Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Gadget Rajai Kelas, Buku Tersingkir di Sudut Perpustakaan
12 Mei 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rara Amelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital seperti sekarang ini, kehadiran teknologi di dunia pendidikan seolah menjadi keniscayaan. Mulai dari tingkat SD hingga ke tingkat perguruan tinggi, penggunaan gadget seperti smartphone dan tablet sudah menjadi bagian dari proses belajar-mengajar. Namun, di balik kemajuan itu, ada satu korban yang perlahan terlupakan yaitu perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, seringkali menemukan siswa yang sibuk menatap layar telepon genggamnya saat jam istirahat. Aplikasi pembelajaran, mesin pencari, hingga media sosial telah menggantikan fungsi dasar buku sebagai sumber informasi utama. Ironisnya, perpustakaan sekolah saat ini justru menjadi tempat yang sepi, tak lagi ramai seperti dahulu kala. Memang ada beberapa siswa yang masih sering ke perpustakaan, tetapi tidak untuk membaca buku melainkan untuk duduk bersantai saja.
“Saya lebih suka cari materi lewat Google daripada ke perpustakaan,” ujar Reza (16), siswa kelas 11 di salah satu SMA negeri di Jakarta. “Lebih cepat, tinggal ketik, kalau di perpustakaan harus mencari bukunya terlebih dahulu, dan itu belum tentu ada.” Pernyataan Reza bukanlah satu-satunya, banyak siswa lain yang sependapat dengannya.
ADVERTISEMENT
Kondisi perpustakaan di banyak sekolah juga sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang perpustakaannya minim koleksi baru, fasilitas seadanya, dan bahkan tidak memiliki pustakawan tetap. Akibatnya, fungsi perpustakaan sebagai jantung literasi sekolah menjadi tumpul. “Anggaran untuk pengembangan perpustakaan memang sangat terbatas,” jelas Bu Ratna, kepala sekolah SMP di Yogyakarta. “Kami lebih difokuskan untuk pengadaan perangkat digital karena dinilai lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Tak bisa dimungkiri, teknologi memang memudahkan banyak hal. Namun, meninggalkan buku dan ruang perpustakaan sepenuhnya adalah langkah yang berisiko. Membaca buku fisik terbukti membantu konsentrasi dan daya ingat lebih baik dibandingkan layar digital. Selain itu, buku adalah jendela untuk memperkaya imajinasi dan nalar kritis bagi siswa.
Meskipun begitu, tidak semua sekolah menyerah. Beberapa justru mulai melakukan transformasi dengan memadukan teknologi dan literasi konvensional. Salah satunya adalah program digital library corner, dimana perpustakaan menyediakan akses e-book dan ruang baca yang lebih nyaman dan modern.
ADVERTISEMENT
“Kami mencoba menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang kembali menarik,” kata Pak Seno, pustakawan di sebuah SMA swasta di Bandung. “Kami tidak menolak teknologi, tetapi menjadikannya sebagai jembatan untuk membawa siswa kembali mencintai literasi.”
Tantangan dunia pendidikan ke depan bukan hanya soal akses informasi, tetapi pada kualitas pemahaman. Gadget memang menawarkan kecepatan, tetapi buku menawarkan kedalaman. Keduanya tidak harus saling mengalahkan, justru bisa saling melengkapi jika dikelola dengan bijak.
Kita tak bisa memutar balik zaman. Teknologi termasuk gadget, telah menjadi bagian dari wajah baru pendidikan. Namun, di tengah semarak digitalisasi, kita tidak boleh melupakan bahwa pendidikan bukan hanya soal kecepatan akses, tetapi juga soal kedalaman pemahaman, ketekunan membaca, dan kepekaan berpikir.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan adalah simbol dari peradaban. Ia bukan sekadar tempat menaruh buku, melainkan ruang hidup tempat siswa belajar duduk tenang, memahami, merenung, dan membangun karakter. Ketika perpustakaan tersingkir, bukan hanya buku yang hilang, tapi juga budaya belajar yang sabar dan penuh makna ikut tergerus.
Kini, tantangannya bukan memilih antara gadget atau buku, melainkan bagaimana kita bisa menjembatani keduanya. Perpustakaan perlu berevolusi menjadi ruang belajar yang lebih adaptif seperti menghadirkan buku fisik dan digital, menyediakan akses internet sekaligus ruang sunyi, serta membangun lingkungan literasi yang menyenangkan.
Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan tak akan ditentukan oleh seberapa canggih alat yang dimiliki, melainkan oleh seberapa dalam dan luas wawasan yang dibaca, dipahami, dan ditanamkan dalam jiwa.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin mencetak generasi yang kritis, mandiri, dan bijak di era digital ini, maka kini saatnya kita kembali menaruh perhatian pada ruang yang selama ini diam tapi di dalamnya menyimpan kekuatan besar yaitu perpustakaan.
Sudah saaatnya sekolah tidak hanya memfokuskan diri pada digitalisasi, tetapi juga revitalisasi perpustakaan. Karena sejatinya, perpustakaan bukan hanya sekadar ruang penyimpanan buku, melainkan ruang tumbuhnya karakter dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.