Luapan Cinta Lewat Pesan Singkat

Rangkul Keluarga Kita
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga. Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan. Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat. Salam, Tim Keluarga Kita
Konten dari Pengguna
11 Maret 2020 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kami dan anak-anak. Doc : Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kami dan anak-anak. Doc : Pribadi
ADVERTISEMENT
Oleh : Andari Puji Astuti - Rangkul Salatiga
Saya dan suami adalah teman yang kemudian menikah. Sebagai sesama anak sulung, kami memiliki kepribadian khas anak pertama; keras kepala dan cenderung memiliki kemauan kuat yang harus dituruti atau istilah kerennya, bossy. Kami terbiasa berbicara to the point layaknya orang dewasa berbicara. Kalau tidak suka terhadap suatu hal, saya dan suami terbiasa berbicara dengan intonasi yang sama-sama tinggi. Setiap kami tidak sependapat terhadap suatu hal selalu saya akhiri dengan menangis.
ADVERTISEMENT
Sebelum saya menikah, saya tidak mudah menunjukkan emosi sedih saya di depan orang lain sehingga setelah kami berselisih pendapat, yang ada di pikiran saya adalah: ‘apa yang salah dengan diri saya?’ atau yang paling parah adalah ketika saya berpikir, ‘sedurhaka itukah saya terhadap suami karena sering mengonfrontasinya dengan intonasi tinggi.’
Puncak permasalahan saya dan suami tentang komunikasi yang tidak beres ini adalah ketika saya melahirkan putra pertama kami. Sebagai ibu pemula yang baru saja melahirkan, kekikukkan saya di tengah idealisme yang saya inginkan dan budaya mitos di masyarakat yang justru menyudutkan saya sebagai ibu baru membuat saya mengalami baby blues ringan. Parahnya lagi, justru saat itu saya merasa tidak bisa berkomunikasi dengan suami. Saat itulah melalui salah satu Rangkul (Relawan Keluarga Kita) yang juga perintis komunitas ibu di kota tempat saya tinggal mengajak saya mengikuti sesi pengasuhan bersama Rangkul dengan tema Hubungan Reflektif.
ADVERTISEMENT
Waktu itu yang ada di pikiran saya adalah, saya tidak ingin memberikan pengalaman buruk dengan bertengkar di depan anak. “Kalau saya tidak mengatasinya sekarang, kelak apa yang akan anak saya lihat dan tiru dari ayah dan ibunya ketika kami berselisih pendapat?” Pikiran itulah yang mendorong saya mengikuti Sesi Bicara Rangkul.
Sesi Rangkul pertama yang saya ikuti itu berkaitan dengan manajemen emosi diri. Saya belajar bahwa setiap orang dalam berperilaku itu dipicu oleh banyak hal. Banyak miskonsepsi yang berkembang di masyarakat dengan budaya timur yang kental ini. Salah satu masalah yang sering muncul adalah miskonsepsi tentang: “Untuk menjaga perasaan pasangan atau anggota keluarga lain, kita nggak perlu membicarakan apa yang kita rasakan. Kalau dekat, pasti mengerti sendiri.” Sebagai wanita yang lahir dan dibesarkan di Pulau Jawa, saya dididik untuk “menyembunyikan” emosi saya dan harus senantiasa berusaha “mengalah” untuk menang.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mulai burn out, saya menyalahkan diri saya. Dari sesi Hubungan Reflektif bagian pertama ini, saya baru sadar bahwa perilaku marah bisa dipicu oleh hal yang lain yang sering kali bukan perasaan atau emosi marah itu sendiri, seperti rasa bersalah, terlalu khawatir, enggak enakan, dan ingin mendapat pengakuan dari lingkungan. Dari sinilah saya mulai berefleksi dan menganalisis perilaku dan emosi saya, ternyata saya akan mulai “marah” bila saya merasa bersalah. Merasa bahwa ketika ada sesuatu yang salah, semua itu karena saya, dan justru karena perasaaan bersalah yang dominan, emosi “merasa bersalah” itu meledak menjadi perilaku “marah”.
