Perjuangan Bangsa Indonesia

Remalia Anggraeni
saat ini saya sedang kuliah di Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
14 November 2022 19:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Remalia Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : https://www.shutterstock.com/image-vector/jakarta-indonesia-august-17-1945-indonesias-2180515633
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : https://www.shutterstock.com/image-vector/jakarta-indonesia-august-17-1945-indonesias-2180515633
ADVERTISEMENT
Sejak awal abad ke-17 Portugis dan Spanyol menjelajah dunia. Negara-negara ini tiba di Benua Asia, kemudian negara tersebut menemukan sebuah kompas dan membuat kapal. Dari kedua negara inilah imperialisme muncul lebih dahulu, mereka memiliki semboyan Emas Lambang Kekayaan, Agama sebagai usaha untuk penyebaran agama dan meneruskan perang salib, dan kejayaan yang berarti ingin menguasai daerah-daerah yang didatanginya. Hal ini sudah terjadi sejak abad ke-15 dan abad ke-16.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1493 Portugis dan Spanyol melakukan Perjanjian Tordesillas. Mereka menganggap diri mereka sebagai negara besar dan tidak ada negara lain yang bisa menandinginya. Adapun bunyi perjanjian yang dibuatnya itu antara lain berbunyi sebagai berikut :
1. Pulau Verdi ke barat dimiliki Spanyol, sedangkan Pulau Verdi ke timur dimiliki Portugis.
2. Daerah-daerah di sebelah utara khatulistiwa menjadi milik Spanyol, sedangkan daerah-daerah di sebelah selatan khatulistiwa menjadi milik Portugis.
Dengan cara ini, kedua negara berhasil memainkan perannya dalam waktu yang relatif singkat untuk menentukan dan mengendalikan perdagangan rempah-rempah di pasar dunia.
Semenjak Portugis bisa merebut Malaka tahun 1511, Portugis terus berupaya untuk menguasai daerah rempah-rempah. Tahun 1512-1570 hubungan persahabatan bangsa Portugis dengan orang-orang Maluku Utara (Ternate dan Tidore) berjalan baik. Bangsa Spanyol juga baik dengan orang-orang Maluku. Bangsa Spanyol sampai Maluku melalui Filipina dan berhenti di Pulau Cebu. Bangsa Spanyol meneruskan usahanya untuk mencari sumber perdagangan rempah-rempah di Maluku.
ADVERTISEMENT
Di Maluku Utara bangsa Spanyol dapat menjalin persahabatan menggunakan Uli Siwa di Tidore, sedangkan bangsa Portugis menjalin persahabatan menggunakan Uli Lima di Ternate. Uli artinya ikatan suku yang berperan menjadi pemimpin. Saat itu Maluku Utara sedang terjadi perselisihan antara suku yang tergabung Uli Siwa (Tidore) serta Uli Lima (Ternate). Namun pertentangan ini tidak menyebabkan pertarungan, karena ketika bangsa Spanyol dan bangsa Portugis berusaha untuk mencampuri urusan perdagangan dan pemerintahan, maka masyarakat Maluku Utara itu dapat bersatu untuk menghadapi bangsa Portugis maupun bangsa Spanyol.
Tokoh yang terkenal dari Maluku Utara (Ternate), yaitu Sultan Hairun dan kemudian diteruskan oleh putranya, yaitu Sultan Baabullah. Sejak pemerintahan Sultan Baabullah, kekuatan pasukan Portugis sudah lemah, namun sampai wafatnya Sultan Baabullah (1583), Portugis belum berhasil terusir dari Ternate. Sehingga perjuangannya diteruskan oleh Sultan Sayid (putra Sultan Baabullah yang memerintah sampai tahun 1606). Pada masa pemerintahan Sultan Sayid ini Portugis dan Spanyol dapat diusir dari Maluku Utara dan ditawarkan kapal untuk kembali ke Malaka. Namun ditolak oleh bangsa Portugis dan ternyata bangsa Portugis pindah ke Maluku Selatan yaitu di Pulau Seram dan bangsa Spanyol kembali ke Filipina.
ADVERTISEMENT
Di Maluku Selatan ternyata sudah datang bangsa Belanda yang memiliki tujuan yang sama dengan Portugis, yaitu menguasai rempah-rempah. Belanda menggunakan pasukan VOC datang ke Ambon pada tanggal 23 Februari 1605 dan langsung berhadapan dengan bangsa Portugis. Dalam pertempuran ini ternyata bangsa Portugis mengalami kekalahan dan terusir ke arah Timur bagian timur. Bangsa Portugis tidak pernah berhasil berkuasa di Indonesia.
