Ironi Kesalahan Bahasa: Umum karena Maklum

Nismara Paramayoga
Hanya seorang biasa.
Konten dari Pengguna
26 Maret 2018 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nismara Paramayoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret kamus bahasa (Foto: Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Potret kamus bahasa (Foto: Getty Images)
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari, saat pelajaran Bahasa Indonesia, saya bertanya kepada guru saya mengenai penggunaan kata yang benar, "apakah sertifikat atau sertipikat?". Pertanyaan itu didasari rasa heran saya ketika melihat spanduk penyerahan sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo kepada masyarakat di suatu daerah. Di sana tertulis "Penyerahan Sertipikat Tanah", bukan "Penyerahan Sertifikat Tanah".
ADVERTISEMENT
Kira-kira seperti ini bunyi percakapan kami: Saya: " Bu saya ingin bertanya, sebenarnya dalam Bahasa Indonesia yang benar itu sertipikat atau sertifikat?" Lantas guru saya menjawab, Guru: "Yang benar itu ya sertifikat. Kalau sertipikat itu digunakan oleh orang tua pada zaman dahulu. Zaman sekarang sudah tidak ada lagi orang yang menggunakan” Saya: “Tetapi kemarin saya melihat beberapa kali dalam acara penyerahan sertifikat oleh Presiden Joko Widodo di berbagai daerah, tertulis sertipikat, bukan sertifikat, Bu.” Guru: “Ya tidak mungkin, Nak. Tidak mungkin pemerintah salah” Saya: “Nyatanya begitu, Bu” Guru: “Mungkin kamu salah baca, Nak”
Ya, karena saya tidak memiliki bukti yang cukup kuat maka saya meng-iya-kan saja apa yang guru saya katakan. Namun, setelah sampai di rumah, saya memastikan kembali apakah yang saya sangkakan itu benar adanya. Ternyata benar adanya, bahkan hampir semua foto di berbagai tempat yang saya temui memuat kesalahan yang sama.
ADVERTISEMENT
Padahal setahu saya sejak SMP, kata yang benar adalah sertifikat, bukan sertipikat. Namun mengapa di acara resmi nasional seperti itu, masih bisa ditemui kesalahan yang tidak perlu dilakukan. Kalau sekali, mungkin dapat ditolerir, anggap saja itu sebuah kekhilafan, tetapi kalau berkali-kali, itu bukan sebuah kekhilafan, melainkan sebuah bentuk ketidaktahuan terhadap bahasa sendiri.
Pemerintah seharusnya bisa menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat, khususnya dalam hal penggunaan bahasa. Karena seperti yang kita tahu, aturan penggunaan bahasa dibuat oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang notabene berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Republik Indonesia.
Itu berarti aturan penggunaan Bahasa Indonesia juga dibuat oleh pemerintah. Lalu mengapa pemerintah sendiri tidak menaati format baku yang sudah mereka buat? Jadi sebenarnya kita yang harus menyesuaikan aturan, atau aturan yang harus menyesuaikan kita?
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hal itu, kita sebagai warga negara Indonesia yang ‘katanya’ berbahasa satu, Bahasa Indonesia, seharusnya bisa saling mengingatkan satu sama lain. Pemerintah memang seharusnya ideal, tetapi mereka juga manusia, sama seperti kita. Pemerintah juga bisa melakukan kesalahan. Di situ lah tugas kita sebagai warga negara yang baik, jangan hanya memberi celaan yang tidak ada solusinya, tetapi berilah kritik yang membangun. Semua ini untuk kemajuan bangsa kita.
Kita jangan terlalu maklum terhadap kesalahan bahasa yang terjadi, karena jika dibiarkan akan berdampak buruk terhadap bahasa kita sendiri. Bisa saja 30 tahun ke depan bahasa kita akan punah. Sekarang, jika bukan kita yang menggunakan Bahasa Indonesia, lalu siapa lagi?
Di akhir, penulis ingin menyerukan "Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, tetapi juga bahasanya sendiri." (end)
Joko Widodo bagikan sertifikat tanah di Tabanan. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Joko Widodo bagikan sertifikat tanah di Tabanan. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT