Ekspektasi Sebelum Menikah vs Realitas Setelah Punya Anak

Rangkul Keluarga Kita
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga. Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan. Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat. Salam, Tim Keluarga Kita
Konten dari Pengguna
23 April 2020 17:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saya dan pasangan.
zoom-in-whitePerbesar
Saya dan pasangan.
ADVERTISEMENT
Oleh : Novita Saseria, Rangkul Padang
Sebelum menikah, saya sempat punya mimpi memiliki keluarga, terutama pasangan, seperti di film-film drama romantic; punya soulmate yang bisa setipe, seide, dan jalan barengan selalu walau berantem—berantem lucu-lucuan—biar bisa lebih romantis lagi, seperti Noah dan Allie di The Notebook atau yang terakhir, Jackson dan Ally-nya A Star is Born.
ADVERTISEMENT
Tahun 2008, saya menikah tanpa pacaran yang gayanya seperti zaman sekarang. Waktu itu saya merasa sudah cukup mengenal calon suami karena kami satu almamater SMA serta rumah kami berdekatan, hanya berjarak satu gang saja.
Kami saling kenal walau tidak pernah mengobrol, bahkan saling sapa, kami tahu satu sama lain. Dengan track record tersebut, saya memberanikan diri menerima lamarannya karena kami pun sudah saling mengenal orang tua dan keluarga masing-masing jauh sebelum kami memutuskan untuk berkomitmen serius. Jadi, tidak ada yang harus dicari tahu lagi, pikir saya waktu itu.
Tiga bulan pernikahan kami, saya hamil anak pertama, tentu saja itu yang saya tunggu-tunggu karena sewaktu masih sendiri, keinginan terbesar saya menikah adalah agar saya bisa punya anak.
ADVERTISEMENT
Saya suka sekali berinteraksi bersama anak-anak. Jadi, keinginan memiliki anak lebih besar daripada keinginan menikah pada waktu itu. Saat itulah realitas pertama harus diterima. Jeng jeng… Potret-potret hamil public figure atau model majalah tema kehamilan hanya penambah emosi saja karena kenyataannya tidak seperti itu.
Mood swing, tubuh yang bereaksi terhadap kehamilan pertama, penyesuaian rutinitas karena saya juga bekerja, serta reaksi keluarga dan lingkungan, terutama pasangan.
Bawaan hamil saya: bad mood sepanjang hari, morning sickness yang terkenal itu berusaha saya jadikan teman. Saya sibuk mengatakan kepada diri sendiri bahwa ini hanya pada pagi hari, tapi kenyataan yang saya hadapi adalah all day sickness.
Yang semakin menantang adalah komunikasi dengan pasangan. Selama ini kami membicarakan tentang kami, cita-cita bersama dan mimpi-mimpi lainnya.
ADVERTISEMENT
Begitu hamil, saya tidak pernah membayangkan bahwa semua cita-cita itu bukan hanya tentang saya dan pasangan berdua lagi. Memang, dalam obrolan kami, kata “bersama anak” tidak pernah luput.
Tapi, seperti apa realitas bersama anak tidak pernah terbayangkan. Dengan segala tantangan selama kehamilan, akhirnya saya melahirkan anak pertama.
Segala perubahan signifikan dalam usia pernikahan kami yang kurang dari satu tahun, membuat komunikasi saya dan pasangan seperti ada lubang yang tidak bisa kami tutup.
Singkat cerita, saya melahirkan anak pertama, kedua, dan ketiga dalam kurun waktu kurang dari 6 tahun. Lubang komunikasi itu semakin menganga. Rutinitas kami sebagai pasangan yang sama-sama sibuk di luar rumah, pola pengasuhan yang lebih sering dijalankan adalah “warisan” orang tua saya karena kami tinggal di rumah orang tua saya.
ADVERTISEMENT
Komunikasi saya dengan pasangan hanya sebatas “pemberitahuan” satu sama lain. Tidak ada lagi obrolan ringan berjam-jam, apalagi membicarakan visi misi keluarga. Kami sama-sama kelelahan.
Ekspektasi-ekspektasi sebelum menikah dan sebelum mempunyai anak mempersulit kami menerima realitas, terutama bentuk komunikasi kami sebagai pasangan.
Jangankan obrolan romantis pasangan muda yang diimpikan sebelumnya, untuk menyampaikan pesan penting pun sulit. Kata-kata yang keluar kadang memancing emosi yang dipicu oleh kondisi lelah. Walau tidak berujung konflik, tapi kata-kata yang kami sampaikan bukan lagi bahasa cinta.
Everything happens for a reason. Sang pasangan berhenti dari tempat kerjanya, ayah 3 putri ini beberapa waktu jobless. Awalnya, serasa mimpi buruk, tapi ternyata selama ia jobless, komunikasi kami sebagai pasangan membaik.
ADVERTISEMENT
Kami punya banyak waktu membicarakan hubungan kami. Kami jadi punya waktu jalan berdua. Kami jadi punya waktu menata kehidupan pasangan muda dengan tiga balita, bahkan kami membahas pengasuhan zaman now; pola pengasuhan yang diterapkan bisa berubah sesuai perubahan zaman.
Kami perlahan-lahan menutup lubang itu. Kami mengalami bahwa masalah bisa membuat kami belajar dan hikmah dapat kami petik. Komunikasi kami sebagai pasangan jauh membaik.
Selama pencarian pola komunikasi dengan pasangan dan pola pengasuhan, saya menemukan prinsip-prinsip komunikasi yang sering dibahas dalam sesi pengasuhan bersama Relawan Keluarga Kita (Rangkul).
Salah satu materi yang tidak pernah berhenti saya praktikkan sejak menjadi Rangkul sampai dengan saat ini adalah teknik komunikasi. Teknik I-message yang awalnya terasa kaku, ternyata saat menjadi kebiasaan dalam berkomunikasi, hasilnya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saya bisa mengungkapkan kebutuhan diri kepada pasangan dengan mengubah tone dan kata-kata yang akan disampaikan. Misalnya, saat saya ingin menyampaikan keinginan saya untuk pergi bersama teman-teman dalam rangka memenuhi kebutuhan diri.
Saya sampaikan bahwa saya merasa lelah dengan kehebohan rutinitas pekerjaan dan di rumah, saya ingin pergi bersama teman-teman karena saya butuh menenangkan diri beberapa waktu agar saya bisa merasa lebih siap saat kembali ke rumah.
Latihan ini terus saya praktikkan di rumah, tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kali terkendala dengan pengelolaan emosi yang naik-turun, dan reaksi pasangan atau anak-anak yang tidak selalu sama dengan teori.
Tapi, tentu saja di situlah serunya karena cara setiap keluarga berbeda, visi-misi setiap keluarga berbeda. Dengan selalu menerapkan Prinsip CINTA, prinsip pengasuhan dari Keluarga Kita, rasanya saya jadi lebih siap menghadapi realitas pengasuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT