Diskursus Paradigma Ekonomi dan Interpretasinya dalam Omnibus Law (1)

Muh Ainul Haq Hakim Tiro Al Makassariy
Founder FDR Indonesia Kadiv KKD Kastrat BEM FEB UB 2020 Economics Student of Brawijaya University
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2020 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Ainul Haq Hakim Tiro Al Makassariy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Muh Ainul Haq Hakim Tiro Al-Makassariy
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, saya membaca sepotong kalimat diatas cukup lama dan terus menerus termengung. Kalimat tersebut diungkapkan oleh salah satu pakar ekonomi penerima Nobel, Joseph Stiglitz.
Bagaimana mungkin transformasi ekonomi tidak turut mentrasformasi kehidupan masyarakat? Apa iya keduanya berbeda?. sek sek. Saya coba berpikir keras lagi.
Menjawab pertanyaan diatas sebenarnya sederhana dan memang butuh perenungan. Kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan setidaknya berkaitan dengan kondisi empiris disekitar kita. Berapa banyak orang yang tidur dipinggir jalan ditengah tingginya gedung-gedung perkotaan? Atau berapa banyak masyarakat adat yang harus ditahan atau mungkin sampai disiksa dan terlunta-lunta dibalik betapa produktifnya sebuah tambang?. Atau mungkin juga berapa banyak petani yang tetap miskin ditengah besarnya nilai transaksi pertanian yang ada. Beberapa contoh tentang begitu banyak pertanyaan dan jawaban. Namun, fenomenaya bisa banyak ditemui dan turut menjadi refleksi bersama.
ADVERTISEMENT
Pemerataan vs Pertumbuhan
Masalah terbesar paradigma developmentalis atau kapitalis adalah ketidakpeduliaannya terhadap partisipasi masyarakat. Tujuannya adalah mendapatkan produktivitas semaksimal mungkin dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, dalam paradigma ekonomi modern dapat dilihat begitu banyak antithesis yang hadir. Sejarah dunia pun mencatat berulang kali tentang kegagalan kapitalisme dalam menghadapi krisis. Sebab musababnya adalah seluruh akumulasi pertumbuhan yang dihasilkan tujuannya jelas tidak pada kesejahteraan masyarakat. Namun, hanya sebatas pada akumulasi output. Dan akumulasi output tidak menjadi jaminan kesejahteraan masyarakat. Karena keberadaan masyarakat kadang justru dianggap penghambat efisiensi dan produktifitas.
Rostow dalam bukunya “Stages of Economic Growth” (Rostow, 1966) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan terhambat apabila pertumbuhan itu tidak ditopang oleh nilai-nilai sosial-budaya yang rasional. Menurutnya, tanpa adanya nilai rasionalitas ini, sebagaimana terdapat pada masyarakat “tahap tradisional”, maka akan terhambat perkembangan teknologi yang akan menghambat peningkatan production function dan selanjutnya membatasi kemungkinan pertumbuhan ekonomi. Paradigma ini sering digunakan sebagai alat untuk membungkam masyarakat adat yang dianggap tradisional tadi. Mirisnya, hukum dijadikan alat untuk memenjarakan dengan tanpa edukasi bagaimana masyarakat membangun ekonomi. Meskipun, bahwa ekonomi dalam konsep negara kesejahteraan hanya alat untuk mencapai kesejahteraan itu sendiri. Dapat dilihat dalam pidato Soekarno tentang sistem ekonomi nasional yang disampaikan dalam pidato pada rapat BPUPKI 1 Juni 1945 yang membahas mengenai dasar negara. Beliau menjelaskan,
ADVERTISEMENT
Soekarno dan Hatta 75 tahun lalu telah berbicara soal paradigma pemerataan dahulu baru pertumbuhan. Semakin karpet merah diberikan terlalu jauh kepada para konglo maka disitu pula lobby-lobby untuk mereduksi peran masyarakat terus dilakukan. Tentu jelas masyarakat ini akan menghambat. Namun, bukan begitu cara bernegara. Edukasi dan berdayakan.
Pengaruh dampak negatif globalisasi harusnya diantisipasi melalui penguatan role of law. Karena hukum dan negara hadir untuk menjamin rakyat kecil yang tertindas. Agar kekayaan terdistribusi lebih merata.
Terlalu banyak kalau kita berbicara pasal demi pasal, dan salah satu indikator yang dapat dilihat melihat partisipasi masyarakat kedepan adalah hilangnya peran masyarakat adat dan NGO dalam komisi penilai AMDAL. (Berlanjut).