Bunga untuk Matinya Demokrasi

Realino Nurza
Team Leader dan Peneliti Lepas Institute of Religion and Sustainable Development (IRSAD.ORG)
Konten dari Pengguna
3 Februari 2024 13:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Realino Nurza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bunga. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bunga. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang diperjuangkan oleh banyak negara di seluruh dunia, tiba-tiba merasa rapuh di hadapan ancaman yang muncul dari berbagai arah. Dalam suasana politik yang semakin tegang, terbitlah gerakan unik yang mencoba menyampaikan pesan kekecewaan dan keprihatinan terhadap matinya demokrasi.
ADVERTISEMENT
Gerakan tersebut bukanlah unjuk rasa massal atau aksi protes yang keras, melainkan sebuah ekspresi simbolik yang penuh makna: pengiriman bunga kepada matinya demokrasi.
Bunga, sebagai simbol keindahan dan kehidupan, seolah menjadi medium yang menangkap rasa kehilangan dan kepedihan atas kemunduran demokrasi. Gerakan ini bukan hanya sekadar upaya meratifikasi ketidaksetujuan terhadap arah politik yang diambil oleh pemerintah, tetapi juga sebagai cara untuk mengenang masa-masa ketika demokrasi masih tumbuh subur dan memberikan harapan bagi kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Dibalik kelopak bunga yang indah, terdapat cerita sedih dari proses perlahan matinya demokrasi. Para pengikut gerakan ini menyampaikan pesan mereka melalui bunga yang dikirimkan kepada para pemimpin yang dianggap bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi.
ADVERTISEMENT
Setiap bunga memiliki makna tersendiri, seperti bunga mawar merah yang melambangkan keberanian dan keadilan, atau bunga lily putih yang menggambarkan ketulusan dan perdamaian. Dengan cara ini, gerakan pengiriman bunga tidak hanya menjadi protes, tetapi juga bentuk seni simbolik yang mencoba menyampaikan pesan dengan penuh keindahan.
Penting untuk mencermati bahwa gerakan ini bukan semata-mata tentang menyalahkan atau memilih sisi politik tertentu. Sebaliknya, gerakan pengiriman bunga mengajak untuk bersama-sama merenung tentang pentingnya menjaga demokrasi sebagai fondasi bagi masyarakat yang adil dan beradab. Bunga sebagai simbol hidup dan keindahan, memberikan nuansa harapan bahwa demokrasi yang mati masih bisa dihidupkan kembali jika kita bersatu dalam upaya pemulihan.
Namun, di balik keindahan dan kedamaian yang disampaikan oleh gerakan ini, terdapat ketegangan politik yang mendalam. Pemerintah yang menjadi sasaran gerakan ini cenderung merespons dengan sikap defensif, menilai gerakan pengiriman bunga sebagai bentuk provokasi yang tidak produktif. Namun, para pelaku gerakan tetap teguh pada pendiriannya bahwa pengiriman bunga bukanlah tindakan agresif, melainkan wujud ekspresi damai untuk menyampaikan kegelisahan mereka.
ADVERTISEMENT
Melalui media sosial dan liputan pers, gerakan ini mulai mendapatkan perhatian publik. Banyak orang yang merasa terhubung dengan pesan damai yang dibawa oleh bunga-bunga ini. Diskusi pun meletup di berbagai lapisan masyarakat tentang makna demokrasi, tanggung jawab pemerintah, dan cara-cara menyuarakan ketidaksetujuan dengan tetap menjunjung nilai-nilai keberagaman dan toleransi.
Meskipun gerakan ini tergolong unik dan tidak konvensional, namun dapat dianggap sebagai bentuk seni politik modern yang memanfaatkan keindahan untuk menyampaikan pesan yang sangat dalam. Bunga sebagai medium komunikasi menciptakan ruang bagi dialog yang lebih damai dan memotivasi masyarakat untuk berpikir kritis tentang masa depan demokrasi mereka.
Dalam seribu kata, perjalanan gerakan pengiriman bunga sebagai simbol kehilangan demokrasi menciptakan sebuah narasi yang melibatkan kepedihan, keindahan, dan harapan. Di tengah arus konflik dan perpecahan, bunga-bunga ini berdiri sebagai simbol perdamaian dan pengingat bahwa demokrasi, sejatinya, adalah tanggung jawab bersama.
ADVERTISEMENT