Pandemi dan Ekonomi di Bulan Ramadhan

Muh Ainul Haq Hakim Tiro Al Makassariy
Founder FDR Indonesia Kadiv KKD Kastrat BEM FEB UB 2020 Economics Student of Brawijaya University
Konten dari Pengguna
22 Mei 2020 4:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Ainul Haq Hakim Tiro Al Makassariy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa yang dapat menyangka bahwa Ramadhan kali ini benar-benar berbeda dari yang sebelumnya biasa dijalani. Adanya pandemi Covid-19 membuat suasana bulan yang berkah ini tidak seperti yang diharapkan. Penyebabnya tak lain dikarenakan kebijakan pembatasan sosial (physical distancing). Bahkan, keadaan seperti ini tak hanya dirasakan oleh ummat islam semata, tetapi juga dirasakan tentunya oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat, hampir setiap bulan Ramadhan terjadi peningkatan permintaan dan penawaran di pasar. Penyebab pertama adalah tingginya permintaan kebutuhan makanan untuk berbuka puasa maupun sahur. Puasa seharian tentunya akan mempengaruhi psikologi masyarakat untuk menyantap makanan lezat. Kedua, Penawaran yang juga turut mengikuti dari permintaan. Terlebih, banyak masyakarat mencoba untuk berjualan pada pasar takjil yang hanya buka ketika Ramadhan tiba. Namun sebaliknya, pembatasan sosial membuat interaksi semakin berkurang di masyarakat. Tentunya, berimbas pada menurunnya permintaan dan penawaran di pasar.
Saat ini, mayoritas masyarakat bergerak dan bekerja pada sektor informal. Selain itu, UMKM juga turut menyumbang 99,9 % dari total lapangan pekerjaan. Namun, disisi lain masih banyak dari UMKM yang belum memiliki akses internet yang maksimal. Selaras dengan itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyampaikan hasil survei bahwa internet telah diakses oleh 64,8 persen dari total 264,16 juta penduduk Indonesia. Meskipun mengalami peningkatan per tahunnya, tentu persentase yang belum mendapatkan akses masih cukup besar. Sehingga, secara sosiologis kondisi ini riskan, khsusnya bagi ketenagkerjaan dan pendapatannya.
ADVERTISEMENT
Konsumerisme seakan menjadi budaya tiap memasuki bulan Ramadhan. Robert G. Dunn sendiri mengemukakan bahwa konsumerisme merupakan sebuah ideologi yang menarik masyarakat dalam sistem produksi massal dan merubah pola pandang terhadap konsumsi. Pada satu sisi, perilaku konsumsi tersebut tentunya memicu pengaruh positif terhadap interaksi ekonomi masyarakat, khususnya terhadap usaha kecil, menengah, dan maupun mikro (UMKM). Dari perspektif penawaran, bulan ini membaut banyak pedagang “dadakan” bermunculan. Selajutnya, para pedagang banyak menjajakan jualannya di jalan-jalan trotoar, depan rumah masing-masing dan hingga mungkin di toko sendiri. Mereka memang biasanya berusaha mengambil peruntungan pada kondisi momentual seperti Ramadhan ini.
Disisi permintaan, daya beli masyarakat yang tinggi salah satunya dipengaruhi oleh THR yang diberikan hampir tiap perusahaan maupun institusi kepada karyawannya menjelang Hari Raya. Sehingga, memicu daya konsumsi di masyarakat. Kondisi kenaikan pendapatan ini dapat dilihat pada analisis James Dusenberry. Beliau menjelaskan sebagai kondisi irreversibel, yaitu sebagai suatu tingkat pengeluaran konsumsi yang bergantung atau menyesuaikan dengan pendapatan yang dimiliki individu. Ketika seseorang memiliki pendapatan yang meningkat, maka tingkat pengeluran konsumsinya pun juga mengikuti. begitupun sebaliknya, ketika seseorang memiliki pendapatan rendah atau menurun maka pengeluaran juga demikian.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 membuat kondisi Ramadhan kali ini benar-benar berbeda. Daya beli hingga daya produksi masyarakat kali ini justru tak dapat terjadi semulus sebelumnya. Pertama, jangankan bicara soal THR, justru yang banyak terjadi adalah PHK akibat perusahaan yang melakukan efisiensi faktor-faktor produksi. Dilihat dari data Kementerian Ketenagakerjaan, sekitar 1,7 juta pekerja dari sektor formal dan informal terverifikasi dirumahkan dan terkena PHK. Belum lagi, terdapat sekitar 1,2 juta pekerja yang masih dalam proses validasi data. Jika dikalkulasi sekitar 3 juta pekerja yang kena imbas PHK. Kedua, banyak usaha kecil momentual yang hadir pada Ramadhan kali ini justru tak dapat mengulangi peruntungannya. Pembatasan sosial tentu membuat banyak kepala daerah tak membiarkan pedagang dipinggir jalan melakukan proses dagang, terlebih daerah yang dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehingga, kedua reasoning diatas ditandai sebagai gejala melemahnya daya beli maupun produksi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, berkurangnya kegiatan di tempat-tempat ibadah, pendidikan, dan perkantoran menjadi suatu realitas hari ini. Kondisi ini membuat peralihan dan penyesuaian pula pada era digital. Persoalannya, pemerintah lengah dan lamban dalam pemerataan infrastrastruktur digital. Akhirnya, baru terasa ketika masa dirumahaja seperti saat ini. Dimana kesamarataan akses sangat dibutuhkan.
Terakhir, pemerintah perlu memberikan proteksi sosial yang menyasar lebih dalam. Disisi lain, masyarakat perlu menyadari bahwa uang yang dimiliki saat ini sejatinya lebih baik digunakan untul saving. Sebab, belum ada waktu yang pasti kapan pandemi covid-19 ini akan segara meredam. Disamping itu, memang seluruh pihak harus dapat disiplin melaksanakan pembatasan. Maka,
Kemudian, mulai memprioritaskan hanya perihal kebutuhan dahulu. Sebagaimana, pelajaran penting orang yang berpuasa adalah sabar. Maka saat ini pula kita sebagai masyarakat harus bersabar dari budaya konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Kita semua berharap pandemi covid-19 dapat segera berakhir. Namun, jika tak ada kolaborasi partisipatif antar semua pihak, maka sulit untuk keluar. Parahnya, ekonomi perlu waktu lama untuk rekonstruksi dan dapat berjalan normal. Justru virus tak kunjung ditaklukkan maka biaya yang dikeluarkan pemerintah akan semakin banyak. Semoga bulan yang penuh berkah ini menjadi secercah cahaya bagi gelapnya kondisi saat ini.