Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Anarkocheng
7 Februari 2022 2:13 WIB
·
waktu baca 7 menitHari ini Emak dapat rezeki. Pelanggan Kesayangan yang sudah lama menghilang muncul lagi untuk memesan selusin kostum pawai. Setelah seminggu tidak bisa tidur dan susah makan karena memikirkan bayar kontrakan yang jatuh tempo di akhir minggu, kini Emak bisa tidur dan makan dengan hati lapang.
Emak paling suka dengan pelanggannya yang ini. Bukan hanya karena pesanannya selalu lusinan, tapi juga rancangannya yang selalu ajaib. Emak seolah diuji dan ditantang sebagai penjahit tersohor gang Haji Mustajir. Pengerjaannya membutuhkan ketelatenan dan ketelitian ekstra. Tidak ada detail yang boleh terlewat. Jika satu detail kelupaan, semua harus diulang dari awal, seperti membordir. Bedanya, bordir hanya sepersepuluh dari rangkaian pekerjaan untuk menyelesaikan selembar pakaian semacam ini.
Ini bukan sekadar kebaya manten dengan ekor dua meter dan berbordir manik-manik yang dipesan oleh calon pengantin yang bolak-balik revisi karena selalu bersitegang dengan ibunya, dengan keluarga besar ayahnya, dengan keluarga calon suami, dan tetua-tetua keluarga calon suami, lalu pada akhirnya tidak terpakai karena calon pengantin perempuan kabur. Bukan juga sekadar ekor duyung yang sempat populer beberapa tahun lalu, yang membuat Emak berfantasi naik haji saking panjangnya antrean pemesan. Sayang, tren itu berhenti terlalu cepat. Padahal Emak sudah keburu belanja berkodi-kodi kain metalik aneka warna untuk mengantisipasi pesanan. Sial, tidak ada lagi yang menginginkan ekor duyung. Fantasi naik haji pupus, Emak tekor.
Pakaian ini istimewa karena tiap helainya merupakan mahakarya. Ia dibuat bukan untuk kebutuhan-kebutuhan banal seperti pernikahan atau konten media sosial. Ia tidak akan dipakai sekali lalu dibiarkan membusuk di lemari pakaian. Pakaian ini adalah kulit kedua. Pakaian ini akan mentranformasi dirimu menjadi sesuatu yang berbeda, tak terduga, tidak masuk akal. Pakaian ini akan mengeluarkan hasrat-hasrat kedirianmu yang kau lipat rapi di sebuah pojok kedap suara dan udara dalam hatimu yang rapuh itu. Setidaknya, begitulah visi Emak.
Letak rumah jahit Emak jauh di dalam gang Haji Mustajir. Di sebelahnya berdiri sebuah masjid megah. Untuk gang selebar satu motor, masjid ini terasa terlalu besar. Ia bahkan punya menara azan setinggi kosan tiga lantai yang biasa dijadikan patokan jalan remaja-remaja sekitar yang dijemput pacar barunya.
Dua tahun lalu, sekelompok orang wangi datang ke rumah RT. Mereka berencana mewakafkan milyaran uang untuk membangun “ruang komunitas” bagi warga gang. Sebelum uang diturunkan, beberapa kali kelompok itu datang dan pergi. Sekali waktu mereka mengetuk tiap pintu rumah sepanjang gang ditemani bu RT, bertanya-tanya soal pekerjaan dan kegiatan warga sehari-hari. Bu RT menyebutnya “jajak pendapat”.
Emak tentu juga menjadi sasaran tanya-tanya yang canggung tersebut. Emak sangat terpaksa menerima mereka di rumah jahitnya. Mereka datang persis saat Emak mulai hanyut dalam sehelai kain shantung. Ia tidak suka jika ada orang yang menyelak ritme kerjanya. Ketika menjahit, jari-jemari Emak menjadi benang dan benang adalah jari-jemari Emak. Kain adalah bagian tubuh Emak yang diperlakukannya dengan segenap kasih sayang. Bagian tubuh yang tidak pernah berkhianat. Yang menurut pada kemauannya. Yang menjadi ekspresi luhur jujur jiwanya.
Untuk mencapai fase ini Emak menjalani ritual pemanasan panjang dan terperinci yang dipersiapkan sejak beberapa hari sebelumnya. Tidak boleh ada yang terlewat dan berbeda sedikit pun. Sekali diselak, buyar dan sia-sia sudah ritual tersebut. Di hari itu, Emak sudah terlanjur kesal, jadi ia menjawab pertanyaan mereka ala kadarnya supaya mereka lekas pergi. Ia tidak mau repot membuatkan mereka teh, apalagi menyodorkan kacang bawang.
Tak lama setelah itu, diadakanlah musyawarah warga, yang bagi Emak lebih seperti pengumuman satu arah dari pengurus RT ke warga. Isinya: telah diterima uang wakaf sejumlah lima milyar untuk membangun masjid sebagai pusat kegiatan seluruh warga gang Haji Mustajir.
Emak bingung bukan main. Kegiatan apa yang bisa ia lakukan di masjid? Kegiatan siapa yang dimaksud Ibu RT ini? Alih-alih bertanya, mental bisnis Emak justru membuatnya menawarkan jasa. Ia bisa menjahitkan beberapa pasang mukena untuk disimpan di masjid. Beberapa warga menatapnya seolah dia orang kurang waras. Yang mengejutkan, Ibu RT menyambut baik tawarannya. Ia minta Emak membuat penawaran. Emak pikir, mungkin Ibu RT hanya asal menjawab supaya musyawarah lekas selesai.
Setelah pekerjaan mukena selesai, Emak tidak dibayar dengan uang. Panitia pembangunan masjid bilang ada beberapa material yang harganya naik mendadak. Sebenarnya mereka sudah kehabisan uang, tapi karena kebaikan hati Ibu RT yang juga pemilik kontrakan tempat Emak tinggal, Emak diupah dalam bentuk kelonggaran sewa, tepatnya korting setengah harga selama dua bulan. Emak sebenarnya tidak masalah dengan gaya bayar seperti ini. Ia sering diupah dalam bentuk sembako atau slof rokok. Masalahnya, Emak sedang butuh uang tunai untuk beli kursi jahit berbantal. Beberapa waktu belakangan pinggang bawahnya sering pegal kalau kelamaan duduk.
Sejak berdiri, masjid ini tak pernah berhenti mengadakan kegiatan. Tentu Emak harus mengundang dirinya sendiri untuk ikut beberapa pengajian, jika ia sedang tidak sibuk. Ini merupakan siasat bisnis belaka. Emak perlu menjaga hubungan baik dengan warga dan mencari tahu rencana kegiatan apa yang mungkin membutuhkan jasa jahitnya. Selamatan sunat, kawinan, bahkan peci ngaji baru, semua bisa jadi peluang.
Tidak semua warga menerima Emak dengan hati lapang sebagai bagian dari komunitas masjid. Ini semua karena tubuh Emak tidak mau berkompromi dengan keinginannya.
Pertama kali ikut pengajian, Emak duduk di tempat ibu-ibu. Tapi ibu-ibu rasanya pada risih, ambil tempat duduk jauh-jauh, saling melirik satu sama lain, walaupun tidak ada yang bicara apa-apa. Minggu berikutnya Emak dibisiki oleh Mpok Tonah kalau lebih baik Emak kalau ke masjid tidak pakai kostum. Apa maksudnya kostum, ini kan baju saya? Mpok Tonah menjelaskan, maksudnya Emak mending pake baju koko sama peci aja, ikut pengajian bapak-bapak, yang muhrimnya.
Awalnya Emak enggan. Ia sudah lama meninggalkan atribut laki-laki. Dan ia menanggalkan semua itu lewat pengorbanan yang menyisakan luka tak bertepi di hati. Tapi ya sudahlah, dia coba saja, demi memperluas jejaring bisnis. Bagaimana pun, kita harus selalu melihat masa depan. Emak harus survive. Dan Emak ingin survive lewat jalur yang ia cintai, yang ia kuasai betul, jalur yang halal, sebagai penjahit. Untuk bisa terus menjahit, Emak harus menjalin relasi yang baik dengan para tetangga, langganan-langganannya di masa depan.
Suatu malam saat Emak kesekian kalinya ikut pengajian bapak-bapak, Emak diserang sekelompok preman remaja. Mereka memakai atribut ibadah, tapi, Emak tahu mereka hanya datang demi amplop dan nasi bungkus. Emak tahu, orang yang beribadah tidak akan menyakiti orang lain. Preman-preman ini melempar Emak dengan rokok menyala yang membuat baju Emak bolong-bolong hitam. Mereka meneriaki Emak dengan sebutan banci.
Sejak masjid direnovasi dan pengajian akbar rutin diadakan, preman-preman ini memang jadi sering muncul. Mereka bantu menutup jalan, kemudian mengambil jatah sumbangan. Emak menumpuk rasa kesal dan marah. Emak tahu, jika terlibat ribut-ribut di sekitar masjid, mau siapa pun yang memulai keonaran, pasti Emak yang akan disalahkan. Jika nama Emak rusak, bisnis bisa ikut berantakan.
Lama-kelamaan, para preman tidak hanya mengganggu Emak, tapi juga remaja-remaja putri di sekitar gang.
Setelah dua-tiga bulan, amarah Emak yang suam-suam kuku mulai mendidih. Ditambah keresahan bayar kontrakan, kurang tidur dan kurang makan, Emak jadi benar-benar cranky. Di saat inilah pesanan kostum pawai dari Pelanggan Kesayangan datang, kostum yang akan mengeluarkan hasrat-hasrat kedirian terpendam pemakainya.
Untuk mewujudkan visinya, berhari-hari Emak tidak keluar rumah. Setelah semua bahan didapat, ia menutup pintu depan, menutup gorden, dan bekerja. Ia menggambar pola, memotong, menjahit, membordir dengan seluruh cipta rasa dan karsa seorang seniman kesurupan. Untuk mengisi perut ia cuma minum kopi tubruk, merokok, dan makan nasi pera pakai tempe dan sisa sambal beberapa hari lalu. Mpok Tonah, yang tahu betul kebiasaan Emak jika sudah mengunci diri, kadang meninggalkan serantang makanan di depan pintu. Emak mengambilnya kadang-kadang, jika ingat saja.
Dua minggu kemudian, saatnya mahakarya Emak diserahkan kepada Pelanggan Kesayangan. Di sebuah malam setelah rombongan terakhir pengajian pulang, ribuan kucing hitam berbondong-bondong masuk ke Gang Mustajir seperti air bah. Mereka menyesaki seluruh jalan, pagar, genteng, masuk ke pekarangan, gorong-gorong, semak-belukar, teras kantor lurah, aula dan menara masjid. Mereka masuk lewat pipa-pipa penampung hujan, genteng yang bocor, jendela, ventilasi, serta seluruh celah-celah rumah. Gorden jendela kosan Emak tersibak. Terdengar suara pintu dibuka. Riuh meraung-raung rombongan kucing hitam berdesakan memasuki kontrakan Emak.
__________________________
Catatan editor: akhir cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh. Anda akan mendengar penulisnya, Ratri Ninditya, bertutur langsung untuk Anda.
Baca cerita-cerita Ratri lainnya di sini: