Membaca Adalah Impianku

Rania Ninanta Marito Harahap
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
3 Desember 2022 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rania Ninanta Marito Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Malam tampak sepi bersama rembulan yang mulai memunculkan diri, di sudut jendela kuhabiskan waktu bersama khayalan yang mungkin adalah impianku. Imajinasi terus berkelana, mengembara bersama angin-angin yang beterbangan. Di rumah yang hampir rontok ini, kuhabiskan waktu untuk bekerja dan menghidupi keluargaku. Aroma parit yang begitu menyengat pun melewati indra penciumanku. Orang-orang terlihat sibuk mengurusi dagangannya yang hendak tutup, karena malam sudah tiba. Ibu menghidupi aku dan kedua adikku selama ini, ayah pergi entah ke mana sejak usiaku masih sangat kecil. Sudah 10 tahun ayah belum kembali ke rumah. Setiap hari, kulihat keringat bercucuran di pipi ibu. Ibu bekerja di pasar, sebagai tukang sapu. Setiap sore dan malam, ibu menghabiskan waktu untuk menyapu dan membersihkan pasar. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ibu sudah tua, uang hasil kerjanya boleh dibilang masih belum cukup menghidupi kami. Jadi akulah yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan itu. Matahari telah menampakkan diri perlahan, cahayanya terlihat malu-malu. Aku pun hendak pergi bekerja, bersama baju yang penuh noda dan sepatu yang sudah dikelilingi lubang. Aku berjalan menyusuri kota, jalanan penuh dengan riuh dan kebisingan. Saat aku berjalan, aku melewati bangunan itu lagi. Bangunan yang begitu menggugah hati dan hasratku. Ingin aku beranjak ke sana. Namun rasanya, aku terlalu malu untuk pergi ke sana. "Nita! Lama sekali kamu datang nak, cucian di sana sudah menumpuk. Cepat bereskan Nit!” Kata bu Retno dari depan pintu rumahnya. Mencuci pakaiannya selama 5 tahun sudah menjadi kebiasaan, sejak umurku masih sangat belia. Sepulang dari rumah bu Retno. Aku melanjutkan pekerjaanku ke salah satu rumah makan sebagai tukang cuci pring. Dan rumah makan itu berada di dekat bangunan impianku. Lagi-lagi aku tak bisa hanya sekedar melewatinya. Ia terus terbayang di bola mataku. Jam sudah menunjukkan pukul 17.20 WIB, aku bergegas pulang ke rumah. Di rumah aku harus memasak dan menyelesaikan segala pekerjaan rumah tangga lainnya. Tidak tega rasanya, kalau harus ibu yang menyelesaikan semua itu.
Sumber Foto: Pexels
Adikku yang duduk di kelas 6 SD memanggil seraya bertanya padaku mengenai pelajaran matematika, “Kak, ajarin aku pelajaran matematika dong kak. Kakak, kan sudah besar, jadi aku yakin kakak mengerti”. Aku yang mendengar perkataan adikku seketika terdiam bisu. Bagaimana bisa aku mengajari pelajaran, yang bahkan tak pernah kupelajari. Dengan suara sendu aku hanya menjawab “ Minta ajarin sama temanmu saja besok, kakak lagi sibuk dik”. Hari berlanjut seperti biasanya, ibu pergi kerja serabutan dan aku pun begitu. Pernah suatu kali, ibu bertanya begitu serius padaku. Tatapannya penuh dengan perhatian, nada bicaranya pun penuh dengan tanda tanya. “Nak, kenapa kamu bekerja serabutan seperti ini, umurmu itu masih 16 tahun. Tak seharusnya kau habiskan masa mudamu dengan lelah dan keringat”. “Bu, Nita masih punya dua adik yang harus tetap sekolah. Nita tidak mau mereka bernasib sama seperti Nita yang tidak sekolah sejak dari SD. Bahkan Nita belum bisa membaca. Berhitung untuk pelajaran setingkat SD saja pun Nita masih kesulitan. Nita mau mereka menjadi orang yang sukses dan maju Bu”. Jawabku dengan tatapan yang berkaca-kaca. Aku berjalan menyusuri detik demi detik waktu di pinggir jalan, bergegas segera menuju ke rumah bu Retno. Namun, sebelum tiba di rumah bu Retno. “Bruuuuk.” Kakiku tersenggol batu, entah kenapa lagi-lagi karena aku terlalu fokus melihat bangunan itu. Tiba-tiba datang seorang wanita keluar dari bangunan itu, ia terlihat rapi, cantik, dan seperti orang yang berpendidikan. Ia datang menghampiri dan menolongku. “Tidak apa-apa dik?”