Kartini: Sosok Wanita Modern Jawa

Redaksi Suara Mahasiswa UI
Pers Suara Mahasiswa UI Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Konten dari Pengguna
21 April 2018 20:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Redaksi Suara Mahasiswa UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Raden Ajeng Kartini (Foto: Arsip Nasional)
zoom-in-whitePerbesar
Raden Ajeng Kartini (Foto: Arsip Nasional)
ADVERTISEMENT
Sosok Kartini sering kali dilambangkan sebagai perjuangan perempuan pada zamannya yang berjuang mencari kekayaan intelektual. Beberapa sumber literatur juga mengatakan bahwa Kartini merupakan lambang dari feminisme. Dengan menghabiskan waktu dalam kondisi lingkungan sosial dan budaya Jawa yang kental, muncul pertanyaan apakah benar bahwa Kartini adalah sosok feminis Jawa?
ADVERTISEMENT
Sebelum masuk pada pembahasan feminis Jawa, Mamik Sri Supatmi, dosen Kriminologi UI yang mengajar mata kuliah Perempuan dan Keadilan ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan feminisme barat dan timur. Namun, yang ada hanyalah aliran feminisme seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, ekofeminisme, hingga gelombang feminisme pertama, kedua, ketiga, dan lain sebagainya.
“Feminisme itu ada banyak aliran. Mengelompokkan itu bukan dalam rangka memisahkan, tapi memudahkan pembaca untuk memahami,” ujar Mamik. Selanjutnya, Mamik menjelaskan bahwa feminisme yang dikenal masyarakat selalu identik dengan perempuan, tetapi pada faktanya bahwa apa yang diperjuangkan oleh feminis tidak hanya kesetaraan ataupun keadilan pada perempuan, namun juga memperjuangkan isu yang ada pada semua kalangan seperti kelompok rentan dan minoritas.
ADVERTISEMENT
“Jadi tidak hanya memperjuangkan perempuan saja, tapi semua orang yang mengalami ketidakadilan entah berbasis kelas, berbasis ras, berbasis keyakinan, atau berbasis apapun,” lanjut dosen kelahiran 1968 ini.
Berdasarkan definisi feminisme tersebut, kemudian apakah Kartini sudah dapat dikatakan sebagai sosok feminis Jawa? Prapto Yuwono selaku dosen Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI menjelaskan bahwa tidak ada pengertian atau istilah khusus untuk feminisme Jawa.
“Kalau Kartini ingin dinyatakan feminisme, bukan. Kartini itu hanya ingin bahwa ada kesempatan wanita mengembangkan intelektualnya. Kalau feminisme kan adanya setara dalam konteks apapun gitu ya,” ungkap Prapto.
Jika kacamata masyarakat yang menganggap bahwa Kartini merupakan sosok feminisme itu salah, lalu sebutan apa yang sekiranya cocok disandang oleh Kartini? Kemudian, Prapto kembali menjelaskan bahwa Kartini adalah sosok wanita modern Jawa yang tumbuh karena ingin memperluas wawasannya. Dalam konteks sosial dan budaya pada zamannya, Kartini tetaplah seorang perempuan Jawa yang tidak meninggalkan adat. Contohnya saat ia dijodohkan, walaupun hati kecilnya menolak, namun Kartini tetap mengikuti adat ketika ia akhirnya menerima untuk dinikahkan.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya kan yang diinginkan Kartini, wanita modern itu kan ada kebebasan memilih jodoh. Yang diberontaki kan dia (Kartini –red) dijodohkan. Tapi, (pada akhirnya –red) tetap dia (Kartini –red) mengikuti jodoh kan, karena dia (Kartini –red) patuh sama orang tua. Adat kan masih dipegang, tapi wawasan juga diberikan,” kata Prapto.
Lalu, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, pada dasarnya orang Jawa sangat menghormati perempuan. Dalam konteks Jawa, perempuan diistilahkan sebagai Siti atau tanah. Sedangkan laki-laki, diibaratkan sebagai Siwa atau api. Penamaan tersebut sama halnya dengan filosofi Lingga Yoni, yaitu perempuan sebagai penyangga, dan laki-laki berdiri sebagai sosok yang dinamis.
“Jadi saya kira perempuan itu justru yang menyangga. Sifat keperempuanan itu yang menjaga, mendorong, dan memelihara. Laki-laki adalah api yang sangat dinamis. Enggak bisa menang-menangan, saling memberi, saling mengisi. Dengan demikian perempuan ini sangat berharga sekali,” tutur Prapto.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya Jawa, juga terdapat pitutur yang mengatakan bahwa perempuan adalah garaning nyowo laki-laki, atau perempuan adalah separuh jiwa dari laki-laki. Selain itu, dikatakan pula bahwa perempuan juga merupakan kanca wingking yang menyangga kehidupan keluarga di rumah, sedangkan laki-laki keluar untuk mencari kerja. Pitutur tersebut mendefinisikan bahwa terdapat pembagian tugas dalam konteks sosial di dalamnya.
“Itulah spiritual Jawa, perempuan yang berkuasa. Api itu hanya berdiri di atas tanah. Yang menyangga semuanya adalah perempuan,” ucap pria yang berprofesi sebagai dosen di mata kuliah Pengantar Kebudayaan Jawa, Kebudayaan Indonesia, dan Puisi Jawa tersebut.
Teks: Ramadhana Afida Rachman
Editor: Halimah dan Kezia