Kumparan Plus - Hidup Di Buru.

Kematian di Hutan Kayu Putih

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua mendapatkan Anugrah Sastra Horison pada 2005, Hadiah Jurnal Puisi SIH, dan penghargaan Mastera 2007. Karyanya beberapa kali dinominasikan dalam Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa dan puisi.
7 Februari 2022 2:35 WIB
·
waktu baca 17 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demi menyampaikan kebenaran atas kematian seorang gadis di hutan kayu putih, yang menyeret seorang lelaki dengan tuduhan tak berampun, hampir saja aku baurkan cerita "Kematian di Dalam Hutan" karya Sherwood Anderson dengan "Di Sebuah Hutan Kecil" karya Ryunosuke Akutagawa. Maafkan. Kedua cerita itu melintas begitu saja saat aku hendak menulis pertanggungjawaban ini—sebagai Ketua Kelompok Alkemis.
Semula kukira tepat kupakai cara Anderson menggunakan narator pertama tunggal. Ternyata untuk melihat beberapa sisi kejadian, lebih mengena teknik Akutagawa yang memberi ruang bagi setiap orang (bahkan cenayang) untuk bicara.
Tapi, sial, di setiap bagian aku sendirilah yang ternyata harus bercerita; bukankah ini cara Anderson? Hmm, biarlah! Kurasa memang cocok membaurkan keduanya. Toh, kedua pesohor itu telah menyeret ingatanku ke hutan kegelapan, apa salahnya kuseret pula mereka ke dalam misteri hutan kayu putihku?
Bersabarlah, dan mari kita lihat tragedi ini dari berbagai sisi. Ilustrasi: Fatah Afrial/kumparan+
(Sepotong) Pengakuan Viral
Seorang mahasiswa tega menghalangi pengobatan kawannya yang sekarat! Biadab! Tak berprikemanusiaan! Ia dendam, ia cemburu, ia ganas! Ia cucu seorang tapol! Fantastis!
Itulah sederet komentar yang dianggap pantas untuk Fatris. Laki-laki hina itu dituduh membunuh Dian, rekan sekampusnya, dengan satu cara yang teramat tega dan tak lazim dalam kasus pembunuhan di mana pun.
Kejadiannya di dalam hutan kayu putih. Lokasinya di Batuboi, barat daya Bukit Tatanggo. Persisnya, lembah berhutan lebat, di tepi sebatang sungai mati. Waktu selepas tengah hari. Korban waktu itu tidaklah sendirian. Ia bersama kekasihnya, Santos—panggilan akrab Santoso. Tapi justru itu yang bikin geregetan. Bukannya menolong Santos yang sedang menolong Dian saat sekarat, Fatris malah menghalangi pertolongan pertama yang sedang dilakukan Santos!
Kami, sebagian Kelompok Alkemis yang segera bercerai-berai, sempat merekam keterangan Fatris pascakejadian, dan videonya kusimpan di laptop kelompok. Rekaman itu belum selesai ketika Fatris mohon diri minta berhenti. Saat itu, ia sudah mulai terisak. Ia bersedia melanjutkan penjelasannya nanti jika masih diperlukan. Sebagai Ketua Alkemis aku mengerti dan memberinya waktu istirahat, meski saat itu ada saja kawan yang tidak terima.
”Bajingan kau, Fatris! Kau sengaja menghabisi Dian!” teriak Patrik.
Fatris diam, dan aku mencoba memisahkan mereka.
“Biarkan Fatris istirahat sejenak,” kataku. Bagaimanapun, muncul juga solidaritas sefakultasku melihat Fatris diserang, terutama oleh anak kimia—maafkan ketidakadilanku. Tapi lebih dari itu, aku adalah Ketua Alkemis yang punya premis sendiri sebelum bertindak. “Jangan main tuduh, Patrik, kau baru datang!” Bila aku menyerah pada situasi, yang lain akan sulit diatasi.
“Fatris masih dendam pada Dian. Mengakulah, Fatris!”
“Akan ia lanjutkan nanti,” kataku memutuskan.
Sayang rekaman itu tak berlanjut karena Fatris keburu dijemput polisi. Celakanya, seseorang, entah siapa, telah menyebarkan video pengakuan yang belum tuntas itu, dan mengabaikan bagian yang terputus, atau memang sengaja membiarkannya terputus. Viral. Universitas lepas tangan. Grup almamater bungkam.
