Rintihan Korban Kekerasan Anak

Rama Fatahillah Yulianto
Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI
Konten dari Pengguna
20 Desember 2020 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Fatahillah Yulianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : www.tirto.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : www.tirto.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang memiliki dampak fisik maupun psikologis yang mengakibatkan luka traumatik kepada anak, baik dilihat secara mata telanjang atau dilihat dari akibatnya baik bagi kesejahteraan fisik maupun mental psikologis anak. Kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, terlebih bagi mereka yang memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat bahkan memiliki hubungan darah, seperti ayah dengan anak, guru dengan murid, kakak kelas dengan adik kelas, dan sebagainya. Seseorang melakukan kekerasan pasti didasari suatu latar belakang, baik disengaja maupun tidak disengaja, misalnya memiliki permasalahan yang cukup kompleks, sehingga melampiaskan amarah kepada yang bersangkutan, kondisi sosial yang dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki amarah tinggi, dan sebagainya. Hal ini yang sebenarnya harus dikelola secara baik oleh seseorang, khususnya para orang tua agar tidak memberikan kekerasan kepada anak, karena baik disengaja maupun tidak, dampak dari kekerasan itu sendiri menimbulkan berbagai macam dampak buruk bagi anak yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Menurut World Health Organization (WHO) ada beberapa tingkat keparahan (severity) dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak. Pertama, tingkatan fatal, kondisi ini dimana anak diberikan kekerasan fisik (physicial abuse) yang menyebabkan terjadinya kematian. Kedua, tingkatan serius, kondisi dimana menyebabkan kerusakan jangka panjang yang signifikan, diantaranya hilangnya kesadaran, luka bakar yang mencederai 10% dari anggota tubuh, serta kondisi fisik yang memerlukan penanganan dari rumah sakit. Selanjutnya, tingkatan sedang, kondisi dimana anak mengalami trauma fisik yang sedang, diantaranya gejala fisik yang bisa diamati, kemungkinan dapat disembuhkan dalam kurun waktu 2-3 hari, contohnya memar, lecet, dan luka bakar kurang dari 10%. Dampak yang dihasilkan dari kekerasan memang luar biasa, baik fisik maupun psikologis, tak heran jika anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan ketika kecil, akan berubah menjadi predator kelak jika tidak diberikan suatu rehabilitiasi atau resosialisasi.
ADVERTISEMENT
Kekerasan diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yakni kekerasan berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan emosional atau psikis. Dibandingkan jenis abuse (penganiayaan anak) yang lain, kekerasan fisik memang yang paling mudah diamati, dikarenakan menimbulkan luka fisik yang kentara. Faktor-faktornya pun beragam, mulai dari harapan tak sesuai kenyataan, masalah keuangan, gangguan emosional, dan sebagainya. Menurut Saptandari (2002) selain dampak pada diri sendiri, ternyata anak-anak yang mengalami kekerasan di semasa kecilnya berpeluang untuk meneruskan warisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi serta mematenkan pernyataan bahwa orangtua mempunyai hak untuk melakukan kekerasan kepada anaknya.
Kendala selama ini di kehidupan nyata adalah menggali informasi mengenai kekerasan anak itu sendiri, karena para korban kekerasan biasanya akan melakukan penarikan diri dan menutup diri. Jadi ketika diberikan kekerasan, anak-anak yang bersangkutan sebenarnya mengalami ketakutan yang luar biasa kepada para pelaku kekerasan, disamping itu mereka juga mengalami ketakutan saat akan melaporkan tindakan tersebut, karena hal itu dianggap sebagai aib dan mereka khawatir mendapat perlakuan yang lebih kejam lagi atau bahkan balas dendam dari para pelaku yang telah dilaporkan tersebut. Hal inilah yang membuat rantai kekerasan kepada anak tidak bisa terputuskan, karena seiring bertumbuh dan berkembangnya anak, di benak mereka tertanam suatu pengalaman yang tak terlupakan yang lambat laun akan menjadi sebuah ajang balas dendam atau revenge kepada seseorang yang dianggap lemah atau bahkan kepada anaknya sendiri kelak.
ADVERTISEMENT
Anak-anak yang dengan sengaja diberikan kekerasan atau dalam hal ini dapat bermakna kurang diberi kasih sayang dapat mengalami perkembangan struktur ego yang tidak stabil, sehingga berpeluang besar untuk terjadinya psikosis di kemudian hari. Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan pada anak berakibat sangat serius kepada anak yang bersangkutan, biasanya mereka akan bersikap pasrah dan melawan keadaan, sehingga proses tumbuh kembangnya akan menjadi orang yang bermasalah dan acuh terhadap lingkungan sosialnya
Penanganan yang harus diberikan kepada anak korban penganiayaan (child abuse) adalah memastikan anak-anak tersebut terbebas dari trauma yang berkepanjangan, hal yang diberikan tidak hanya proses rehabilitasi fisik, namun diperlukan proses resosialisasi untuk menyembuhkan luka batin yang telah dikubur selama beberapa tahun ke belakang. Tidak hanya pelaku kekerasan yang dilakukan assessment, kemudian diberikan pembinaan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), namun lebih dari itu, korban pun perlu diselamatkan kondisi kejiwaannya, karena jika tidak secepatnya ditangani akan berpeluang untuk menjadi pelaku tindak kekerasan ketika mereka dewasa. Dilansir melalui studi yang dilakukan oleh Unicef yang berjudul “Behind Close Doors : The Impact of Domestic Violence on Children” anak-anak umumnya tumbuh dan berkembang dalam arah yang penuh dilemma dan problematik. Mereka akan sulit berkonsentrasi yang tentu akan mengganggu proses belajar anak, perasaan cemas, atau bahkan depresi.
ADVERTISEMENT
Concern utama yang harus dilakukan adalah memutus rantai tindak kekerasan khususnya kepada anak, karena mereka merupakan generasi emas penerus bangsa yang harus dibina dan didik baik akademik maupun karakternya. Perlu diketahui, kekerasan yang telah ter-internalized menjadi sebuah kultur dalam benak mereka, jika tidak dapat didekonstruksi dan direkonstruksi kembali dengan benar, mereka akan membenarkan hal yang biasa, bukan membiasakan hal yang benar. Agenda ini harus selalu menjadi hal yang utama agar kasus-kasus serupa tidak terus terjadi dalam kehidupan di Indonesia.