Nasib Berbeda Jadi Juru Parkir di Jatinangor

Rama Paramahamsa
Saya adalah seorang mahasiswa program studi Jurnalistik, Unpad yang tertarik pada bidang kepenulisan.
Konten dari Pengguna
29 April 2022 12:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Paramahamsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asep sedang mengatur kendaraan yang melintasi Jalan Raya Jatinangor pada Senin, (18/04). Foto: rama paramahamsa
zoom-in-whitePerbesar
Asep sedang mengatur kendaraan yang melintasi Jalan Raya Jatinangor pada Senin, (18/04). Foto: rama paramahamsa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di bawah gubuk dengan ukuran 2 x 2 meter, Eka duduk bersama empat orang kawannya. Dengan peluit yang tergantung di lehernya, Eka menghisap satu batang sigaret yang ia ambil dari meja di depannya. Kopi hitam yang masih panas dan gitar yang ia mainkan, menjadi kawan setia bagi Eka dan kawan-kawannya menunggu hadirnya pelanggan yang ingin membeli santapan untuk sahur mereka. Gedung tinggi nan megah di hadapan gubuk tersebut menjadi saksi bisu tentang bagaimana perjuangan mereka untuk menjaga motor dan segala isinya dari niat jahat manusia. Bagi Eka dan kawan-kawannya, menjadi juru parkir bukan sekadar mengarahkan motor pelanggan ke tempat yang seharusnya, kemudian menarik ongkos dari motor mereka. Bagi mereka, menjadi juru parkir adalah pula menjadi orang yang bertanggung jawab atas segala yang telah pelanggan titipkan kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Setiap menjelang sahur, Jalan Ciseke selalu disesaki oleh mereka yang ingin secara taat menjalankan ibadah puasanya. Di Warung Pujasera, ada lebih dari 50 pelanggan hadir setiap menjelang sahur. Eka dan kawan-kawannya mengisi tugas tersebut, mereka menjadi juru parkir di warung Pujasera dan sekitarnya.
“Untuk 3 orang, paling sekitaran 250-an lah. Itu dari awal buka, sampai sahur,” tutur Eka menjelaskan pendapatan mereka setiap harinya ketika Bulan Ramadhan.
Eka menjelaskan bahwa pendapatan yang mereka terima harus pula diserahkan kepada dua pihak, yaitu pemilik lahan Pujasera dan Kas Karang Taruna. Eka pula menjelaskan, pendapatannya pribadi sebagai juru parkir hanya mencapai angka 70 ribu rupiah, sudah terpotong biaya yang harus mereka serahkan kepada pemilik lahan Pujasera dan Kas Karang Taruna.
ADVERTISEMENT
“Iya, alhamdulillah aman,” ucap Eka sembari tersenyum dengan ramah sembari menjelaskan bahwa pemasukan yang ia terima masih dapat menghidupi keluarganya.
Sementara, nasib berbeda diterima oleh Asep yang pula menjadi juru parkir Dishub sejak sebelum pandemi hadir di Indonesia. Ia bertugas sebagai juru parkir di Jalan Raya Jatinangor. Dengan kemeja oranye hitam dan baju lengan pendek yang ia gunakan, Asep berusaha mengatur jalannya lalu lintas yang mengalami kemacetan beberapa detik akibat dari mobil yang ia arahkan untuk terparkir dengan rapi di lahan parkirnya.
“Jadi lebih aman, perbulan ada, setoran juga ada,” ucap Asep menjelaskan alasannya memilih menjadi juru parkir resmiketimbang juru parkir lepas.
Selain alasan tersebut, alasan lain mengapa Asep memilih menjadi juru parkir karena pekerjaan tersebut adalah turunan dari orang tuanya.
ADVERTISEMENT
“Kalau ini mah dari dulu, dari tahun 2000, yang ngelola orang tua. Cuma, orang tua kan udah tua, umurnya udah 74, cuma ke sini kadang-kadang, A,” tutur Asep kembali menjelaskan bahwa tidak pernah ada konflik perebutan lahan antara juru parkir yang ada karena memang sejak tahun 2000 sudah dikelola oleh orang tua Asep.
Pendapatan yang ia dapatkan sebagai juru parkir Dishub dapat mencapai angka 1,5 juta rupiah per bulannya. Ongkos tersebut belum termasuk uang yang ia terima dari para pelanggan yang telah ia jaga motornya. Selama Bulan Ramadhan, Asep bisa mengantongi 50 ribu hingga 100 ribu rupiah setiap harinya hanya dari hasil menjaga motor pelanggannya.