Vuyk dan Rilke
Bintik-bintik kecil dedaunan kayu putih di kejauhan persis tirai kabut, putih-kelabu, menyaput punggung perbukitan, bergelombang di cekung lembah, mengalir layah hingga ke tepian teluk. Faqih Mahfudz melepas pandang seolah sepasang matanya menjelma jadi sepasang burung. Ia melihat seorang perempuan Indo bersama suaminya, Belanda-totok, berdayung mengarungi teluk, memunggungi Namlea dan sebuah rumah nun di sana.
Perlahan sampan mereka memasuki alur bakau dan kecipak dayung jadi terdengar lamban. Tak lama, alur membelok ke sunyi rawa hutan sagu. Di antara pohon-pohon sagu gemuk, di mana sampan harus ditambatkan, ada setapak jalan naik. Itu bekas jalan buaya yang menyeret perutnya di tanah, dan ketika buaya tua itu ditemukan mati, Heintje, pembantunya, memanfaatkan jalur itu untuk tuannya. Lumayan memperpendek jarak. Dari situ, mereka naik-turun bukit melewati alang-alang setajam pisau, masuk makin jauh ke semak kusu-kusu, sampai akhirnya mencapai tempat penyulingan dekat sumber air.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814