Bitcoin, Mata Uang yang Murah

Realino Nurza
Team Leader dan Peneliti Lepas Institute of Religion and Sustainable Development (IRSAD.ORG)
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2021 10:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Realino Nurza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/bitcoin-bulat-berwarna-emas-1036635/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/bitcoin-bulat-berwarna-emas-1036635/
ADVERTISEMENT
Mata uang sebagai alat tukar adalah sebuah keajaiban dalam sistem sosial kita. Bahkan saking ajaib, kita sering tidak akan mempertanyakan dari mana asalnya dan ke mana akan berakhir. Sudah bagian dari mekanisme sosial dan alamiah, ketertarikan kita pada uang sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan nilai terbentuk secara alami melalui model hubungan antar manusia. Mungkin dalam pengalaman hidup kita, waktu masih kanak kanak. Pernah melakukan drama belanja pasar di mana kita menggunakan daun sebagai alat tukar untuk membayar transaksi yang kita lakukan dalam drama itu. Indah rasanya, karena alat tukar adalah daun yang kita pungut dari sembarang tempat. Dan dengan negara seperti Indonesia, daun bertebaran di mana mana, dan kadang sering menjadi masalah kalau sudah memenuhi halaman. Setelah dewasa, kita menemukan sebuah kenyataan bahwa uang yang kita bermain waktu kanak kanak tidak berguna.
ADVERTISEMENT
Uang saat dewasa, yang dipakai untuk belanja di pasar begitu sulit didapat. Tidak semudah yang kita bayangkan ketika kanak kanak. Kita perlu menghabiskan waktu berlama lama mengurusi urusan kantor, dengan bangun pagi sebelum matahari terbit. Pulang tengah malam ketika matahari sudah tenggelam. Bahkan begitu sibuk ingin mendapatkannya, kita sering tidak punya waktu untuk keluarga yang diperjuangkan. Bahkan persepsi tentang kebahagian dan tujuan hidup berubah bersandar pada uang. Dalam praktik moneternya, mendapatkan uang yang kita tukar dengan waktu, tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan nilai waktu yang diberikan. Sebut saja 100.000 dari pekerjaan sebulan, kita tidak menerima sepenuhnya 100.000 secara nilai.
Nilai sebenarnya yang diterima adalah dipotong 2% Inflasi dan dipotong 10% (PPN) pajak pertambahan nilai dari transaksi. Artinya 12% pengurangan dari angka tersebut. Walaupun dalam nominal hal itu baru akan terjadi, jika bertransaksi. Dan dalam praktik selanjutnya, akan dipotong bertingkat sesuai kebijakan pemerintah setempat terkait penghasilan, dalam rentang mulai dari 10-65 yang biasa kita kenal dengan Pajak Penghasilan. (PPH) Sehingga total potongan 12% ditambah relatif 20%, dengan total 22%.
ADVERTISEMENT
Dari sisi praktik moneter tindakan ini tidak salah dan berlaku umum. Dan dipraktikkan berbagai negara di dunia. Dan biasanya praktik ini akan semakin besar angkanya, bergantung pada kondisi ekonomi, produk yang dibeli atau kebijakan pemerintah untuk tujuan mendapatkan bagi hasil dari waktu yang ditukar oleh Individu dengan penggunaan alat bayar atau Uang. Istilah untuk praktik ini secara bebas, penulis menyebutnya "Sewa Mata Uang". Dengan kondisi covid19 yang menghajar ekonomi dan kesehatan masyarakat. Banyak pemerintah berusaha mengendalikan ekonomi dengan membagi-bagikan uang untuk warganya, dengan berbagai mekanisme. Ada yang melalui potongan pinjaman "Pajak" ada yang melalui bantuan langsung.
Dan praktik seperti ini tentu memberikan kemudahan bagi warga negara dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun dari sisi berbeda, praktik ini sesungguhnya berdampak merusak kestabilan perekonomian negara dan warganya. Pertama akan berdampak pada kolom pengeluaran yang membengkak dan berkurangnya pemasukan. Dan karena praktik ini lebih pada praktik yang tidak berkontribusi pada ekonomi nyata secara langsung. Apa sebab?, Sebab ukuran dari aktivitas ekonomi adalah penciptaan nilai dari barang dan jasa yang ditukar dengan waktu.
ADVERTISEMENT
Jika dalam praktiknya tanpa ada penciptaan nilai melalui barang dan jasa, sementara daya beli diisi dalam posisi ketersediaan tunai dan uang gratis, tentu akan memberikan efek balik yang tidak disadari. Otomatis hal ini akan menggerus aspek produktivitas. Pada sisi lain perilaku yang terbentuk dari ketersediaan uang gratis ini akan berdampak pada ketersediaan mata uang yang berlebih di pasar. Dan jelas akan berkontribusi pada inflasi serta membuat uang Fiat semakin mahal. Secara langsung berdampak pada daya beli. Sederhananya, walau uang nya seratus ribu, tapi nilainya sama dengan satu cangkir kopi.
Paralel kita akan melihat ketika semua ancaman covid19 ini berakhir, dan keadaan kembali seperti semula. Di mana tuntutan produktivitas datang, sementara ruang untuk bekerja masih sempit, gelombang baru dari inflasi telah mengadang di depan mata. Hal yang lebih rumit dan sulit akan menghantam perekonomian Individu dan secara masif menggerus daya beli pada titik yang lebih parah.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Bitcoin sebagai mata uang digital yang didukung oleh teknologi Blokchain (Rantai) dan Kriptografi (Sandi). Serta pengembangan DeFi (Decentralize Finance), membuat uang Fiat (kertas) mahal. Mata uang Fiat yang didukung pemerintah berhadapan dengan Bitcoin, mata uang yang nyaris melindungi pemegangnya dari inflasi, serta biaya sewa. Sehingga, ini membuat aktor industri keuangan semakin terancam kepentingannya. Beberapa negara sudah membuat pilihannya. Beberapa negara seperti Bulgaria, El Savador, Ukraina, dan Georgia memilih untuk mengadopsi mata uang bitcoin, sementara negara seperti Tiongkok lebih memilih untuk menolaknya.