Inilah pengakuan itu:
“Ya, kami bertengkar lagi, dekat kilang. Santos mengumpatku sebagai cucu komunis. Aku balas bilang, kau wong nyolong, masuk nyelonong ke pekarangan orang! Ya, tentu, maksudku nyolong Dian yang lepas dari tanganku. Aku tahu, Santos ikut andil menghasut keluarga Dian sehingga Dian berpisah dariku.
“Dian yang melihat kami bertengkar, tercekat. Nafasnya sesak. Kuduga ia tak mau terlihat sedih oleh siapa pun. Ia berlari ke hutan kayu putih. Hutan itu lebat sekali. Daun-daunnya belum dipetik, rimbun menghalangi cahaya matahari. Santos tersadar dan segera mencari Dian. Ia panggil-panggil nama Dian. Suaranya dipantulkan pohon-pohon. Sementara aku melanjutkan pekerjaan mencatat detail latar novel Beb Vuyk. Cukup lama kemudian, Santos berteriak ke luar hutan, 'Tolong Dian, tolong Dian!'; Apa yang terjadi? Santos terus berlari ke kilang, lalu secepat itu pula menghilang kembali ke dalam hutan. Kulihat ia menenteng sebotol minyak kayu putih di tangan.
“Khawatir, aku segera menyusul Santos ke dalam hutan. Kudapati Dian meringkuk di lembah. Asmanya agaknya kambuh. Kali ini cukup parah. Santos menuangkan minyak kayu putih yang baru ia bawa ke dalam tutup botol yang ia balikkan, lalu diminumkannya kepada Dian. Secepatnya aku cegah, 'Jangan!' kataku menahan. Bahkan ketika laranganku tak diindahkan, aku rebut tutup botol itu sebelum isinya tandas. Santos menyeringai. Ia dorong aku kuat-kuat sehingga aku terjengkang. Lalu ia tuang sesloki lagi, sekira 15 mili.
“Minyak itu tandas diteguk Dian. Aku panik. Aku takut sesuatu akan terjadi. Dan benar, Dian kejang-kejang. Saat itulah aku berlari ke luar hutan minta bantuan orang-orang. Dua pekerja kilang, Matabe dan Rumihin, menyusul datang. Tapi terlambat. Langit terasa gelap saat Dian hendak kami angkat ke luar hutan. Sepasang lentera di matanya padam."
(Fatris terisak, video itu berhenti tiba-tiba, lalu komentar-komentar tak berampun itulah, berderet-deret seperti tak mau habisnya!)
Peta dan Rencana
Semua bermula ketika kami, mahasiswa sebuah universitas ternama di Yogyakarta, melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Buru, Maluku. Kami berasal dari berbagai fakultas dan jurusan. Ada dari ilmu tanah, teknik sipil, geografi, biologi, kimia, sastra, psikologi, sejarah, filsafat, dan entah apalagi.
Selain program utama milik keseluruhan rombongan, kami juga membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menjalankan program khusus.
Ada kelompok yang meneliti keasaman tanah lembah Waeapo demi rekomendasi perluasan sawah ke arah rawa-rawa. Ada yang menyisir sebaran merkuri di Sungai Anahoni yang mengalir ke Teluk Kayeli atas tambang emas tak terkendali di Gunung Botak, dan memastikan keamanan ikan-ikannya. Sebagian berpencar ke barat, melihat usaha kopra di Air Buaya, dan membuat keramba apung di Teluk Bara. Ada pula kelompok yang meneliti struktur tanah di Benteng Byrun yang sejak banjir besar melanda Patuanan Kayeli tahun 1864 telah membuat dinding benteng terkubur lebih separoh.
Aku dan kelompokku membuat program khusus berupa Peta Literasi Pulau Buru untuk wisata, edukasi dan sejarah. Kelompok kami bertujuh, gabungan mahasiswa eksak dan humaniora. Patrik dan Santos dari kimia, Woworuntu jurusan sejarah, Akhyar dari psikologi, Fatris dan aku sendiri jurusan sastra. Lalu Dian Kejora dari biologi (nama gadis satu-satunya ini lebih indah disebut secara lengkap; ya, Dian Kejora, dia kekasih Santos).
