news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Rangkum 3 April 2019: Puskesmas Disegel Kuli, Remaja Dimutilasi

Rangkum
Seperti koran yang kamu baca setiap pagi.
Konten dari Pengguna
3 April 2019 1:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ihwal Slamet, warga Yogyakarta yang ditolak tinggal di Bantul karena tak beragama Islam menjadi pembuka Rangkum edisi ini. Simak ulasan selengkapnya.
ADVERTISEMENT
Slamet Jumiarto, warga non-muslim yang ditolak tinggal di Dusun Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Slamet Jumiarto, (42 tahun), bapak dua anak asal Semarang ditolak pindah ke kontrakan di Dusun Karet, RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Jumat (29/3). Ia tak boleh tinggal oleh Kepala Dusun Karet karena tidak beragama Islam. Menurutnya, penolakan tersebut tercantum dalam surat keputusan tentang persyaratan pendatang baru di Dusun Karet yang ditandatangani oleh perangkat desa pada 19 Oktober 2015.
Merasa didiskriminasi, pria yang sudah memiliki KTP Yogyakarta sejak 2009 itu melapor ke Sekretaris Sultan Hamengku Buwana X dan dipanggil ke kantor desa untuk mendapat mediasi dengan perangkat desa. Dari hasil mediasi, Slamet diperbolehkan tinggal di Dusun Karet selama 6 bulan, namun ia menolak solusi tersebut. “Saya mengalah asalkan surat mereka direvisi karena bagi saya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila dan undang-undang,” ujarnya, Selasa (2/4).
ADVERTISEMENT
Anggota kelompok Orang Rimba membeli buah yang dijual pedagang keliling di permukiman Orang Rimba, Pelepat, Bungo, Jambi. Foto: ANTARAFOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Ribuan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Jambi terancam tidak dapat mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 karena tak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan buta aksara. Dari 5.200 Orang Rimba, tercatat hanya 1.200 orang yang terdaftar dalam DPT. Namun, jumlah yang terdaftar tersebut rentan diintervensi dan diintimidasi saat memilih karena buta aksara dan minim pendidikan politik.
Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Sukma Reni, mengatakan sistem pemilihan umum yang berlaku tidak ‘ramah’ dengan Orang Rimba, khususnya yang menyandang buta aksara. Oleh karena itu, Orang Rimba membutuhkan pendamping saat memilih untuk membantu membacakan surat suara dan menentukan pilihan. "Mereka pasti (butuh) pendamping, karena pilihan Orang Rimba rentan dipengaruhi," tegas Reni, Senin (1/4).
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pembunuhan Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Seorang mahasiswa berinisial YGM (21 tahun) di Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, nekat memutilasi remaja berumur 15 tahun. Korban yang berinisial PY dimutilasi menjadi 13 bagian. “Bagian perut ke atas milik korban ditemukan di Kali Mati, sementara bagian perut ke bawah ditemukan di ujung landasan bandara lama,” kata Wakapolres Kabupaten Kepulauan Yapen, Kompol Martha S. Tolau, Selasa (2/4).
Diduga pelaku sakit hati dengan korban karena sudah menghina bagian tubuhnya. Saat melakukan aksinya, pelaku sedang dalam pengaruh ganja.
ADVERTISEMENT
Tukang bangunan menyegel Puskesmas Jati Raya Kendari di Jalan Tina Orima, Kelurahan Anaiwoi, Kabupaten Wuawua, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang sudah mereka kerjakan, Selasa (2/4). Foto: Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
Puluhan tukang bangunan menyegel Puskesmas jati Raya Kendari di Jalan Tina Orima, Kelurahan Anaiwoi, Kecamatan Wuawua, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, karena kesal upah kerja mereka tak kunjung dibayar. Kepala tukang, Mas Ian (34 tahun) mengatakan total biaya yang belum dibayar mencapai Rp 300 juta untuk 50 tukang."Kita ada empat kepala tukang, sekitar 50 tukang dan buruh. Jadi upah kita belum dibayar, padahal sudah selesai bangunannya sejak bulan Desember 2018," kata Mas Ian.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kendari, Rahminingrum Pujirahayu, tak menampik belum membayar para tukang. Ia beralasan belum mendapat izin dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meskipun uang upah sudah tersedia.
ADVERTISEMENT
Selvianti, warga Desa Bangga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, salah satu guru honorer yang mengabdi sejak 2005 dengan gaji Rp 200 ribu per tiga bulan Foto: Foto: PaluPoso/Siturwijaya
Selvianti, warga Desa Bangga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sudah mengabdi sebagai guru honorer sejak tahun 2005. Miris, hingga kini ia hanya digaji Rp 200.000 yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Meskipun begitu, perempuan kelahiran 1978 itu mengaku gajinya cukup untuk menghidupi keluarganya.
Selvianti mengatakan pernah akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun hingga kini janji pemerintah setempat itu belum terealisasi. “Janji 2018 mau diangkat (jadi PNS), sampai sekarang tidak ada juga. Agak kecewa sih dengan presiden sekarang yang tidak memerhatikan nasib guru honorer,” ujarnya kecewa.
ADVERTISEMENT
Kondisi SDN 106 Aji Tunggal, Kota Bandung, setelah diterjang banjir yang menjebol dinding perpustakaan dan ruang Unit Kesehatan Siswa. Foto: Foto: Iman Herdiana
Banjir yang melanda kawasan Kelurahan Pasir Endah, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung, menyebabkan SDN Aji Tunggal ikut terendam. Dika dan Mesi, murid kelas 5 C SDN Aji Tunggal, menuturkan air banjir dari sungai belakang sekolahnya menjebol tembok perpustakaan dan ruang Unit Kesehatan Sekolah saat mereka sedang belajar. “Sebelum jam 16.00 terdengar bunyi robohan dari arah perpustakaan,” tutur Mesi, diamini teman sekelasnya, Dika, Selasa (2/4).
Derasnya luapan air sungai di belakang sekolah juga menjebol dinding kelas. Foto: Foto: Iman Herdiana
Anak-anak yang berada di lantai dasar terjebak banjir di dalam kelas dan segera dievakuasi oleh warga. Tak hanya merusak perpustakaan dan UKS, banjir juga menjebol dinding kelas, sementara jendela-jendela pecah karena dipakai untuk evakuasi. Dika dan Mesi berharap sekolahnya segera diperbaiki, agar mereka dapat kembali sekolah.
Air sungai bercampur tanah dan lumpur masuk ke kelas-kelas di lantai dasar dan menyebabkan alat belajar seperti buku, kursi, meja, lemari di kelas rusak parah. Foto: Foto: Iman Herdiana
ADVERTISEMENT
Warga memindahkan minyak mentah di lokasi pengeboran minyak ilegal, wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero), Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin, Jambi. Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Aktivitas pengeboran minyak ilegal di Jambi tidak hanya mengganggu habitat hewan, tetapi juga mencemari sumur warga. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Rudiansyah, mengatakan penegakan hukum terhadap aktivitas pengeboran minyak ilegal di Jambi belum maksimal. "Penegakan hukumnya belum maksimal. Masih spot by spot, hanya menyasar pekerja. Sementara pemodalnya dibiarkan bebas," kata Rudiansyah kepada Jambikita.id, Senin (1/4).
Mirisnya, pengeboran minyak ilegal tersebut telah tersebar dalam 1.500 titik di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin dan termasuk wilayah pertambangan milik Pertamina. Akibatnya, ribuan spesies burung dan serangga sulit ditemukan, air yang tercemar juga membunuh spesies ikan di Sungai Anak Brangan dan Danau Merah. “Untuk Tahura sendiri, per Januari 2019 lalu, sudah 50 hektare dirambah dan penyangga Tahura seluas 10.000 hektare berubah menjadi kawasan pertambangan ilegal," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Batanghari, Parlaungan Nasution.
ADVERTISEMENT
----------
Nanti Rangkum edisi lainnya di sini.