Di Maluku Utara, Belanda berhasil memecah belah persatuan antara penguasa dengan rakyatnya. Sedangkan di Maluku Selatan, Belanda berhasil mengadu domba antara rakyat Banda dengan orang-orang yang berasal dari Jawa. Orang-orang Jawa tersebut dipekerjakan di perkebunan rempah-rempah milik Belanda. Padahal perkebunan itu berada di tanah rakyat Banda yang berarti Belanda merampas tanah rakyat Banda. Sedangkan orang-orang Jawa disuruh bekerja di atas tanah milik rakyat Banda itu. Sehingga tidak sedikit orang-orang Jawa yang dimusuhi oleh rakyat Banda. Tetapi bagi orang-orang Jawa yang patuh dengan perintah Kompeni, mendapat perlindungan oleh Belanda. Sedangkan, yang tidak patuh disiksa secara menyedihkan. Jadi kedudukan orang-orang Jawa di Maluku sangat sulit dan membingungkan.
ADVERTISEMENT
Usaha Belanda selanjutnya adalah menguasai wilayah rempah-rempah di Maluku. Awalnya Belanda berhasil menjalin hubungan dengan Tidore untuk menghadapi Uli Lima pimpinan Ternate, namun setelah Uli Siwa mengetahui serta diperlakukan tidak adil oleh Kompeni, maka Uli Siwa pimpinan Tidore itu bangkit dan melawan. Setelah pihak Kompeni memaksakan kehendaknya untuk melakukan monopoli rempah-rempah serta membasmi tanaman cengkeh milik masyarakat Maluku. Hal ini menjadi hubungan baik antara Uli Lima Ternate dengan Uli Siwa Tidore.
Belanda memiliki taktik baru untuk menghadapi perlawanan rakyat Maluku. Pihak Belanda melancarkan politik adu domba, yaitu politik memecah belah untuk menguasai wilayah. Di lain pihak perjuangan masyarakat Belanda lebih berani dan terarah, karena mereka sadar bahwa penderitaan itu diakibatkan oleh kehendak Belanda untuk menguasai tanah rakyat dan dijadikan perkebunan rempah-rempah milik Belanda.
ADVERTISEMENT
Politik tersebut ternyata sangat ampuh, karena Belanda berhasil melakukan pendekatan dengan pihak penguasa, sehingga penguasa yang terdiri dari Sultan Ternate dan Sultan Tidore itu bersedia mempunyai hubungan baik dengan pihak Belanda. Hal ini terbukti dengan diizinkannya Kompeni membangun "Benteng Melayu" di Ternate. Sebaliknya pihak Sultan menerima ganti rugi setiap tahun dari perkebunan rempah-rempah milik Kompeni yang ditanam di tanah rakyat tersebut. Jadi sangat berbeda dengan para penguasa sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hairun, Sultan Baabullah maupun Sultan Sayid yang sangat gigih menentang bangsa Portugis dan bangsa Spanyol.
Tahun 1612 pihak Belanda melakukan penindasannya terhadap rakyat Belanda, yaitu menggunakan “Pelayaran Hongi”. Pelayaran Hongi ini dilakukan dengan cara mengadakan ekspedisi militer. Setiap ekspedisi militer, penduduk harus mengayuh perahu (kora-kora) yang bertujuan untuk membasmi tanaman cengkeh dan pala yang ditanam masyarakat di daerah Kepulauan Maluku. Hal ini ditentang oleh rakyat Banda secara besar-besaran. Akibatnya, Belanda mengadakan penangkapan terhadap rakyat Banda.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa Belanda tiba di Indonesia tahun 1569 di Banten. Dibandingkan dengan Portugis, Belanda lebih pintar dalam merebut kekuasaan daerah-daerah di Indonesia. Portugis sulit menaklukan perlawanan rakyat Indonesia, meskipun rakyat Indonesia berjuang secara parsial atau lokal. Di daerah Maluku, Portugis tidak pernah menang dalam hal perebutan wilayah.
Kemudian di Sunda Kelapa tahun 1527 masih sebagai kota pelabuhan Kerajaan Pajajaran. Portugis menerima izin dari raja Pajajaran, sedangkan Fatahillah diberi tugas dari Sultan Demak terjadilah pertempuran antara pasukan Portugis menggunakan pasukan Fatahillah di daerah Sunda Kelapa. Dalam pertempuran tersebut bangsa Portugis mengalami kekalahan menghadapi pasukan Fatahillah. Hal ini ditandai dengan perubahan nama Sunda Kelapa menjadi “Jayakarta” pada tanggal 22 Juni 1527 oleh Fatahillah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, Belanda dengan Komponenya mendapat kesempatan dan izin oleh Sultan Banten untuk mendirikan loji yang akhirnya digunakan untuk kantor perdagangan dan pertahanan, sehingga mampu bersaing dengan pedagang-pedagang pribumi. Kelicikan Belanda ini, memang tidak diduga oleh Sultan Banten. Hal ini terbukti pada saat Raja Mataram, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo mengadakan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, Raja Banten belum melakukan campur tangan. Karena antara Kompeni dengan Banten masih ada hubungan kerja sama dalam bidang perdagangan.