Peta literasi rancangan kami mencakup jalur kapal Victoria yang membawa Pigafetta dan Magellan merapat di Buru, “pendaratan” Wallace di Kayeli, Beb Vuyk yang menyuling minyak kayu putih di Batuboi, kunjungan Soekarno di Namlea, hingga Janet E. Steele dari Washington DC yang berkeliling Waeapo mencari sisa reruntuhan gudang dan barak di unit-unit tapol.
Titik temu utama tentu saja Waeapo dengan puluhan penulis tapol. Tak sebatas Pramoedya Ananta Toer, juga Rivai Apin, Amarzan Lubis, Mars Noersmono, Oey Hai Djoen, Jusuf Ishak, Hersri Setiawan, dan banyak yang lain. Termasuk kunjungan penulis kawak: Cindy Adams, Rosihan Anwar, Sabam Siagian, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad sampai Sindhunata.
Kelompok kami berjuluk “Alkemis”, merujuk novel Paulo Coelho yang memantik pencarian dan kesejatian diri, sekaligus menunjukkan bahwa kami berasal dari jurusan eksak dan humaniora. Aku didapuk jadi ketua. Secara berlebihan tapi dengan niat tak neko-neko aku dipanggil: Sang Alkemis. Itu terlalu berat, dan terbukti kini aku menanggung beban tak terperi.
Program kami berawal di kilang minyak kayu putih milik Sulaiman Masbait, di Batuboi, 15 km dari Namlea dan 1,5 km dari tepi jalan Namlea-Waeapo. Untuk mencapainya, setelah turun dari oto, kami berjalan kaki menaiki bukit, lalu turun ke lembah yang terlindung dari angin sabana. Di sanalah tungku penyulingan berada.
Di atas kobaran kayu api terjerang ketel besar beruap dari besi atau stainless steel, berisi rebusan daun kayu putih. Air mendidih dan uapnya mendesis-desis, mengalirkan tetes demi tetes minyak ke pipa trompong, ditampung bekas botol bir, seperti bulir keringat para pekerja, kadang kuamsal seperti perasan air mata salah satu di antara mereka yang paling menderita. Sementara pondok tempat tinggal pekerja selama musim petik dan suling, kami sulap jadi semacam ruang kerja laborat.
Kehidupan di sini persis diceritakan sastrawan Indo, Beb Vuyk, dalam novelnya: Sebuah Rumah Nun di Sana. Perempuan pemetik daun pagi-pagi sudah berkeliling tiap petak lahan di mana tanaman kayu putih tumbuh secara liar. Menjelang sore, karung-karung berisi daun sudah berderet di sepanjang jalan setapak untuk diangkut ke tempat penyulingan. Para lelaki menggendongnya, dan yang lain mengeping kayu bakar, menjaga api di tungku tetap menyala sepanjang waktu.
Daun-daun itu didayaukan di dalam bak kayu persegi panjang yang disebut blubur, dan posisinya gampang dijangkau dari ketel. Tiap kali daun rebusan dianggap sudah maksimal mengeluarkan minyak, sepahnya akan dibuang menjadi tumpukan menyerupai gunung daun. Bersamaan dengan itu, daun di ketel segera diganti daun yang baru, disauk dari blubur dengan serok bambu. Begitulah seterusnya. Sejak masa Beb Vuyk mendapat konsesi hutan kayu putih dari kolonial Belanda dan ia hidup bersama orang Alifuru, Buton dan Binongko, mengolah daun kayu putih menjadi minyak gosok Hindia yang disukai di Eropa, cara suling itu tak banyak berubah. Mungkin hanya berubah wadah rebusan daun saja, dari yang dulu berasal dari lengkungan kayu, sekarang dari stainless steel.
Sesuai bidang studi kami masing-masing, aku dan Fatris bertugas menggali latar novel Beb Vuyk untuk dinarasikan ulang dalam peta, sementara Woworuntu menguliknya dari sisi sejarah. Patrik dan Santos yang berlatar kimia bermaksud mencampur minyak kayu putih dengan senyawa lain supaya lebih licin. Menurut mereka, minyak kayu putih terlalu kesat, cepat kering, dan bikin perih kulit. Campuran kimiawi itu sekalian bakal membuat minyak kayu putih lebih berkhasiat.
