Konten dari Pengguna

Soal Presidential Threshold

20 Januari 2022 22:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua tahun lagi, Indonesia akan merayakan pesta demokrasi tahunannya untuk memilih presiden dan calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu). Ketika mendekati masa pemilu seperti saat ini, biasanya ada dua tema tahunan yang ramai dibicarakan oleh publik.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah soal siapa saja nama-nama yang kemungkinan akan maju dalam kontestasi pemilu. Kedua, yang masih menjadi perdebatan sengit sampai sekarang, adalah pro kontra mengenai adanya presidential threshold sebagai syarat pencalonan nama-nama calon presiden dan wakil presiden.
Sejak disahkannya Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, ada perubahan yang signifikan dalam pengaturan presidential threshold dalam sistem pemilu di Indonesia.
Dalam pasal 222 undang-undang tersebut, diatur ketentuan bahwa untuk mencalonkan nama calon presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki paling sedikit 20% dari total kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Ketentuan presidential threshold yang diatur dalam undang-undang pemilu memang merupakan konsekuensi hukum yang muncul dari adanya klausul undang-undang dasar 1945 pada pasal 22E ayat (6), yang mengamanatkan bahwa mekanisme pemilihan umum diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu jugalah mahkamah konstitusi, dari 13 gugatan judicial review yang sejauh ini diajukan oleh pihak yang berbeda, semuanya berakhir dengan putusan yang sama, yaitu penolakan untuk menghapus ketentuan presidential threshold dari undang-undang pemilu.
Mahkamah konstitusi dalam putusannya, beralasan bahwa pembentukan undang-undang pemilu merupakan kebijakan open legal policy. Di mana ketika undang-undang dasar tidak secara spesifik mengatur tentang suatu hal, maka kewenangan untuk membuat peraturan berada pada pembuat Undang-undang.
Yang dalam kasus Undang-undang pemilu, merupakan kewenangan dari DPR serta presiden. Kesepakatan dan kebijakan politik antara keduanya lah yang menentukan bagaimana substansi undang-undang pemilu ingin diatur.
Bila dilihat dari perspektif teoritis, ada dua kondisi di mana open legal policy dapat dilakukan. Yaitu ketentuan dalam undang-undang dasar memiliki substansi hukum yang sifatnya dapat dipilih salah satu. Kedua, ketika undang-undang dasar secara langsung memberikan kewenangan untuk menafsirkan pasal dan ayat dalam undang-undang dasar kepada pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT
Meskipun open legal policy memberikan kewenangan dan keleluasaan untuk menentukan norma hukum tertentu, pembuat undang-undang tetap terikat oleh batasan-batasan yaitu: Substansi dari undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan secara jelas dengan isi undang-undang dasar, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Secara substansi dalam undang-undang dasar 1945, ketentuan dasar yang mengatur soal mekanisme pemilihan presiden dan calon presiden diatur dalam pasal 6A ayat (2) dan (3). Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Kemudian untuk terpilih, pasangan calon perlu untuk mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam rumusan pasal 6A tersebut, ada dua konsep ambang batas (threshold) berbeda yang diatur sekaligus. Ambang batas mengenai pencalonan serta ambang batas mengenai keterpilihan.
Bila ditafsirkan secara gramatikal, undang-undang dasar menetapkan bahwa satu-satunya ambang batas minimal sebuah partai dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden, adalah partai tersebut memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilu. Jika memenuhi syarat tersebut, maka siapa pun partai dapat mengusulkan bakal nama calon presiden dan wakil presiden.
Dalam praktiknya, undang-undang dasar membolehkan partai untuk mengusulkan calonnya secara individual atau memilih untuk berkoalisi dengan partai lain. Adanya presidential threshold membatasi kesempatan masing-masing partai untuk dapat mencalonkan nama-nama bakal calon presiden dan wakil presiden.
Partai-partai pun mau tidak mau terpaksa untuk berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi ambang batas 20% tersebut jika ingin mencalonkan nama presiden dan wakil presiden. Karena realitanya, tidak ada partai yang mampu untuk memenuhi ambang batas tersebut secara individual.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, selama dua edisi pemilu sebelumnya, nama-nama calon presiden dan wakil presiden diisi oleh nama-nama yang relatif sama. Polarisasi yang terjadi di kalangan masyarakat akibat pemilu yang kita saksikan sebelumnya, salah satunya disebabkan oleh terbatasnya opsi pilihan nama bakal calon presiden dan wakil presiden, yang cenderung mengerucut kepada dua nama pasangan calon saja.
Tidak cuma membatasi nama-nama calon yang bisa diusulkan, perilaku partai politik yang dipaksa harus berkoalisi untuk maju dalam pemilu, dapat meningkatkan kemungkinan adanya praktik bagi-bagi jabatan setelah pemilu selesai. Semakin besar koalisinya, maka akan semakin besar pula tekanan bagi presiden dan wakil presiden terpilih untuk melakukan politik balas budi pada partai-partai yang telah mengusung mereka pada pemilu.