Dulu sebelum belajar bersama Rangkul, ketika saya marah, rasanya bikin frustasi banget. Kenapa bikin frustasi? Karena saking inginnya saya membuat orang lain bahagia. Ketika saya merasa ada sesuatu yang salah, saya merasa itu semua salah saya. Saat itulah, saya merasa “disalahkan” oleh orang-orang yang saya “cintai” (orang tua, suami, anak kandung, dan siswa saya). Tapi di Keluarga Kita, saya diajarkan untuk mengetahui bahwa wajar banget untuk merasa sebal, kesal, sedih, capek.
ADVERTISEMENT
Yang perlu diperbaiki adalah saya belajar untuk mengetahui pemicu rasa bersalah saya itu apa, kemudian bagaimana saya mulai belajar berefleksi dan menganalisis bagaimana cara menerima rasa bersalah dan berperilaku saat rasa bersalah itu muncul atau bila rasa bersalah itu muncul, antisipasi yang saya bisa lakukan apa agar perilaku ‘marah’ itu bisa dikurangi dan diganti dengan perilaku yang lebih tepat.
Walaupun sudah belajar dan berlatih sepanjang waktu, luapan marah masih muncul saat komunikasi dan quality time dengan suami tidak berjalan baik. Nah, sejak menjadi Rangkul, saya dan suami berusaha dan belajar mencari cara untuk mengomunikasikan semua yang kami rasakan dengan lebih baik. Teknik komunikasinya ini disebut komunikasi i-message. Teknik komunikasi ini menurut saya kena banget. Kenapa? Karena saya menikah dengan suami yang tidak hanya pola pengasuhannya berbeda, tapi kami juga berasal dari budaya yang berbeda. Dari teknik ini, saya tahu memendam emosi dan keinginan itu salah banget.
ADVERTISEMENT
Semua yang kita rasakan, kecemasan, keinginan, ketakutan lebih baik dikomunikasikan secara langsung. Orang lain bukan mbah dukun yang katanya bisa membaca pikiran atau melihat ekspresi dengan jeli. Saya jadi sering menggunakan Teknik i-message ini untuk menyatakan perasaan dan keinginan saya. Tapi, yang masih jadi PR buat saya adalah masih sering diutarakan sambil marah-marah. Sebaiknya, komunikasi dengan teknik ini akan efektif bila dilakukan saat emosi sudah lebih tenang.
Saya dan suami merasa lebih nyaman dengan memulai teknik berkomunikasi melalui tulisan ketika kami sedang sama-sama emosi, sedangkan ada anak di sekitar kami. Biasanya, kami akan mulai menulis apa pun yang kami rasakan. Intinya, menyatakan perasaan lewat tulisan. Menariknya, saat menulis, emosi saya perlahan mereda dan terkadang justru merasa geli ketika membaca tulisan saya kembali di lain waktu saat kami sudah menyelesaikan konflik kami.
ADVERTISEMENT
Setelah burn out kami terkikis melalui tulisan, biasanya kami bisa mengakhirinya dengan quality time berupa pillow talk sebelum tidur yang jadi lebih lama dibanding hari biasa, saling memaafkan dan mencari solusi dari permasalahan yang kami hadapi. Kami berdua terus belajar dengan Prinsip CINTA agar bisa menjadi orang tua yang bisa manusiawi mencintai, menyayangi, dan mendukung kedua buah hati kami agar tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bahagia. Kami percaya bahwa pengasuhan keluarga adalah fondasi terbaik untuk membangun negeri yang kuat. Terima kasih Keluarga Kita untuk semua kisah yang tercipta melalui setiap sesinya. Beruntung kami mengenal Rangkul dan Keluarga Kita. Semoga semakin banyak keluarga yang tertular Prinsip CINTA, ya.
Kami terus belajar dengan Prinsip CINTA. Doc: Pribadi
ADVERTISEMENT