Belajar dari Wabah Malaria 1959 untuk Hadapi COVID-19

Raul Gonzales
Halo, saya Raul Gonzales
Konten dari Pengguna
31 Desember 2020 8:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raul Gonzales tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Momentum Hari Kesehatan Dunia yang diperingati setiap tanggal 12 November lalu adalah hari besar dalam menyadarkan kita akan pentingnya menjaga kesehatan. Kalau melihat lebih dalam tentang sejarah, penyakit Malar
ADVERTISEMENT
ia menjadi bahasan utama kenapa pada akhirnya ada momentum Hari Kesehatan Nasional. Semua berawal ketika penyakit Malaria mewabah di Indonesia. Menjadi kenyataan pahit saat itu dimana penyakit ini memakan korban jiwa yang banyak. Pemerintah melakukan berbagai usaha sebagai bentuk respon akan wabah berbahaya ini. Pada saat itu dilakukanlah pemberantasan penyakit Malaria dengan obat jenis DDT. Dilakukan penyemprotan secara besar-besaran ke rumah penduduk yang ada di pulau Bali, Lampung, dan Jawa. Presiden Soekarno melakukan penyemprotan secara simbolis pada tanggal 12 November 1959 di Yogyakarta yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Kesehatan Nasional.
Semenjak kejadian tersebut, tentu Hari Kesehatan Nasional adalah momen terbaik untuk kembali menyadarkan kita bersama akan pentingnya kesehatan. Selama ini kita terlalu banyak mengabaikan arti penting dari preventif sebelum kuratif. Berkaca kepada masa sekarang, pandemic COVID-19 seakan menjadi kilas balik dari peristiwa wabah Malaria 61 tahun yang lalu. Sungguh miris saat melihat bahwa negeri kita masih berjuang keras melawan dahsyatnya penyebaran virus korona yang tidak main-main ini. Hampir seluruh sektor kehidupan tidak boleh melakukan kegiatan alih-alih penyebaran virus korona. Tentu hal ini sama dengan apa yang terjadi pada tahun 1959 dahulu. Melihat secara statistic,laju kenaikan kasus korona masih meningkat di Indonesia. Tercatat sudah lebih dari 400.000 kasus positif COVID-19 di Indonesia. Dengan tingkat kenaikan kasus sebanyak 3.000 sampai 8.000 perhari. Kita sempat khawatir dengan kapasitas RS yang tidak mencukupi, APD tenaga kesehatan yang kurang, dan yang paling disayangkan adalah kepedulian masyarakat untuk menjaga dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu apa sebenarnya yang membuat wabah malaria pada tahun 1959 berhasil ditangani dengan baik pada masa itu? Pembasmian wabah malaria dilakukan dengan penyemprotan insektisida berjenis Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) secara massal kerumah-rumah warga. Dan dengan keadaan COVID-19 yang berstatus sebagai virus, bukan vector pembawa penyakit seperti nyamuk. Tentu harapan terbesar kita adalah vaksin yang menjamin kekebalan tubuh manusia. Selain itu juga dibentuk sebuah lemabaga yang dinamai Dinas Pembasmian Malaria yang berubah nama menjadi Komando Operasi Pemberantasan Malaria. Kalau sekarang ada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang mengkoordinasikan kegiatan antarlembaga dalam upaya mencegah dan menanggulangi dampak COVID-19 di Indonesia. Gugus tugas ini berada dalam lingkup Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lalu dahulu ada pendidikan kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat disamping penyemprotan DDT. Kalau melihat kondisi COVID-19, edukasi terkait pencegahan irus korona sudah sangat banyak dan sangat memiliki kemudahan dalam mengaksesnya. Di awal pandemi Meletus di Indonesia, Kemenkes secara cepat memberikan pedoman protocol kesehatan. Dan kehidupan yang berbasis media sosial, tentu informasi terkait banyak didapatkan dari berbagai sumber. Tapi dengan banyaknya berita tersebut, banyak pula tesebar hoax yang membuat masyarakat menjadi panik. Dan halitulah yng harus kita tepis Bersama.
ADVERTISEMENT
Dengan kemudahan akses untuk mendapatkan Pendidikan kesehatan selama wabah, lantas apa yang kurang saat ini sehingga kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat?. Jawabannya adalah kesadaran bersama. Diawal masa pandemic, masyarakat dituntut untuk tetap dirumah dan melakukan social distancing, sebuah kampanye dimana kita harus terus menjaga jarak dengan orang-orang. Kepatuhan warga akan 3M masih dinilai cukup rendah. Dilansir dari publikasi Kementerian Kesehatan pada bulan Juni lalu, jubir pemerintah untuk COVID-19 dr.Achmad Yurianto mengatakan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah. Konsep 3M yang digaungkan masih dianggap sepele oleh beberapa orang. Menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker seakan menjadi konsep awam saat pandemic. Padahal menjadi konsep yang sangat esensial dalam masa pandemic COVID-19.
ADVERTISEMENT
Sebelum semakin parah, apa yang bisa dilakukan untuk bisa meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya protocol kesehatan dimasa pandemi ?. Kita bisa menggunakan jasa para influencer milenial yang kerap menjadi sosok panutan bagi sebagian kalangan masyarakat, alasannya karena media sosial Instagram menjadi media yang exposurenya cukup tinggi untuk mendapatkan informasi. Influencer bisa melakukan kampanye terbuka yang terintegrasi dengan BNPB RI. Yang diharapkan bisa memersuasi orang lebih banyak lagi karena pekerjaan influencer adalah menginfluence pengikutnya kearah yang lebih baik. Dan karena tidak dipungkuri, keperluan keluar rumah atas beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi menjadi alasan krusial wabah ini tetap ada. Dengan memperbaiki lagi regulasi jumlah kerumunan, wajib memakai masker, penyediaan handsanitizer dipintu masuk, serta penempelan poster edukatif menjadi solusi terbaik untuk saatini. Semoga dengan adanya COVID-19 membuka pikiran kita bahwa saat ini berjauhan adalah jalan terbaik untuk saling menjaga satu sama lain.
ADVERTISEMENT
REFERENSI:
-Asri, M., 2020. MASYARAKAT INDONESIA DALAM MENGHADAPI PANDEMI VIRUS CORONA (COVID-19) DAN PERATURAN PEMERINTAH. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 7(7).
-<http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20201014/4235370/kemenkes-kunci-utama-pengendalian-covid-19-adalah-perilaku-disiplin-3m/> [Accessed 19 December 2020].
-<https://www.kemkes.go.id/article/view/14112700003/hari-kesehatan-nasional-hkn-emas-ke-50-tahun-2014.html> [Accessed 19 December 2020].