Sepak Bola Olahraga Kaum Elit Jakarta. Ironi Tuan Rumah Asian Games 2018

Rangga Yudha Nagara
A soldier without gun... Senna ko Videsh Mantralay. Charaka Buwana Ministry of Foreign Affairs, Indonesia
Konten dari Pengguna
24 Februari 2018 8:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangga Yudha Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepak Bola Olahraga Kaum Elit Jakarta. Ironi Tuan Rumah Asian Games 2018
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sepak bola terkenal sebagai olahraga rakyat yang murah dan digemari. Ramai-ramai pemuda sekampung sekomplek dapat mencari hiburan, persahabatan dan menjaga kebugaran, bahkan mencari penghidupan dengan bermain sepak bola.
ADVERTISEMENT
Hal di atas tidak berlaku bagi pemuda-pemuda Jakarta yang kebetulan pra-sejahtera atau kurang mampu. Dengan jumlah lapangan bola di Jakarta yang mungkin tinggal belasan jumlahnya dan terus menyusut, harga sewa lapangan bola meroket setinggi langit.
Bahkan jika pemuda-pemuda yang kelas menengah (bukan yang miskin) urunan untuk main bola pun tetap terasa mahal. Maklum harga sewa sudah dikisaran jutaan rupiah, ambil contoh sewa di lapangan ABC senayan atau di stadion PTIK, minimal mesti terkumpul uang 2 juta rupiah. Belum lagi jika ingin pakai wasit dan beli minuman.
Tidak hanya masalah uang, namun akses dan koneksi ke pengelola lapangan juga menjadi masalah para pemuda yang tidak memiliki privilege tersebut. Pemuda tanpa networking apalagi pengaruh tidak akan diprioritaskan pengelola untuk bermain bola di lapangan yang menerapkan sistem booking.
ADVERTISEMENT
Kombinasi antara kepemilikan uang dan akses, mematikan peluang pemuda-pemuda dari kaum marjinal Jakarta untuk dapat bermain bola secara layak di lapangan bola ukuran 100 x 60 meter. Padahal boleh jadi banyak talenta yang jika terasah nantinya dapat menyokong perjuangan Tim Nasional Indonesia.
Situasi ini ironi dari Jakarta selaku tuan rumah Asian Games 2018. Rakyat yang antusias menyambut Asian Games semakin bersemangat olahraga namun amat terbatas opsi –jika tidak bisa dibilang mustahil-- bagi pemuda prasejahtera yang ingin bermain bola.
Sejatinya sepak bola yang merupakan olahraga rakyat, di Jakarta sekarang telah menjadi olahraga kaum elit yang memiliki duit dan akses koneksi. Pemuda jelata yang tidak punya dua hal itu, minggir jadi penonton saja.
ADVERTISEMENT
Opsi agak menghibur adalah main futsal di lapangan badminton/volley, yang tentunya amat berbeda dengan sepak bola proper dan relatif mahal juga kalau futsalnya di tempat yang sewa.
Harapannya
Pemprov DKI Jakarta yang selalu mengusung jargon keberpihakan pada rakyat seyogyanya mulai memikirkan pembangunan/revitalisasi LAPANGAN (bukan stadion) sepak bola yang baik untuk setiap kelurahan. Sehingga semakin memperkuat kinerja Pemprov dalam membangun kota untuk rakyat (citizen) bukan hanya untuk pemodal/bisnis.
Pembangunan dan revitalisasi lapangan bola di seluruh Jakarta tentunya akan lebih visible dan investasi yang baik pada pemuda Jakarta ketimbang pembangunan stadion baru, yang nantinya lagi-lagi hanya akan membuat pemuda miskin Jakarta hanya sebagai saksi pertandingan.
Penggunaan lapangan bola pun perlu diupayakan gratis. Tentunya hal ini bukan suatu hal mustahil bagi Pemprov DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, sangat-sangat ironis jika Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games 2018, banyak pemuda non-elite nya yang main bolanya mesti ke Bekasi atau Ciputat yang juga sudah padat penduduk dan perumahan dengan fasilitas umum minim. Atau lebih parah lagi cuma nonton bola lalu mengamuk ketika bubaran pertandingan!
--Erge--