“Dulu, minyak kayu putih bukan hanya untuk obat luar, tapi juga bisa diminum,” kata Santos dalam diskusi perencanaan di posko Alkemis, kontrakan kami di pinggiran kota Namlea. Santos merujuk catatan naturalis Jerman, Georg Eberhard Rumpf alias Rumphius, serta laporan asisten residen Amboina, Willer.
“Kalau perlu bikin bisa diminum kembali, supaya tidak identik sebagai obat gosok belaka,” kata Patrik. Aku merasa ide mereka menarik.
“Ah, itu persis kamfer atau kapur barus, Kawan,” Woworuntu setengah menggerutu. “Kapur barus kini hanya dikenal untuk pengusir kecoak, padahal bangsa Mesir Kuno memakainya sebagai bumbu masak. Dan jika pun untuk pengharum, bukan sekedar buat lemari kos kita yang sengak di kota, tapi pengawet mumi dalam pyramid!”
Dian, si anak biologi, dibantu Akhyar dari sisi psikologi, akan menggenapkan “racikan” Patrik dan Santos dengan aroma terapi khusus. Sungguh, rencana indah dan sempurna.
Kawan Seteru
Begitulah kami bayangkan, kelak sambil berwisata literasi, pengunjung Buru bisa membeli oleh-oleh minyak kayu putih berkhasiat terapi. Silakan pilih aromamu! Dan bersama aroma itu ingatanmu bebas berlayar! Bukankah itu menarik?
“Mau minum gimana wong alat sulingnya sudah beda,” Fatris menyela, sinis.
“Apa pun alatnya, yang penting aromanya. Kita mesti bisa menghadirkan peristiwa saat mencium tiap aroma, Kawan,” Woworunto, anak Minahasa itu, memberi Dian tantangan dan sedikit mengabaikan Fatris, sebenarnya.
“Sudah kupikirkan,” kata Dian, lalu ia tersenyum manis tanpa perlu merespons Fatris. “Aroma original akan mengingatkan kita pada masa kolonial, aroma uap garam mengingatkan keringat para tapol, bau sagu menguarkan semangat hidup orang Alifuru. Adapun aroma akar lalang membuat kita teringat keringat orang-orang trans...” Dian serius menjelaskan aneka aroma minyak kayu putih yang akan diramunya dengan merujuk literasi Buru.
Tapi lagi-lagi Fatris menyela, “Pikirkan juga bagaimana aroma itu bisa mengatasi asmamu!” Si gadis, kami tahu, memang punya gejala asma. Jadi ketimbang sinis, aku merasa selaan Fatris itu relatif tulus.
“Bukan asmanya yang kambuh, kautahu, tapi asmara kami!” kata Santos sambil mendadak berdiri. Berang. Wajahnya berubah tegang.
“Oh, ya, secara psikologis aroma dapat mengendurkan urat syaraf dan itu sama dengan obat,” Akhyar menetralisir suasana dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tapi karena suasana sudah tidak memungkinkan, aku menutup diskusi lebih awal. Untunglah segera terdengar gitar dipetik Santos di serambi, dari mana hutan kayu putih tampak di kejauhan,“Sejak dulu beta ada sendiri....” Aku tahu, petilan lagu pop Maluku itu tertuju pada Fatris. Lebih dari itu aku tahu keduanya berseteru.
Fatris mencibir rumus-rumus yang selalu dikoarkan Santos, dan Santos menisbikan hal-hal sastrawi yang kerap disinggung Fatris. Aku sendiri berusaha mencairkan hubungan mereka. “Nama kelompok kita Alkemis, Kawan. Di dalamnya ada sastra dan kimia, eksak dan humaniora. Supaya adukannya akur dalam bejana, kita perlu terus belajar ketulusan dari Santiago, si bocah penggembala itu!” kataku merujuk tokoh Pablo dalam novel Coelho yang fenomenal, Sang Alkemis.
Mereka setuju, meski aku tak yakin mereka akan sepenuhnya berhenti saling menantang. Selalu dan selamanya menjadi kawan seteru. Ah, soalnya bukan semata perkara eksak dan humaniora, rumus-rumus dan estetika, tapi ada riwayat yang lebih panjang!
