Belajar dari Tragedi New Diamond

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2020 20:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kapal terbakar. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal terbakar. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Bulan lalu, tepatnya tanggal 3 September 2020, sebuah kapal tanker kategori very large crude carrier (VLCC) bernama New Diamond yang tengah mengangkut minyak mentah terbakar ketika melintasi perairan Sri Lanka. Dalam perjalanannya dari Kuwait menuju arah timur laut India, boiler kapal tersebut meledak dan apinya cepat membesar ke bangunan atas kapal. Selain menyisakan satu orang korban tewas, kecelakaan itu meninggalkan genangan minyak yang berasal dari bahan bakar kapal dan tersebar meluas hingga pesisir pantai Sri Lanka.
Proses pemadaman New Diamond (gambar: Daily Sabah)
Sontak dunia terkejut dengan kejadian ini. Pasalnya, belum sampai dua bulan sebelumnya, sebuah kapal pengangkut muatan curah bernama Wakashio kandas di perairan negara tetangga Sri Lanka, yaitu Mauritius, dan dan terbelah menjadi dua. Tidak perlu ditanya mengenai dampak tumpahan minyak dari kapal tersebut yang tentunya lebih dahsyat daripada New Diamond.
ADVERTISEMENT
Ada hal menarik yang dapat dipelajari dari kasus ini, yakni masalah penuntutan. Tidak sampai satu bulan setelah tragedi ini terjadi, pihak Sri Lanka mengajukan tuntutan awal sebesar 442 juta Rupee (sekitar 90 miliar Rupiah) kepada pemilik kapal berusia dua dekade tersebut, yakni Porto Emporios Shipping Inc, yang berada di Piraeus, Yunani. Pihak berwenang Sri Lanka beralasan tuntutan tersebut terkait berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Angkatan Laut dan Udara Sri Lanka, Syahbandar Sri Lanka serta Angkatan Laut dan Penjaga Pantai India dalam mengatasi kecelakaan New Diamond tersebut. Dengan tidak mempermasalahkan besaran tuntutan klaim awal tersebut, hal ini selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.

Sejarah Kelam Kerusakan Laut Akibat Kapal di Indonesia

Indonesia pernah menghadapi berbagai kasus pencemaran lingkungan laut oleh kapal. Sayangnya, hampir semua kasus tersebut selalu menyisakan kisah getir yang tidak elok untuk diceritakan pada anak-cucu. Kebanyakan berujung pada ketidakpastian ganti rugi atas klaim yang diajukan Pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada Maret 2017, sebuah kapal pesiar bernama Caledonian Sky kandas di gugusan karang Perairan Raja Ampat, Papua. Gugusan karang yang menjadi daya tarik wisata bawah air rusak akibat hantaman badan kapal seluas lebih dari 22.000 meter persegi. Indonesia mengajukan tuntutan sebesar Rp 6 Triliun kepada pemilik kapal, Noble Caledonia, untuk pemulihan terumbu karang yang rusak. Malangnya, kapal tersebut diperbolehkan meninggalkan area Raja Ampat tanpa penggantian kerugian. Ditambah lagi, hingga akhir tahun 2019, gugatan masih dalam proses penyusunan. Di samping itu, pihak Caledonian Sky bersikukuh pada metode perhitungan kerugian versi mereka yang nilainya jauh lebih kecil daripada yang diklaim oleh Indonesia.
Kerusakan terumbu karang akibat Caledonian Sky (gambar: Traveling Yuk)
Masih pada bulan yang sama, Perairan Bangka Belitung pun mendapatkan sejarah hitam. Kapal pengangkut muatan curah berukuran panjang 229 m, Lyric Poet, kandas. Belum sampai sebulan setelahnya, kapal tanker
ADVERTISEMENT
panjang 333 m, Alex, kembali kandas di perairan yang sama. Dari tuntutan yang diajukan Pemerintah Indonesia, akhirnya pemilik Lyric Poet dan Alex memutuskan untuk membayar di luar jalur pengadilan. Kedua pemilik kapal tidak keberatan dengan nilai tuntutan senilai Rp 19,1 Miliar untuk kerusakan terumbu karang akibat kapal Alex dan Rp 16,7 Miliar untuk kasus Lyric Poet. Kesanggupan itu menyusul dikeluarkannya tuntutan pengadilan pada tahun 2019.
Sementara itu, pada Maret 2018 jangkar kapal pengangkut muatan curah bernama Ever Judger terlibat dalam kecelakaan putusnya pipa penyalur minyak mentah di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur.
PT Pertamina (Persero) selaku pemilik pipa dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan senilai Rp 10,15 Triliun sekitar setahun kemudian. Dari tuntutan tersebut, PT Pertamina (Persero) kemudian melanjutkan tuntutan kepada pemilik kapal, Holding Company Limited di British Virgin Island, sebagai bentuk subrogasi (tanggung renteng).
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, kelanjutan penuntutan tersebut masih tidak jelas, meskipun Nakhoda telah mendapatkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 15 Miliar. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem laut seluas tujuh ribu hektar pun menjadi pertanyaan tidak berujung.
Minyak yang terbakar di Teluk Balikpapan (gambar: Mongabay)
Pada akhir tahun 2019, satu lagi kapal pesiar bernama Aqua Blue kembali menghajar terumbu karang di Raja Ampat. Padahal, penuntutan kasus Sky Caledonian belum tuntas. Kali ini, luas kerusakan mencapai 30.000 meter persegi. Dan lagi-lagi, penuntutan kasus ini masih belum terlihat ujungnya.

