RUU Larangan Minuman Beralkohol, Overkriminalisasi?

Rama Fatahillah Yulianto
Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI
Konten dari Pengguna
23 November 2020 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Fatahillah Yulianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumber Gambar : www.penatimor.com
Dewan Perwakilan Rakyat selalu dihadapi oleh persoalan yang serius dan tak henti-hentinya menjadi sorotan publik, pasalnya esensi dari kata DPR adalah ‘perwakilan’, dimana mereka adalah perwakilan dari rakyat yang menjalankan tugasnya sebagai badan legislatif, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Perlu diketahui hakikat dari kata ‘legislasi’ adalah sebuah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur ketahanan lainnya, artinya DPR mempunyai tugas yang benar-benar besar dan kompleks, intinya DPR sebagai pembentuk sebuah legislasi yang nantinya digunakan oleh masyarakat sebagai koridor dalam menjalani kehidupan. Lantas apakah regulasi ini tetap akan disahkan meskipun masyarakat menolaknya?
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), dalam menjalankan kehidupan, masyarakat Indonesia selalu dibatasi oleh norma-norma hukum yang berlaku, yakni konstitusi dan regulasi. Tujuan dari norma adalah untuk ditaati, dan untuk ditaati diperlukan suatu sanksi, agar masyarakat memiliki kiat-kiat untuk mematuhi. Indonesia menganut semboyan atau motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara Indonesia menyadari masyarakatnya memiliki beraneka ragam budaya, ras, suku, dan agama, dan masing-masing individu memiliki prinsipnya masing-masing, seperti minuman beralkohol haram bagi umat muslim, tetapi bagi orang non muslim sah-sah saja, selama tidak menyebabkan pengaruh yang berdampak bagi orang lain dan lingkungan. Menurut Direktur Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Erasmus Napitupulu sebagimana dikutip dari CNN Indonesia mengatakan bahwa pendekatan pelarangan minuman beralkohol dapat memberikan dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia karena bersifat prohibitionist atau yang berarti larangan buta, sebagaimana yang terjadi pada tindak pidana narkotika, dimana pendekatan prohibitionist pada narkotika bukannya berdampak efektif malah negatif yang didapatkan, hingga saat ini narkotika pun terus beredar meskipun telah dimusnahkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu pasal dari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang larangan minuman beralkohol khususnya pasal 2 menyebutkan bahwasannya larangan ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, dan menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari gangguan oleh peminum minuman beralkohol. Memang jika kita menelisik jauh lebih dalam, peraturan tentang minuman beralkohol telah dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pasal 300 dan 492), alhasil tujuan utama adalah pemidanaan. Akankah kita terus menerus memasukkan seseorang ke penjara? Sedangkan kondisi penjara kita saat ini tidak baik-baik saja, di sisi lain kita berusaha menegakkan metode keadilan baru, yakni Restorative Justice. Selanjutnya yang harus diperhatikan apakah hal ini tidak menjadi overkriminalisasi? Sekali lagi, ini masih berupa Rancangan Undang-Undang, tidak ada salahnya menciptakan suatu inovasi yang out of the box, akan tetapi yang perlu diingat adalah menjalankan kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rancangan ini perlu dibahas kembali, menurut perkataan Menteri Hukum dan HAM yakni Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, M.Sc., Ph.D bahwasannya regulasi ini masih sebatas rencana, itu artinya masih banyak blank point yang dapat diperbaiki, atau bahkan kita menggunakan peraturan yang lama saja, yakni KUHP dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini bukan krisis mengosumsi minuman beralkohol, tetapi krisis akan kepastian hukum. Indonesia sangat membutuhkan konsistensi dan ketegasan aparat dalam pelaksanaannya. Negara kita juga beragam, masing-masing memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda, dimana tradisi itu sudah lama mendarah daging di dalam diri tiap individu, tidak bisa dipukul rata dalam satu kebijakan. Solusi dari permasalahan ini adalah ‘pengendalian masyarakat’ bagaimana metode pembinaan bagi sesama masyarakat akan pentingnya menjaga kenyamanan dan keamnan lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Beccaria, yakni adanya Spirit of the law yang menyebabkan beberapa putusan hakim tidak sama antara satu dengan yang lain, inilah pentingnya keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman. Sebenarnya jika menengok permasalahan ke belakang, masih banyak beberapa permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, contohnya kekerasan seksual, dimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dihapuskan dari agenda Prolegnas tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Pihak legislatif harus belajar dari peristiwa yang terjadi sebelumnya, keterbukaan adalah hal yang utama, diantaranya sosialisasi, edukasi, dan penampungan aspirasi, mengingat para anggota legislatif merupakan wakil dari rakyat yang seharusnya bisa mewakili aspirasi dari rakyatnya. Politik Hukum di Indonesia memang kental dengan budaya, budaya yang dimaksud yakni dipengaruhi oleh pilihan-pilihan. Tanpa kita sadari politik hukum memiliki nilai kepentingan dan hubungan kausalitas, diantaranya politik yang membuat suatu regulasi (hukum), sedangkan hukum ada untuk membatasi kegiatan politik agar tidak terjadi kesewenang-wenangan (ego sektoral). Membuat suatu kebijakan pasti menuai pro dan kontra, itu semua karena masyarakat Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga tidak ada suatu regulasi yang tidak menuai pro dan kontra, namun alangkah baiknya, para pembuat kebijakan, dalam hal ini adalah legislatif, seminimal mungkin dapat diatasi dan hasil akhirnya dapat disahkan. Proses perumusan kebijakan hingga outputnya dapat dihasilkan suatu regulasi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu proses yang sangat panjang ini seharusnya dapat dimaksimalkan untuk mengoptimalkan tiap-tiap kebijakan, sehingga dapat meminamilisir kelemahan yang ada pada regulasi tersebut
ADVERTISEMENT