Api dalam Sekam
Belum semua anggota Alkemis tahu, mungkin juga tidak peduli, bahwa Fatris dan Dian pernah punya hubungan unik, jika bukan rumit. Mereka hidup bertetangga di kota kecil yang sama, Maos, Cilacap, dan bersekolah satu atap semenjak SMP. Tapi keluarga Dian mewanti-wanti supaya Dian tak terlalu dekat dengan Fatris. Ada dendam masa silam. Api kesumat dalam sekam, dan itu nyaris harfiah.
Kakek-buyut Fatris, Kiswondo, ketua serikat buruh stasiun Maos, dianggap bertanggung jawab atas tewasnya kakek-buyut Dian, Eyang Mugiyono. Si eyang punya sawah luas di Maos lengkap dengan huller atau mesin penggiling padi. Menjelang 1965, saat kampung memanas karena saling ganyang antar pendukung kyai dan PKI, Eyang Mugiyono ditemukan tewas dalam onggokan sekam di belakang huller-nya.
Pelakunya konon orang suruhan Kiswondo yang sedang dipromosikan jadi kepala Stasiun Maos. Itu stasiun penting, titik persilangan sabuk besi Pulau Jawa, tempat menginap perjalanan kereta pada masa kolonial. Kepalanya musti militan. Tak heran Kiswondo melakukan gerakan yang dapat mengerek namanya. Apalagi seturut desas-desus, Eyang Mugiyono adalah tuan tanah serakah yang harus enyah di tengah rakyat melarat dan tak punya tanah.
Lalu huru-hara ‘65 meletus di ibu kota dan menjalar ke desa-desa. Bersama belasan anggota serikatnya, Kiswondo ditangkap. Mereka diinterogasi di markas militer Cilacap. Sebagian dibawa ke Banyumas, dan, menurut kabar, lebih banyak lagi yang tak sampai ke markas. Mereka digiring ke hutan pinus lalu ditemukan tak bernyawa di Sungai Serayu. Eyang Kiswondo sendiri ditahan di Nusakambangan, kemudian dibuang ke Pulau Buru. Ia meninggal dalam pembuangan pada 1979.
Seolah tak terpengaruh masa lalu yang sering diceritakan keluarganya itu, Dian tetap berkawan baik dengan Fatris. Dian suka melihat Fatris yang senang membaca dan menulis. Tiap jam istirahat, anak itu ngendon di perpustakaan sekolah. Mencorat-coret buku tulisnya, diberinya skets dan hiasan, dan tanpa ragu ia sebut itu puisi atau cerita. Dian akan membacanya dan merasakan kawan remajanya itu menyimpan gejolak. Maka ketimbang menjaga jarak—sebagaimana diisyaratkan keluarganya—Dian malah makin dekat. Suatu hari, Fatris memperlihatkan buku tua yang baru dipinjamnya di perpustakaan sekolah. Tentang penyulingan minyak kayu putih di sebuah pulau jauh di timur: Buru. Itulah novel Beb Vuyk.
Setelah cukup lama ikut membolak-balik buku itu, demi menjaga perasaan Fatris tetap tenteram, Dian mengatakan Pulau Buru ternyata tak melulu pilu. Buktinya pulau itu punya minyak kayu putih yang bikin ngiler orang kulit putih. Fatris mengangguk-angguk, senang sekali. Tapi hari lain, ketika pelajaran sejarah menyebut Kudeta 65, mereka serba salah. Pak Nugroho, guru sejarah mereka, bercerita amat tenang, nyaris dingin, tentang Lubang Buaya dan Kesaktian Pancasila. Bahkan, sekali dalam setahun, mereka diwajibkan nonton sebuah film mencekam di televisi. Meski bareng kawan sekelas, rasanya tetap saja menakutkan. Semua anak tampak berwajah cemas.
Pada masa SMA, Dian mulai berani mempertanyakan sikap keluarganya yang mendendam terhadap keluarga Fatris. Dari cerita berserak yang ia kumpulkan, tuduhan atas Eyang Kiswondo tidak benar-benar terbukti. Ada saksi menyatakan bahwa pihak lain terlibat dan ikut bermain. Pihak itu sengaja memintas promosi kepala stasiun untuk Eyang Kiswondo dengan tindakan ceroboh: membunuh seorang tokoh Maos supaya massa balik menyerbu stasiun.