Sedangkan Sultan Agung dari Mataram pada masa itu, tidak ada hubungan sama sekali, bahkan Sultan Agung dalam usahanya menyatukan Pulau Jawa banyak melakukan penyerangan raja-raja pesisir. Hal inilah yang menyebabkan antara kerajaan Mataram dengan Banten tidak saling kerja sama. Sebaliknya Belanda lebih dekat dengan raja Banten, karena raja Banten ada kekhawatiran terhadap serangan Sultan Agung. Meskipun raja Banten tidak memberikan bantuan kepada Belanda, namun hal ini tetap menguntungkan pihak Belanda . Karena Belanda dapat mengutamakan kekuatannya untuk menghadapi pasukan Sultan Agung. Sehingga penyerangan Sultan Agung dari Mataram dapat digagalkan dan banyak pasukan Sultan Agung mati terbunuh dan banyak korban terkena penyakit malaria.
ADVERTISEMENT
Belanda terus memperluas kekuasaannya dan usaha dagangnya. Sistem monopoli perdagangan tampak berjalan dengan baik. Akibatnya, kekuasaan raja Banten mulai terganggu. Namun sultan Banten yaitu Abdul Mufakhir tidak dapat berbuat banyak. Akibatnya tidak berani melancarkan perlawanan terhadap Belanda.
Setelah digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Banten tahun 1651-1682 sadar atas haknya, maka perlawanan terhadap Belanda menggunakan politik adu domba, yaitu dengan mengadu domba antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya yang bernama Sultan Haji. Karena Sultan Haji menginginkan takhta kerajaan diserahkan kepadanya. Oleh karena itu, Belanda memberikan bantuan Sultan Haji untuk memerangi ayahnya. Akibatnya Sultan Ageng Tirtayasa terdesak dan bisa ditangkap sampai wafatnya pada tahun 1692.
Sedangkan Sultan Haji naik takhta Kerajaan Banten atas bantuan Belanda sejak tahun 1682. Pada masa pemerintahan Sultan Haji, masyarakat Banten tidak merasa senang dan banyak mengadakan perlawanan, melainkan ditunjukkan kepada Belanda. Dalam perlawanan ini, masyarakat Banten dipimpin oleh Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Rakyat Banten sangat marah dan mengadakan perlawanan habis-habisan, sehingga keraton Banten dihancurkannya daripada digunakan untuk kepentingan pihak musuh, yaitu Belanda. Dengan demikian berakhirlah riwayat kekuasaan Raja Banten, karena Sultan Haji juga tidak dianggap sebagai rajanya. Tetapi pihak penjajah Belanda tetap bertahan secara mantap di Batavia. Hal ini terjadi karena Belanda berhasil merebut kota pelabuhan Jayakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama pada tahun 1619, Gubernur Jenderal Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
ADVERTISEMENT
Kota Batavia ini terus dikembangkan menjadi sentral perdagangan yang terbesar di Asia Tenggara dan didukung oleh angkatan laut secara besar-besaran. Dari Batavia inilah VOC dapat menguasai bandar-bandar dagang, dan benteng-bentengnya yang ada di antara Afrika dan Jepang. Karena kedudukan Batavia dinilai sangat strategis untuk pengawasan dan juga pertahanan. Hal ini ternyata benar dan terbukti sampai ketika VOC bubar dan berganti pemerintah Hindia Belanda.
Peranan Batavia sebagai sentral perdagangan, pertahanan serta pemerintahan sejak VOC dan pemerintah Hindia Belanda sangat besar. Hampir semua komando untuk memadamkan setiap perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda dapat digerakkan dari Batavia. Seperti perlawanan masyarakat di Maluku, Banten, Mataram, Makasar yang terjadi pada abad ke-17 dan abad ke-18 dapat ditumpas. Kemudian juga perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Diponegoro di Jawa, Sisingamangaraja di Tapanuli, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien di Aceh, Antasari di Banjarmasin, Pattimura di Maluku, dan lain-lain yang berlangsung di abad ke-19, semuanya dapat ditumpas dan komando penggeraknya tiba di Batavia. Semuanya itu adalah perjuangan yang masih bersifat kedaerahan, yang semuanya dimenangkan oleh pihak penjajah.
ADVERTISEMENT