Apa yang Indonesia Harus Benahi?

Dari serangkaian contoh kasus pencemaran ekosistem laut akibat pengoperasian kapal di atas, pertanyaan terpenting adalah “Indonesia Mau Apa?” Jika ditambah dengan kasus kerusakan laut akibat faktor lain, misalnya tumpahan minyak, daftar kegagalan penuntutan akan menjadi semakin memilukan. Seakan-akan jika sesuatu sudah terjadi, sebagaimana yang orang-orang katakan, “Ya mau bagaimana lagi, sudah terjadi. Sudah nasib.” Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan pemikiran modern yang mengutamakan konsep bahwa risiko itu ada dan oleh karenanya harus diatur.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang perlu mendapatkan sorotan dalam hal tuntutan terhadap pemilik kapal ketika terjadi suatu kecelakaan akibat pengoperasian kapal. Pertama, kecepatan penuntutan. Kita lihat kembali, bagaimana pihak Sri Lanka dapat mengeluarkan suatu nilai tuntutan awal kepada pemilik New Diamond hanya dalam waktu kurang dari satu bulan setelah kecelakaan.
Meskipun itu hanya tuntutan awal, belum menyertakan nilai kerugian akibat kerusakan ekosistem laut, namun cepatnya tuntutan awal diajukan mencerminkan keseriusan pemerintah Sri Lanka pada pencemaran lingkungan oleh kapal.
Terlebih, pada satu bulan awal biasanya kasus masih hangat, sehingga masih menjadi perhatian dunia.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lambannya tuntutan kasus pencemaran di Indonesia seolah menjadi karakter tersendiri. Faktor tersebut terkait dengan birokrasi dan aspek legal. Kedua hal tersebut jika tidak diubah akan menjadi batu sandungan yang terus menjegal dan menghambat upaya Indonesia dalam menegakkan hukum dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan perairan.
ADVERTISEMENT
Institusi yang berwenang menangani penuntutan kerusakan lingkungan di Indonesia hanya satu, yaitu Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dengan adanya otoritas tunggal (single authority), seyogyanya proses penuntutan menjadi cepat karena tidak perlu lagi ada alasan koordinasi antarkementerian yang terkenal ruwet. Dalam bekerja, KLHK membuat tuntutan hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sinilah asal mula semua keterlambatan itu bermula.
Merujuk pada UU 32/2009 tersebut, KLHK menyertakan banyak tahap untuk dapat mengeluarkan tuntutan hukum pidana. Nilai ganti rugi akan dihitung berdasar perhitungan nilai ekologi, nilai ekonomi atau kerugian masyarakat, serta restorasi atau pemulihan lingkungan atas kerusakan ekosistem terumbu karang dan biota perairan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sering kali, proses penilaian ini memakan waktu cukup lama, misalnya ketika harus dilakukan survey bersama (joint survey) bersama pihak kapal asing.
Pada saat yang sama, waktu terus bergulir dan kapal bisa saja dilepas sebagaimana yang terjadi pada kasus Caledonian Sky. Jika ini terjadi, kerusakan semakin sulit diukur dan pemilik kapal akan semakin sulit untuk dipanggil, terutama kapal asing.
Tuntutan tanggung renteng pada kasus Ever Judger menunjukkan adanya inkonsistensi, di mana yang dituntut oleh KLHK hanya satu pihak, yaitu Pertamina.
Dalam pembuktian adanya kerugian dan kerusakan ekosistem, pihak penegak hukum memperhitungkan berbagai penyebab dan keterlibatan banyak pihak, tapi hanya satu pihak yang dituntut oleh KLHK.
Pemilik kapal tidak dituntut sama sekali. Kemudian, tuntutan yang diterima oleh Pertamina dilanjutkan kepada pemilik kapal. Alhasil, pemilik kapal yang sejak awal kasus tidak disertakan pun hingga saat ini tidak merespons tuntutan tersebut dan kasus ini menguap begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tuntutan awal adalah hal pokok yang seharusnya dimasukkan ke dalam rangkaian tuntutan oleh KLHK. yang diajukan oleh Sri Lanka kepada pemilik kapal New Diamond mengajarkan kepada kita bahwa pemilik kapal sedang dalam proses hukum.
Seiring berjalannya waktu, memang pembuktian besar kerugian dan hal lainnya sebagai pelengkap nilai klaim akan terus berubah. Akan tetapi, dengan tidak mengenyampingkan tuntutan akhir, tuntutan awal memberikan pesan yang tegas bahwa pemilik kapal terlibat dalam suatu proses kerusakan laut.
Tentu saja, KLHK dapat menambah daftar pihak yang juga akan diberikan tuntutan karena suatu kecelakaan hampir selalu diakibatkan oleh banyak faktor.