ARKIPEL 2019: Sebuah Upaya Mengupas Bromocorah

Redaksi Suara Mahasiswa UI
Pers Suara Mahasiswa UI Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2019 20:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Redaksi Suara Mahasiswa UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Festival film dokumenter dan eksperimental internasional bertajuk ARKIPEL kembali diselenggarakan pada 19-26 Agustus 2019. Diinisasi oleh Forum Lenteng, tahun ini acara dilaksanakan di dua tempat berbeda, yaitu GoetheHaus dan Museum Nasional dengan mengangkat tema “bromocorah”. Tema tersebut merupakan interpretasi dari progresivitas di masyarakat yang tidak dapat diterjemahkan dengan mudah sebagai hal baik atau buruk. Dengan mengangkat tema itu, ARKIPEL bermaksud menghadirkan “bromocorah” melalui bingkaian kamera sebagai media hingga mengulasnya dalam bentuk film dokumenter dan eksperimental. Lebih lanjut, pada sinema sebagai media, ARKIPEL berusaha mengkaji fenomena-fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Setelah pameran dan pemutaran film yang berlangsung selama seminggu, pada Senin (26/8) ARKIPEL pun ditutup dengan Malam Penghargaan di GoetheHaus, Menteng, Jakarta Pusat. Malam Penghargaan dibuka oleh penampilan Theo Nugraha yang merupakan seorang seniman bunyi asal Samarinda. Kemudian, acara dilanjutkan dengan penganugerahan beberapa penghargaan kepada sineas-sineas berbakat, baik yang berasal dari Indonesia maupun mancanegara, atas film-film yang diproduksinya. Terdapat empat kategori penghargaan yang diberikan oleh ARKIPEL, yaitu Peransi Award yang jatuh kepada film “Sapu Angin” karya Cahyo Prayogo dari Indonesia, Jury Award yang jatuh kepada film “Centar” karya Ivan Marković dari Serbia dan film “The Love of Statues” karya Peter Samson dari Inggris, Forum Lenteng Award yang jatuh kepada film “Blues Sides on the Blue Sky” karya Rachmat Hidayat Mustamin dari Indonesia, dan ARKIPEL Award yang jatuh kepada film “The Future Cries Beneath Our Soil” atau “Mùa Cát Vọng” karya sutradara Pham Thu Hang dari Vietnam.
ADVERTISEMENT
Cahyo Prayogo, sineas dari “Sapu Angin”, menyatakan rasa senang dan terkejut karena skena film eksperimental di Indonesia mendapat ruang dalam sebuah festival film dalam negeri. Sebab, biasanya film-film eksperimental lebih diminati oleh masyarakat mancanegara.
“Tahun ini ketika saya mendengar ada ARKIPEL, saya tertarik untuk mencoba,” katanya.
Mengenai tema, Yoyo, panggilan akrabnya, menafsirkan bromocorah sebagai praktik sosial yang terus berkembang, dinamis, dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
"Bromocorah menjadi semacam kayak kegelisahan setiap orang,” tambahnya.
Sementara Rachmat Hidayat, penerima penghargaan Forum Lenteng Award, menyatakan bahwa rangkaian kegiatan ARKIPEL yang diikutinya menghadirkan perspektif baru dalam khasanah sinema.
“Setelah penayangan biasanya kita akan kumpul secara kolektif terus diskusi. Saya kira itu sih yang menarik karena ada perspektif baru, terus ada pandangan baru tentang bagaimana seharusnya sinema memperlakukan kita atau kita memperlakukan sinema,” ujar sineas Makassar tersebut.
ADVERTISEMENT
Teks: Nada Salsabila Kontributor: Imam R. Soleman Foto: Imam R. Soleman Editor: Ramadhana Afida R
Pers Suara Mahasiswa UI 2019 Independen, lugas, dan berkualitas!