sebagai narator.
Kenapa bisa begitu ya? Kita jawab ntar-ntar aja ah. Laperrrr...
Rahmat Petuguran