. Tanya wanita itu cemas. “Tidak apa-apa kok kak, hanya lecet sedikit”. Jawabku sambil menatapnya. “Ya sudah, kita masuk dulu ke tempat kerja saya. Nanti saya obatin yah, biar lukanya tidak infeksi.” Katanya sambil tersenyum. Aku menatap kagum dan penuh keheranan, bagaimana mungkin wanita yang berpenampilan rapi, wangi, dan terlihat begitu berpendidikan, mau menolong seorang aku yang lusuh, kotor, dan sangat sederhana. Lalu wanita itu pun membawaku masuk ke bangunan itu, ya bangunan impianku yang sejak dahulu ingin kumasuki. Namun karena aku tidak percaya diri untuk masuk di tambah lagi jadwal pekerjaanku yang padat. Sehingga baru ini aku bisa masuk ke bangunan impianku itu. Memang takdir Tuhan itu tidak bisa ditebak. Langkah demi langkah, seraya di pegangi wanita itu, aku pun masuk. Aku sangat takjub dan kagum melihat buku-buku yang begitu banyak sekali. Mataku sepertinya sudah berbinar. Wanita yang sedang mengobati lukaku bertanya seraya keheranan melihat ekspresi yang tak biasa dari wajahku. “Kamu kenapa dik? Kok kamu seperti baru pertama kali kesini. Sepertinya adik terlihat begitu kagum ya. “ “Iya kak, saya memang baru pertama kali ke tempat indah ini. Saya begitu senang melihat buku-buku itu. Saya memang sangat ingin kesini kak, saya sering melihat orang -orang yang keluar dari bangunan ini, membawa buku-buku.” Kataku sambil menatap buku-buku itu. “Wah, kebetulan kakak ini adalah pegawai perpustakaan di sini. Nama kakak Rina. Kalau kamu mau meminjam buku. Kakak bisa membantu kamu untuk membuat kartu perpustakaan yang berguna untuk meminjam buku. Bagaimana, kamu mau kakak buatkan kartunya?”. Aku yang mendengar ucapan dari kak Rina, langsung tersontak kaget. Ia begitu baik hati kepada orang seperti aku ini. Namun, bagaimana bisa aku meminjam buku, jika aku bahkan tidak lulus SD dan belum sempat belajar membaca. Seketika anganku berkelana, apakah impianku untuk membaca buku-buku itu hanya sekedar impian saja? Apakah aku harus jujur kepada kak Rina kalau aku belum bisa membaca? Tetapi aku takut dia akan menertawaiku aku takut ia tidak akan menggubrisku lagi jika ia tahu aku tak bisa membaca. Seketika, aku langsung beranjak pergi dari bangunan yang disebut perpustakaan itu. Aku terlalu malu dan rasa takutku begitu besar. Kak Rina terus memanggil dan mengejarku “Dik, tunggu dik. Kenapa lari?”. Tanyanya berulang-ulang. Namun aku terus berlari seraya meneteskan sedikit demi sedikit air mata. Malam datang lagi, namun kali ini ia datang dengan tetesan air. Suasana malam ini begitu sunyi, karena aku tak berani lagi mengkhayal dan bermimpi terlalu jauh. Kata-kata yang dulunya pernah jadi impianku, yaitu buku dan sukses. Entah mengapa aku terlalu takut mengucapkannya lagi. Beberapa hari kemudian, di saat matahari mulai terik karena pagi telah berlalu. Ada seseorang yang mengetuk pintu. Aku yang sedang tidak bekerja dan sendirian di rumah, akhirnya membukakan pintu. Betapa terkejutnya diriku, melihat kak Rina. “Assalamu’alaikum dik, boleh kakak masuk?”. Tanyanya dari luar sembari mengetuk pintu. “Wa’alaikumussalam kak, silakan kak”. Kak Rina mulai bertanya padaku. “Dik, maaf ya kakak datang mendadak. Soalnya kakak enggak tahu nomor handphone atau kontak kamu. Kakak datang kesini karena ada yang ingin kakak bicarakan. Sebelumnya, kalau boleh tahu nama kamu siapa?’ “Nama saya Nita kak, kalau boleh tahu maksud kedatangan kakak ke sini kenapa ya kak?” tanyaku keheranan. “Baik, jadi seperti ini dik Nita. Kemarin kan kakak mengejar kamu, karena tiba-tiba kamu keluar dari perpustakaan. Namun, kamu keburu jauh perginya. Nah, sewaktu kakak keluar sembari memanggil kamu, ada seorang ibu bernama Retno, Ia datang kepada kakak. Ia menanyai kakak, kenapa mengejar kamu. Lalu, Ia menceritakan banyak hal tentangmu Nita. Ia juga bilang dikarenakan kondisi ekonomi keluargamu, kamu jadi tidak bisa bersekolah saat TK, SD, dan SMP. Sekarang, kamu harus membantu ibumu bekerja, guna menyekolahkan adikmu”. Kedua bola mata kak Rina tampaknya penuh dengan air mata, namun ia berusaha menahannya. Aku yang tak kuasa menahan air mata itu, lalu berkata, “Benar kak, bukannya saya tidak menghargai kebaikan kakak karena sudah mengobati luka saya. Namun saya malu dan tidak percaya diri kak. Bagaimana saya ingin meminjam buku dari perpustakaan, jika membaca saja saya tidak bisa. Maafkan saya kak, karena lancang kemarin”. “ Tidak apa-apa dik Nita, justru kakak kesini ingin menawarkan sesuatu kepada duk Nita. Kakak berharap dengan sangat, dik Nita mau“. Kata kak Rina penuh dengan senyum Aku pun langsung bertanya, “Menawarkan apa kak?” “Begini dik Nita, kakak sangat salut melihat kekagumanmu pada buku dan