Konten dari Pengguna

Salah Tempat, Salah Waktu, Salah Baju. Tapi Tak Pernah Salah Pelaku?

Razheline Hermawan
Siswa SMA Citra Berkat Tangerang
24 Agustus 2025 0:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Salah Tempat, Salah Waktu, Salah Baju. Tapi Tak Pernah Salah Pelaku?
Esai ini mengajak kita berhenti menyalahkan korban pelecehan seksual dan fokus pada pelaku, serta pentingnya edukasi dan dukungan bagi korban.
Razheline Hermawan
Tulisan dari Razheline Hermawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban atas kekerasan atau pelecehan yang ia alami. Victim blaming merujuk pada sikap yang menganggap korban bertanggung jawab atas hal yang mereka alami. Dalam konteks pelecehan seksual, hal ini bisa muncul dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan yang mengarah pada kesalahan korban. Misalnya mempertanyakan perilaku sebelum korban dilecehkan, pakaian apa yang dipakai, atau tempat korban berada. Pola pikir ini tidak hanya keliru, tetapi juga mengalihkan fokus dari pelaku yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban.
Ilustrasi dihasilkan oleh AI melalui ChatGPT - Open AI, atas permintaan penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dihasilkan oleh AI melalui ChatGPT - Open AI, atas permintaan penulis.
Victim blaming masih menjadi respons umum terhadap korban pelecehan seksual. Masih banyak orang percaya bahwa pakaian terbuka, keluar saat jam malam, atau sikap korban adalah pemicu utama dari kasus pelecehan seksual. Ketika fokus dari masyarakat hanya berpacu pada "Emang dia pake baju apa?" "Ngapain ke tempat kaya gitu?" "Pantes dilecehin, pakaiannya terbuka", kita lupa bahwa tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan perlakuan tidak senonoh terhadap tubuh orang lain. Pemikiran seperti ini muncul karena kurangnya pemahaman tentang konsep persetujuan (consent) dan kuatnya budaya patriarki yang membenarkan perilaku dari pelaku pelecehan seksual. Akibatnya, korban tidak hanya mendapatkan trauma fisik dari kejadian yang menimpanya, melainkan dia juga menanggung beban psikologis akibat tuduhan dan keraguan dari lingkungan sekitar. Praktik victim blaming masih sering muncul terjadi dalam kasus pelecehan seksual di masyarakat. Meski kesadaran publik soal isu ini mulai tumbuh, komentar seperti “Makanya jangan pakai baju terbuka” atau “Ngapain sih malam-malam keluar sendirian?” masih terdengar di berbagai percakapan. Ucapan-ucapan ini memberi kesan bahwa alasan dibalik terjadinya pelecehan seksual ini terletak pada korban, bukan pelaku. Akibatnya, banyak korban merasa tertekan, memilih diam, dan enggan melapor karena takut dicemooh atau dihakimi oleh lingkungan sekitar. Victim blaming tidak hanya melukai secara emosional, tetapi juga menghambat proses hukum. Ketika korban dilekatkan stigma atau dianggap “ikut bersalah”, dukungan yang seharusnya mereka dapatkan justru berubah menjadi keraguan. Situasi ini membuat korban enggan melaporkan kasusnya karena takut disalahkan atau tidak dipercaya. Akibatnya, bukti menjadi semakin sulit dikumpulkan, dan kesaksian korban kehilangan bobot di mata hukum. Dalam jangka panjang, pola ini memperkuat budaya diam dan memberi ruang bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya tanpa takut konsekuensi. Media dan lingkungan sekitar sering kali tanpa sadar memperkuat budaya victim blaming. Dalam pemberitaan kasus pelecehan seksual, perhatian publik kerap diarahkan pada pakaian yang dikenakan korban, lokasi kejadian, atau aktivitas yang dilakukan korban sebelum peristiwa, alih-alih memusatkan sorotan pada perilaku pelaku. Fokus yang keliru ini berpotensi mengaburkan tanggung jawab pelaku dan justru membentuk opini bahwa korban turut bersalah atas peristiwa yang menimpanya. Apabila pola pemberitaan dan pembicaraan seperti ini dibiarkan, maka stereotip yang salah akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi media dan masyarakat untuk mengubah sudut pandang pemberitaan dan percakapan agar tidak lagi menyudutkan korban. Perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci dalam menghapus praktik victim blaming. Tentunya menghapus pola pikir victim blaming tidak bisa dilakukan secara instan, namun membutuhkan bantuan dari beberapa pihak. Pendidikan bisa menjadi pilihan langkah awal untuk menghapus pola pikir victim blaming di masyarakat, terutama dengan memasukan materi tentang kekerasan seksual dan hak-hak korban ke dalam kurikulum sekolah. Media masa atau media publikasi juga memiliki tanggung jawab besar dalam pemberitaan kasus pelecehan seksual tanpa menyudutkan korban atau menambah beban psikologis mereka. Selain itu, lingkungan sekitar seperti keluarga dan teman sebaya juga perlu menjadi tempat yang aman yang mendukung korban untuk berbicara tanpa rasa takut untuk dihakimi. Menempatkan kesalahan hanya pada pelaku adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh dalam setiap pembahasan kasus kekerasan seksual. Budaya yang mendukung korban akan tercipta jika masyarakat berhenti mencari-cari alasan untuk menyalahkan mereka. Energi kita seharusnya diarahkan untuk menegakkan hukum, memberi dukungan mental, dan memastikan pelaku menerima hukuman setimpal. Ketegasan ini bukan hanya soal keadilan bagi korban, tapi juga sinyal keras bahwa pelecehan seksual tak akan pernah punya tempat.
ADVERTISEMENT