Kebiri Kimia: Antara Pembalasan dan Rehabilitasi

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
14 Januari 2021 5:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kebiri Kimia. Foto: qimono
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kebiri Kimia. Foto: qimono
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 7 Desember 2020 lalu, Presiden Jokowi resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2020 yang mengatur tentang tata cara kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
ADVERTISEMENT
PP ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Baik PP dan Perpu ini merupakan aturan turunan dari implementasi UU nomor 35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak.
Melalui PP ini, para pelaku kekerasan seksual yang pernah dipidana oleh kasus yang sama (residivis) akan dikenakan hukuman kebiri kimia dengan cara menyuntikkan zat yang berfungsi untuk menekan kadar hormon seksual pada laki-laki secara kontinyu dengan batas waktu maksimal 2 tahun. Dengan cara ini diharapkan para pelaku kekerasan seksual mendapat efek jera dan menurunkan angka kasus kekerasan seksual, khususnya yang menyasar kepada anak-anak.
Akan tetapi, dalam PP ini ada beberapa problem yang penting untuk diperhatikan, baik dalam substansi maupun pelaksanaannya nanti.
ADVERTISEMENT
Pertama, dari segi hukum pidana, terdapat beberapa teori yang melandasi penjatuhan hukuman terhadap pelaku. Dalam perkembangan hukum pidana modern, dikenal suatu istilah yang disebut sebagai restorative justice (teori keseimbangan). Yaitu di mana penjatuhan hukuman mesti memperhatikan keseimbangan dan pemulihan hak antara pihak pelaku dan korban, di mana kedua belah pihak dijamin hak-haknya untuk mendapatkan rehabilitasi, dan restorasi demi mengembalikan kondisi kedua belah pihak seperti normal sebelum terjadinya kasus.
Dalam PP no 70 ini penjatuhan hukuman terhadap pelaku menggunakan paradigma klasik yaitu retributive justice (teori pembalasan). Di mana penjatuhan hukuman kepada pelaku semata-mata hanya sebagai bentuk balasan setimpal terhadap perbuatan yang terpidana lakukan. Selain merupakan sebuah kemunduran karena kembali menggunakan paradigma klasik dalam hukum pidana, PP ini juga mengabaikan aspek penting dari perlindungan dan rehabilitasi korban yang terdampak oleh tindakan kekerasan, dengan hanya berfokus kepada penjatuhan hukuman kepada pelaku semata.
ADVERTISEMENT
Selain itu PP ini juga memberikan hukuman pidana pokok dan pidana tindakan secara sekaligus secara bersamaan. Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terdapat pemisahan antara pidana pokok dengan pidana tindakan (dalam hal ini adalah kebiri kimia) berdasarkan umur pelaku. Kedua jenis hukuman ini sifatnya alternatif dan bukan kumulatif, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara bersamaan secara sekaligus, melainkan hanya dapat dijatuhkan satu jenis hukuman saja.
Kedua, implementasi hukum kebiri kimia ini bertentangan dengan hukum internasional, yang tertulis dalam konvensi hak-hak sipil dan politik (ICCRP) serta konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (UNCAT).
Dalam kedua konvensi yang telah diratifikasi ke dalam UU nomor 12 tahun 2005 dan UU nomor 5 tahun 1998 tersebut, segala bentuk hukuman berbentuk fisik atau menyasar badan (Corporal Punishment) yang bersifat kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dilarang untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, meskipun pengebirian kimia dilakukan dengan suntikan zat kimia, dan bukan kebiri dalam bentuk fisik. Efek dari kebiri kimia yang mengurangi kadar hormon testosteron dalam tubuh, dapat menimbulkan beberapa gejala sampingan berupa tulang keropos, berkurangnya suplai zat darah merah dalam tubuh, serta menurunnya fungsi kognitif, hingga potensi hilangnya kemampuan reproduksi seseorang. Potensi efek samping ini juga menjadi pertimbangan penting sebagai dasar untuk memikirkan kembali penerapan hukum ini.
Ketiga, dalam praktik kebiri kimia di negara lain. Penjatuhan hukuman kebiri kimia setidaknya memiliki 3 sifat implementasi yang berbeda. Ada yang sifatnya mandatory (wajib), discretionary (pilihan), serta voluntary (sukarela). Dalam banyak kasus di negara lain, penjatuhan hukuman kebiri tidak dapat dilakukan bila tidak ada persetujuan dari pelaku itu sendiri. Hal ini disebabkan karena penjatuhan hukuman kebiri lebih ditujukan sebagai bentuk pendidikan dan rehabilitasi bagi pelaku atas kesadarannya sendiri, bukan sebagai bentuk balasan atas perbuatan yang ditetapkan oleh hakim secara sepihak.
ADVERTISEMENT
Di antara negara-negara yang telah menerapkan hukuman kebiri kimia, hanya Korea Selatan yang menerapkan model mandatory dalam penjatuhan hukumannya. Negara-negara lain seperti Amerika serikat, Inggris, dan Polandia menerapkan model penjatuhan hukuman kebiri yang bersifat voluntary alias sukarela.
Keempat, ada permasalahan dalam menentukan siapa pihak yang berwenang untuk menjalankan hukuman ini di Indonesia. Secara praktik hukuman kebiri ini bertentangan dengan kode etik kedokteran dan sumpah jabatan dokter, karena efek-efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh hukuman kebiri ini bertentangan dengan tugas dokter untuk merawat dan menyelamatkan pasien. Dan dalam praktik kedokteran, segala tindakan medis yang dilakukan kepada pasien mesti mendapatkan persetujuan dari pasien tersebut, sedangkan persetujuan ini tidak kita temui dalam pengaturan PP ini.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, pada tahun 2016 lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku wadah perkumpulan resmi profesi dokter di Indonesia, menolak apabila dokter dilibatkan sebagai eksekutor dalam praktik hukum kebiri kimia ini, karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas.
Kelima, praktik kebiri kimia ini akan mengeluarkan ongkos biaya yang tidak kecil. Dengan rata-rata satu kali suntikan senilai 500 ribu hingga 1,5 juta. Maka biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk melakukan kebiri kimia selama 2 tahun, dengan asumsi satu bulan sekali suntikan adalah sebesar 12 juta hingga 36 juta per orang. Jumlah yang tentunya tidak sedikit dan berpotensi akan membebankan anggaran dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Perumusan kebijakan hukuman kebiri ini masih memiliki kekurangan dan catatan seperti yang sudah disampaikan di atas.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin utama yang penting untuk disempurnakan adalah aspek pemulihan dan perlindungan dari korban, serta rehabilitasi dari pelaku sebagai residivis secara proporsional dan humanis sesuai dengan pendekatan restorative justice. Serta bagaimana upaya menjadikan penyelesaian pidana sebagai jalan terakhir (ultimum remidium) untuk kasus kekerasan seksual bagi pelaku di bawah umur dan mengupayakannya dalam ranah non-litigasi (diversi). Keduanya merupakan amanat penting yang mendasari prinsip dari sistem peradilan pidana anak.