ADVERTISEMENT
Selain itu sejak 2019, sistem pelaksanaan pemilu kita menerapkan metode pemilu serentak. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, di mana pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan memilih eksekutif (presiden dan wakil presiden) dilaksanakan secara terpisah.
Dalam format pemilu yang terpisah, perolehan kursi DPR dapat diketahui dengan pasti karena pemilihan legislatif selalu didahulukan dari pemilihan eksekutif pada tahun yang sama. Akan tetapi ketika format pemilu berubah menjadi pemilu serentak, relevansi dan justifikasi adanya presidential threshold menjadi semakin lemah karena penetapan jumlah kursi DPR harus merujuk pada perolehan pemilu 5 tahun sebelumnya.
Dalam jangka waktu tersebut, komposisi dan dinamika politik tentu banyak berubah. Partai yang menduduki kursi mayoritas di DPR pada pemilu 5 tahun sebelumnya, belum tentu akan mendapatkan jumlah kursi yang sama pada pemilu selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Bilamana argumen yang dikemukakan untuk mendukung adanya presidential threshold adalah untuk mendukung sinergi antara eksekutif dan legislatif, maka dengan skema pemilu serentak, ada kemungkinan bahwa partai mayoritas yang dapat mencalonkan nama calon justru menjadi partai minoritas di pemilu selanjutnya. Hal yang tentunya kontradiktif dengan tujuan awal diadakannya presidential threshold.
Asumsi mengenai sinergi antara eksekutif dan legislatif sebagai alasan utama tetap dipertahankannya presidential threshold ini juga menunjukkan adanya kesalahpahaman dalam memahami konsep sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem presidensial, posisi lembaga eksekutif dan legislatif berada dalam kedudukan yang setara. Kedua lembaga tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Meskipun komposisi kursi di DPR diisi oleh partai oposisi, tidak serta merta presiden dapat dijatuhkan karena rendahnya dukungan dari legislatif/parlemen. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer di mana presiden/perdana menteri dapat dijatuhkan kapan saja jika dukungan dari parlemen sudah tidak ada.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu juga, dalam pasal 7B yang mengatur tentang mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, syarat utama yang perlu dibuktikan adalah adanya pelanggaran hukum presiden/wakil presiden yang diputus oleh mahkamah konstitusi, lalu kemudian diserahkan ke MPR untuk diambil keputusan final.
Undang-undang dasar kita mengedepankan proses pembuktian hukum dibandingkan proses politik untuk memberhentikan presiden/wakil presiden. Hal ini tentu bertujuan untuk menjamin kestabilan masa jabatan presiden agar tidak terpengaruh oleh gejolak politik dengan lembaga legislatif.
Dengan demikian, adanya presidential threshold justru sama sekali tidak dibutuhkan dalam pemilu. Karena secara praktiknya hal ini cenderung digunakan sebagai alat bagi partai-partai di parlemen dan presiden/wakil presiden petahana untuk mempertahankan status quo kekuasaannya pada periode pemilu selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi kekhawatiran mengenai potensi munculnya partai-partai tidak kompeten yang dapat mengusulkan nama calon presiden/wakil presiden, KPU dapat menerapkan syarat administratif dan metode verifikasi yang lebih ketat agar sebuah partai diperbolehkan mengikuti pemilu.
Cara ini akan jauh lebih efektif dan tepat sasaran, daripada melakukan mekanisme seleksi melalui jumlah suara yang diperoleh partai sebelumnya. Juga agar tetap membuka kesempatan bagi partai-partai baru untuk tetap dapat berkontribusi dalam pemilihan presiden/wakil presiden.
Dihapusnya presidential threshold juga tidak akan mengakibatkan legitimasi presiden/wakil presiden yang terpilih menjadi berkurang karena persentase suara pemilu yang masuk kemungkinan akan terbagi. Kembali ke penjelasan di awal, selain ada ambang batas soal pencalonan nama, terdapat ambang batas persentase suara yang perlu dipenuhi agar calon presiden/wakil presiden dapat terpilih.
ADVERTISEMENT
Implikasinya, pemilihan presiden/wakil presiden dapat dilaksanakan lebih dari satu putaran. Putaran pertama berisi seluruh nama pasangan calon yang diusulkan, dan putaran kedua berisi dua nama pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi di putaran sebelumnya. Hal ini akan menjamin bahwa ambang batas persentase suara dapat terpenuhi dan legitimasi presiden/wakil presiden tetap kuat karena tetap dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Dengan berbagai macam dinamika dan evaluasi dari pemilu sebelumnya, akan lebih baik bila ketentuan presidential threshold ini dipertimbangkan untuk dihapus secara keseluruhan. Untuk menjamin kualitas pelaksanaan pemilu kita agar menjadi pesta demokrasi yang benar-benar terbuka untuk memilih pemimpin terbaik di Indonesia.