Imaji Tanah Papua

Ranggi Kresnanda
Sesdilu 76. Pendapat yang dikemukakan adalah milik saya sendiri dan tidak mewakili pandangan atau pendapat institusi saya.
Konten dari Pengguna
22 Juni 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ranggi Kresnanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bekerja di kementerian yang satu ini artinya bercakap-cakap cukup sering dengan rekan kerja dari negara luar. Tak jarang, saat obrolan kerja sudah cukup membosankan, lawan bicara kemudian bertanya, “sudah pernah ke Raja Ampat?”. Pertanyaan basa-basi namun cukup tajam menancap di hati. Pembicaraan berlanjut dengan gambaran yang jelas dan menawan tentang pengalaman mereka terbang dari Jakarta ke Papua. Diawali dari penerbangan dari Jakarta ke Sorong, lalu Sorong ke Raja Ampat. Kisah menjadi semakin seru ketika rekan-rekan dari luar berkisah mengenai laut biru yang tenang, pulau-pulau hijau kecil menjulang di antara air hijau topaz, dan semilir angin segar membersihkan paru-paru dari kotor udara Jakarta. Saat pertemuan usai, saya ditinggalkan dengan bayangan yang sangat romantis dan khayalan berdiam di suatu sudut pulau sembari menunggu semburat matahari yang hilang di ufuk barat.
Ilustrasi Papua di Kala Senja (Ilustrasi/Ranggi Kresnanda)
Sebagai seorang pegawai lembaga yang menangani hubungan luar negeri, saya bisa dibilang cukup beruntung. Tumbuh di sebuah kota kecil di ujung utara Jawa Tengah, keinginan untuk pergi meninggalkan kota tempat saya besar begitu membuncah. Syukur alhamdulillah, pekerjaan membawa saya terbang ke Meksiko, negara yang penuh dengan stereotype. Bukan dua, tiga kali orang-orang berceletuk, “Hati-hati lo nanti ditembak kartel”, atau “Di Meksiko emangnya ada mall, bukannya isinya cuma gurun?” Tidak perlu lebih dari dua bulan untuk menghapus semua praduga. Meksiko adalah negara demokratis dengan sektor pariwisata yang tertata. Seluruh kota utama terhubung dengan jalan raya dan jalan tol yang memadai, dengan konektivitas udara yang sama baiknya. Tiga tahun sejak kepulangan, kepala saya masih diisi dengan kenangan-kenangan manis berjalan-jalan di tepi pantai Cancún dan sarapan chilaquiles. Tanpa sadar dan tanpa disuruh, saya segera menyebarkan “berita baik” ini kepada rekan-rekan, khususnya mereka yang dulu skeptis dengan Meksiko. Berbagai narasi baik saya sampaikan. Meksiko sebagai negara manufaktur yang efisien, kebebasan berekspresi yang terbuka lebar, masyarakatnya yang ramah dan terbuka, hingga kebanggaan mereka atas budaya bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari paragraf di atas, terlihat bahwa pengalaman saya di Meksiko telah membuka dan mengubah cakrawala dan perspektif saya. Melihat langsung, bercengkrama, dan mendengar dari masyarakat setempat telah menciptakan saya sebagai subyek yang secara aktif merasa perlu untuk membela Meksiko, meski bukan tanah air saya. Sebelumnya, saya dihantui oleh berbagai kecemasan mengenai keamanan dan kesejahteraan hidup. Setelahnya, saya dihinggapi nostalgia bersepeda dari rumah ke kantor melewati Parque Polanco dan road trip enam jam dari Mexico City menuju Guadalajara. Kalau kata orang-orang lama, seeing is believing.
Berkaca dari pengalaman Meksiko, rasa manis khayalan saya atas Papua juga diisi dengan spektrum kecemasan primordial tersendiri. Cerita-cerita lama yang hinggap secara serampangan, seperti kesenangan saudara-saudara saya dalam bermalas-malasan, maupun kasus sporadis yang memberitakan keonaran yang mereka timbulkan mau tidak mau jadi faktor yang membuat saya gelisah. Pertanyaan seperti “apakah saya akan merasa aman dan nyaman ketika di sana?” muncul tanpa mampu saya kontrol. Namun, sebuah pemikiran, katakanlah hasil kontemplasi iseng, muncul di kesadaran. Pak Michel Foucault sering mewanti-wanti bahwa knowledge dan power merupakan dua hal yang senang bermesraan. Mereka yang memiliki kekuatan (power) cenderung punya kuasa untuk mengintervensi proses pembentukkan pengetahuan dan bagaimana seseorang atau masyarakat melihat dunia sekitar. Proses yang sama telah terjadi dengan citra kita mengenai Meksiko. Budaya populer, termasuk film, dengan enteng menggambarkan Meksiko sebagai wilayah tandus yang dikuasai kartel narkotika dan absennya penegakkan hukum. Menjadi mudah dipahami bagaimana lawan bicara saya seketika teringat serial Narcos ketika berbicara mengenai Meksiko, dan bukan Frida Kahlo, Diego Rivera, maupun sutradara kenamaan seperti Alfonso Cuarón.
ADVERTISEMENT
Nah, jangan-jangan hal yang sama juga sudah terjadi dengan Papua. Keengganan kita untuk melihat dan memahami Papua dan kompleksitas yang menyertainya mungkin menjadi penyebab distorsi citra kita mengenai wilayah paling timur Indonesia. Sudah sadarkah bahwa jangan-jangan penyebab ketertinggalan Papua justru kegagalan kita dalam mengatasi kesenjangan struktural yang sudah mengakar bertahun-tahun di sana? Atau keengganan untuk memahami uniknya interaksi sosial saudara-saudara kita di Papua sebagai ujung dari konflik horizontal yang muncul kemudian? Apapun itu, mungkin solusinya sederhana, dan bisa dimulai dari diri sendiri. Sebagaimana saya menghapus konotasi buruk saya atas Meksiko dengan berada di Meksiko, suatu hari saya harus ke Papua untuk merasakan sendiri kehangatan saudara-saudara saya di sana, dengan latar belakang laut topaz dan langit senja keemasan.
ADVERTISEMENT