“Sudahlah, Dian, itu sudah menjadi masa silam. Sulit bagi orang tuamu untuk melupakan,” bagaimana pun Fatris merasa tahu diri. Kadang boleh jadi rendah diri sebab kerap juga ia di-bully dengan sebutan anak-cucu PKI.
Setamat SMA, Dian dan Fatris mendaftar di kampus yang sama di Yogya. Keduanya diterima meski beda jurusan. Sejak itu, perjalanan pulang bersama ke Maos atau kembali ke Yogya jadi amat menyenangkan bagi mereka. Sampai datang suatu masa, semester tiga atau keempat, Dian diultimatum keluarga.
“Kau terlalu dekat dengan Fatris, Jora!” Dulah, kakaknya, menyebut nama kesayangannya. Pertanda tak ada tawar-menawar.
“Ya, saatnya kamu jaga jarak, Nak. Almarhum papamu pasti tak tenang melihat anaknya berkarib dengan turunan pembunuh leluhurnya. Leluhur kita. Camkan itu, Nduk!”
Dian sendiri gagal menjelaskan sikapnya kepada Fatris. Laki-laki itu terguncang. Bersamaan dengan itu, seorang kawan lain yang disukai keluarga datang seolah memperbaiki dunia Dian yang sempat retak dengan ibu dan kakaknya: Santoso alias Santos!
Dan dunia baru itu berantakan kini. Dian meninggal di hutan. Dari catatan harian Dian yang ditemukan di kilang, sebelum disita polisi, cerita almarhumah kutulis ulang.
Ada Apa dengan Fatris?
Jujur, dalam waktu yang menyiksa, aku selalu bertanya-tanya: ada apa dengan Fatris? Apa motivasi dia mencegah Santos menyuapi Dian dengan minyak kayu putih? Bukankah itu bisa melegakan nafas dan melapangkan dada Dian yang didera asma akut? Apakah karena benar dia dendam dan bermaksud membunuh Dian, lalu berharap Santos jadi tertuduh? Sekali tepuk dapat dua nyamuk?
Ah, aku menyesal tak memaksanya menyelesaikan rekaman pengakuan! Akibatnya, bukan hanya orang-orang di luar sana yang dengan hormat kita sebut netizen itu yang terus mendengung bagai lebah dan lalat, tapi aku sendiri tak mendapat jawab.
Aku mulai menduga, saat Fatris tegak membayangkan Beb Vuyk melintasi bukit Batuboi—laku yang ia sukai setiap sampai di kilang—mungkin yang ia lihat bukan sosok perempuan Indo itu, melainkan eyangnya! Eyang yang bukan hanya berhadapan dengan nyamuk malaria, ular atau buaya, tapi juga tendangan sepatu tentara pengawal tapol, termasuk ancaman pistol! Itulah sebabnya ketika tahu ia dapat lokasi KKN di Pulau Buru, ia dilanda perasaan asing sekaligus takjub.
Begitulah setidaknya ia pernah cerita padaku dan ia bilang akan segera mencari nisan eyangnya begitu tiba di Pulau Buru.
Tapi aneh, saat tiba di Buru, hasratnya berjumpa nisan dan jejak langkah sang eyang di Waeapo tidaklah menggebu. Ia malah terkesan lebih punya hubungan emosi mendalam dengan cerita Beb Vuyk di penyulingan Batuboi!
O, apakah aku cicit durhaka? Fatris pernah bertanya kepada Akhyar, anak psikologi itu. Tidak, ini justru baik sebab kau tak frontal dengan masa lalu. Kau masuk dari sisi tenang secara emosional, kata Akhyar.
Benar. Ketika aku sebut Waeapo sebagai titik literasi terbesar Tanah Air sambil menunjuk peta yang kami buat, Fatris kembali bersemangat,”Oke, Sang Alkemis, selesai eksplorasi Batuboi, kita lanjut ke Waeapo.”
Tapi, Tuhan, kutuk apakah menimpanya? Fatris jadi tertuduh: penolong atau pesakitankah ia? Aku sungguh tidak mengerti!
Di Kantor Polisi
Sebagai Ketua Kelompok Alkemis aku merasa ikut bertanggung jawab, meski pihak universitas angkat tangan. Aku mendampingi Fatris ke kantor polisi. Kecuali itu, aku sendiri memang dipanggil sebagai saksi.