perpustakaan. Kakak juga kagum dengan impianmu untuk bisa membaca buku. Hati kakak terdorong untuk mengajarkan Nita, membaca dan menulis. Bagaimana Nita? Kita akan belajar 2 kali seminggu sewaktu Nita libur bekerja hari sabtu dan minggu. Hari sabtu kita belajar di perpustakaan dan hari minggu di rumah kakak, bagaimana Nita?” Kak Nita menjelaskannya dengan sangat ramah. “Alhamdulillah, saya memang sangat ingin sekali belajar membaca dan menulis, namun saya harus bertanya pada Ibu dulu kak”. Kataku sambil melihat ke arah pintu. “Tadi kakak sudah bertemu ibumu di pasar, kakak kenalnya dari Bu Retno. Dan ibumu sangat mengizinkan serta mendukung” Ucap kak Rina sambil mengusap pundakku. Aku sangat bersyukur, aku juga sangat bersemangat. Aku bertekad bahwa aku harus belajar keras agar aku bisa cepat membaca dan menulis. Agar aku tidak buta huruf lagi. Dan bisa membaca buku-buku yang sudah menjadi impianku sejak dulu. Besok adalah hari sabtu, hari pertama aku akan belajar membaca. Di sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, hatiku sangat gembira. Pipiku menunjukkan senyuman sepanjang perjalanan, di depan pintu perpustakaan, kak Rina sudah menungguku. Lalu kak Rina mengajakku, ke salah satu ruangan untuk membaca di perpustakaan itu. Aku pun mulai belajar, kak Rina terlihat begitu tulus dan semangat mengajariku. Bahkan, tampaknya kak Rina lebih bersemangat dibandingkan diriku. Kak Rina mengajariku perlahan demi perlahan, ia mengajariku dengan penuh kesabaran. “Nah kalau bentuknya seperti ini, namanya huruf A Nita”. Aku yang masih sangat kesulitan pun, ia tetap sabar mengajariku. Hari demi hari berlalu. Hingga seminggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. “B.. Buku”. Kata yang kubaca untuk pertama kalinya. Hingga sebulan telah berlalu, aku sudah bisa membaca. Aku bahkan sudah begitu lancar membaca, hingga ketika hendak pergi ke perpustakaan, aku selalu membaca kata perpustakaan yang terpajang di sana. “Wah, MashaAllah, kamu sudah bisa membaca Nita, selamat. Untuk sebulan kedepan kita akan belajar menulis ya Nita”.Kata kak Rina penuh semangat. Saat belajar menulis dengan baik dan benar selama sebulan bersama kak Rina. Aku juga banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan. Sepulang kerja dan sehabis mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah, biasanya aku langsung membaca buku. Bahkan, setelah bangun tidur dan sebelum berangkat kerja, aku menyempatkan diri untuk membaca buku. Sungguh begitu menyenangkan, rasanya aku jadi tahu berbagai pemikiran, sudut pandang, dan pendapat orang lain melalui buku. Aku juga banyak membaca buku yang menginspirasi serta membuka jalan imajinasiku. Hingga, aku pun sudah bisa membaca dengan lancar dan menulis dengan bauk dan benar. Aku sangat berterima kasih kepada kak Rina, seorang pegawai perpustakaan yang berhati baik dan tulus. Sejak saat itu, aku sangat akrab dengan kak Rina. Kemarin, setelah selesai mengajariku menulis, kak Rina sempat menyarankanku untuk mulai menulis buku dan berani untuk menerbitkan nya. Lalu, selama beberapa minggu aku mulai menulis buku. Banyak sekali inspirasi yang kudapat dari buku-buku yang kubaca sebelumnya. Hingga dengan penuh keberanian dan menggunakan uang tabungan, aku menulis dan menerbitkan buku yang berjudul, “Membaca Membuka Inspirasi”. Ya, bukuku laku keras di pasaran. Aku tak pernah menyangka saat ini aku menjadi penulis buku best seller, ternyata impianku dulu bukan lagi sekadar mimpi. Melainkan sudah menjadi kenyataan. Buku adalah jendela dunia masa kini dan masa yang akan datang. Dengan membaca buku pemikiran kita akan berkembang dan bisa menuntun kita menuju kesuksesan. Terima kasih Tuhan atas ilmu dan pelajaran berharganya. Melalui sosok kak Rina aku bisa tumbuh dan berkembang. Mulai saat ini aku semakin yakin, bahwa siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapat. InshaAllah. Oleh karena itu, kita harus berani bermimpi dan mencoba. Biodata Narasi Namaku Rania Ninanta Marito, umurku 19 tahun. Aku bersekolah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hobiku menulis, nonton, membaca puisi, dan banyak lagi. Aku lahir di Medan, dan saat ini tinggal di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Motto hidup ku sederhana “Siapa yang bersungguh-sungguh, inshaAllah akan mendapat. “
ADVERTISEMENT