Gimana Nggak Iri?

Rena Regita
Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta
Konten dari Pengguna
22 April 2022 15:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rena Regita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mari bersama berantas korupsi. Picture From Nathaniel Tetteh via unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Mari bersama berantas korupsi. Picture From Nathaniel Tetteh via unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua ribu dua puluh dua setelah merasakan gempuran ekonomi akhirnya menyadarkan banyak orang bahwa ternyata punya banyak uang itu menjadi solusi hidup tenang dan senang.
ADVERTISEMENT
Gimana nggak? Setelah merasakan kemerosotan karena pandemi, banyak orang yang mulai kelimpungan. Alasannya apa? Ya biar tetep bisa bayar cicilan dan tagihan supaya nggak dikejar tukang tagih hutang, bisa makan supaya nggak mati kelaparan, dan bisa tinggal di rumah biar nggak jadi gelandangan. Sebuah solusi untuk hidup tenang dan senang, uang.
Kalo kata Mas Rahmat Aiman dalam opininya yang berjudul Orang-Orang Tidak Membenci Koruptor, Mereka Mencemburuinya,
Modal itulah yang mampu membawa mereka pada hidup tenang dan senang sebagai seorang koruptor (re: maling). Dengan segala akses yang dimiliki, melakukan korupsi tidak alan terasa sulit. Gimana nggak, banyak sekutu yang akan membantumu sepenuh hati. Buktinya banyak kan rombongan koruptor yang ditangkap bersamaan karena dalam satu jaringan? Gimana nggak iri? Anak TK pun iri kalo anak nakal masih punya temen.
ADVERTISEMENT
Saat dilaporkan, si maling justru melaporkan kembali sang pelapor. Duh, malang nian Bu Nurhayati, awal mula mau melaporkan pak Kades karena korupsi, malah balik dilaporkan dan jadi tersangka. Gimana nggak iri?
Saat ditangkap, si maling malah cengar-cengir, seakan mereka bangga punya baju baru. Gimana? Apa masih nggak iri?
Yang paling fenomenal tapi tidak cukup mengagetkan. Fasilitas yang didapatkan ketika di dalam lapas. Dengan ruangan hanya kuang lebih 2,5 x 3 meter, si maling dapat fasilitas bintang lima. Televisi, pendingin ruangan, toilet pribadi, kasur empuk biar nggak sakit punggung. Gimana nggak iri? Bahkan rakyat kampung kumuh yang pinggiran Jakarta yang jelas tak berdosa pun nggak pernah merasakan fasilitas itu.
Selain fasilitas di lapas, siapa sangka seorang maling masih dapat menonton tennis setelah ketahuan mencuri. Seakan diberi waktu istirahat dari kerja yang dulunya tidak berhenti, koruptor memanfaatkan betul waktu mereka di bui untuk plesir dan menikmati indahnya kehidupan. Nonton tennis di Bali, makan di restoran mewah, menyempatkan diri nonton F1 di China, keliling dunia pakai pesawat carter. Haduh, gimana nggak iri?
ADVERTISEMENT
Saat keluar pun, siapa sangka setelah sepuluh tahun di dalam penjara, seseorang keluar dengan aura penuh warna seakan meneriakan "welcome world!" dengan tas anggun ditenteng ditangannya. Belum lagi setelah itu malah ada yang nyalonin diri jadi pejabat lagi. Gimana nggak iri? Bahkan ojek online yang habis dapat tip Rp50.000 aja, kadang tidak sepercaya diri itu untuk dapat kesempatan yang sama lagi.
Terlepas dari segala teori yang diberikan Rahmat Aiman dalam tulisannya terkait mengapa kita seakan toleran atau tidak membenci terhadap korupsi. Kita semua tahu bahwa segala bentuk hukuman yang diberikan negara memang fana. Cemburu terhadap koruptor sama sekali tidak berdosa karena memang pantas-pantas saja, ketika sudah melihat realitanya. Sebagai manusia yang masih butuh uang untuk tenang dan senang, jelas saya menyatakan cemburu terhadap koruptor dan segala fasilitas serta kemudahan yang dimiliki mereka.
ADVERTISEMENT
Saya rasa Mas Rahmat tak perlu mengatakan hal ini,
Kalimat itu sangat membingungkan. Lha memang siapa yang tidak iri? Mas Rahmat Aiman yakin tidak iri? Lenggang-lenggong percaya diri dengan saku penuh uang di kanan dan kiri? Benar saya iri, tetapi apakah lantas hal itu mendorong saya untuk melakukan korupsi? Jelas, akan saya hindari. Begitu pula dengan saya tahu jika saya mati akan banyak orang mulai menyadari betapa berharganya saya. Tapi apakah kemudian saya ingin segera mati? Tentu tidak, masih ada cara lain lagi.
Ditulis oleh Rena Regita, mahasiswa yang ingin hidup tenang dan senang.