Alhamdulillah, tak sia-sia. Di kantor polisi aku akhirnya dapat sambungan video pengakuan Fatris yang sempat viral. Meski kali ini aku harus merekamnya diam-diam, dan karena diam-diam aku hanya dapat rekaman suara, beginilah bunyinya:
(Kepada penyidik): “Saya justru ingin menyelamatkan Dian, Pak!”
(Penyidik): “Bagaimana mungkin? Kamu larang Santos beri obat pada korban, toh?!”
“Ia beri minuman minyak kayu putih, Bapak!”
“Bukankah itu obat? Kau tak baca literatur bahwa cajuput oil bisa diminum sedikit? Itu kata Rumphius. Kau mau membuat peta literasi, masa tak paham? Saya saja yang polisi tahu!” (suara penyidik terdengar ironis).
“Memang, tapi itu dulu,” (nada mengejek), “Dan sedikit, bukan dua tutup botol!”
“Santos anak kimia, ia pasti lebih tahu toh,” (penyidik mendehem).
”Ya, semua merasa tahu soal Rumphius. Tapi ahli botani yang buta kedua matanya dan hidup menderita demi pengabdian itu tak sekalipun menyebut minyak kayu putih boleh diminum, Bapak. Ia hanya mencatat bahwa minyak kayu putih didapat dengan cara menghaluskan daunnya, bukan disuling. Lalu beberapa tahun kemudian, Willer melaporkan bahwa sudah ada proses penyulingan beserta perkiraan biayanya. Beb Vuyklah yang menyebut dalam novelnya bahwa minyak kayu putih atau minyak hijau bisa diminum untuk obat setelah dicampur air hangat. Tapi mereka tak baca sastra. Mereka hanya baca diktat-diktat. Hanya percaya rumus-rumus. Ketika kukomentari perdebatan konyol mereka di posko, aku dianggap sinis!”
(Jeda sebentar).”Mereka bahkan tak baca novel yang gampang didapat seperti Ronggeng Dukuh Paruk. Sengaja kutaruh novel itu di posko, tapi mereka bergeming. Tak ada yang menyentuh. Nyaris berdebu. Atau mungkin ada satu-dua orang yang pernah baca sebelumnya, tapi tak ada yang mengambil pelajaran dari situ.”
“Apa hubungannya?” (terdengar tawa mengejek, seperti menakar).
“Di bab satu diceritakan tentang tempe bongkrek buatan ayah Srintil, Santayib. Suatu hari, setelah makan tempe itu, orang sedukuh sakit perut, lalu mati bergelimpangan seperti terserang wabah penyakit. Kutukan Ki Secamenggala? Atau karena bakteria? Yang pasti, seorang tua menemukan bokor tembaga tergeletak di samping sumur Santayib. Lapisannya membiru, warna racun asam tembaga. Santayib merambang bungkil dengan bokor itu. Itulah masalahnya.”
(Penyidik agak gugup sekarang; kemerosok kertas dan totokan pulpen di meja).
“Bapak lihat,” (setelah agak lama jeda) “Sekarang orang-orang menyuling bukan lagi dengan wadah kayu seperti dulu, tapi menggunakan ketel dari besi atau stainless steel. Itu dipanaskan sepanjang waktu, lebih dari bokor tembaga. Bayangkan racun macam apa yang muncul, bercampur dengan minyak. Maka cukuplah kini minyak kayu putih untuk obat luar saja. Tak usah berpikir tentang obat dalam. Karenanya aku cegah Santos meminumkannya kepada Dian, dan dengan itu aku jadi tertuduh!”
“Cukup!” (penyidik membentak, tapi kemudian melunak),”Nanti dilanjutkan...”
Fatris dibawa keluar ruangan penyidik. Ketika melewatiku yang duduk di balik dinding yang setengahnya dari kaca, ia tersenyum. Menyapa. Aku membalas. Di posko atau kilang, senyum itu pasti akan dianggap sinis, tapi di sini aku lihat itu pertanda puas, seolah Fatris telah duduk di pengadilan menyampaikan pledoi.
___________________________
Catatan editor: sebagian teks cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Baca kisah Raudal Tanjung Banua lainnya dalam kumpulan Hidup di Buru di bawah ini:
Hidup Di Buru. Foto: Fatah Afrial/Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten