news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Siswa Sulit Menulis dan Presentasi Karena Kebiasan Ini

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
5 November 2020 20:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pembaca kemungkinan merasakan berat luar biasa sulitnya untuk menulis. Pengalaman ini tidak hanya menimpa orang tua, tapi remaja dan anak-anak juga sering mengalami hal yang sama. Seolah-olah segalanya menjadi buntu ketika mendapatkan tugas menulis.
ADVERTISEMENT
Kenangan di masa kecil ketika diminta guru untuk menuliskan pengalaman liburan adalah contoh sederhana. Para siswa diminta menuliskan apapun yang dialaminya ketika liburan dalam satu halaman buku tulis, misalnya, sering berujung pada kebingungan. Tidak berhenti di situ, kadang orang tua juga terkena getahnya ikut bingung karena harus membantu memikirkan cerita liburan.
Ilustrasi siswa kesulitan menulis. Foto: scmp
Remaja yang duduk di bangku SMA juga tidak luput dari masalah menulis. Hampir semua mata pelajaran noneksak meminta siswa untuk menulis, meski hanya satu paragraf. Pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan dengan menikmati setiap huruf justru menjadi terasa bagai hukuman. Alhasil, karya tulis yang seharusnya menjadi semacam buku curhat dalam format formal, malah jadi sesuatu yang begitu dijauhi.

Kesalahan Pola Pembelajaran Sejak Dini

Kita perlu introspeksi mengenai apa yang perlu dibenahi, sehingga keterampilan menulis seolah ilmu rumit. Pada hakikatnya, menulis adalah ilmu paling tua. Manusia disebut memasuki zaman sejarah ketika sudah memiliki kemampuan menulis. Sebaliknya, komunitas disebut manusia prasejarah ketika mereka belum memiliki kemampuan menulis.
ADVERTISEMENT
Kita perlu merunut lagi rantai pendidikan. Jika semua lapisan masyarakat mengalami kesulitan menulis, paling mudah adalah dengan melacak muatan pendidikan usia muda. Dalam hal ini, pendidikan formal termuda adalah Sekolah Dasar (SD).
Kita perlu periksa kembali mengenai apa yang dipelajari siswa SD. Potret tentang bagaimana para siswa cenderung berat dalam bercerita pengalaman liburan adalah contoh menarik. Hampir semua sekolah tidak ada yang mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana membuat tulisan berisi cerita. Dengan demikian, tugas mengarang "Liburanku" dapat dikatakan adalah tugas yang tuntunannya sangat minim dirasakan para siswa.
Jika kita bandingkan dengan metode pendidikan di negara maju, kurikulum menulis tidak dimulai dari menulis satu halaman. Australia, sebagai contoh, mengajarkan para siswa SD untuk menggambar pada tingkat Preparation (jenjang antara Taman Kanak-Kanak dan SD).
Contoh tulisan siswa tingkat Prep. Foto: slideshare
Pelajaran menggambar di Australia dimulai dari yang paling mudah. Gambar tunggal berukuran besar adalah tahap awal. Seorang siswa bisa saja menggambar sebuah mobil. Ya, hanya sebuah mobil berupa kotak dan lingkaran.
ADVERTISEMENT
Meskipun siswa hanya menggambar satu objek, dampaknya bisa sangat besar bagi perkembangannya kelak. Dari gambar satu unit mobil itu siswa dapat menceritakan banyak hal. Mulai dari ke mana siswa tersebut pergi liburan, bersama siapa, dan apa saja yang dikerjakan selama liburan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian oleh Amelia, Sukma, dan Asma (2015) yang menemukan bahwa kegiatan menulis akan menyenangkan ketika cerita dan alurnya ditentukan sendiri secara bebas oleh siswa.
Menginjak jenjang SD, para siswa Australia akan diminta menulis cerita berupa campuran antara tulisan dan gambar. Semakin tinggi kelas siswa, porsi tulisan dituntut lebih banyak daripada gambar. Jadi, secara gradual ada perubahan dari gambar menjadi tulisan berbicara di depan publik. Hal ini akan semakin memudahkan para siswa untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam menulis di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Satu kesulitan yang sering muncul di antara para siswa adalah kesulitan membedakan tema dan judul (Permanasari 2017). Masalah ini hanya akan muncul ketika siswa memang tidak terbiasa menulis.
Jika kita perhatikan, model kurikulum menulis dari gambar ke tulisan adalah yang paling sesuai fitrah manusia. Kita ingat bagaimana manusia prasejarah menggambar di goa sebagai bentuk pesan/informasi. Kemudian berlanjut pada tulisan berupa gambar sebagaimana pada jenis huruf Hieroglyph.

Teacher Centered Learning

Dalam pembelajaran, para siswa di Australia juga dibiasakan untuk presentasi di hadapan publik, yaitu teman-temannya dan para guru. Hampir setiap hari para siswa mempresentasikan gambar, karya, buku, drama, atau tulisan berantakan (menurut orang dewasa).
Ilustrasi presentasi dari siswa untuk siswa. Foto: Common Sense Media
Tidak ada olok-olok dan kritik yang menjatuhkan ketika ada siswa yang melakukan kekeliruan. Singkat kata, mereka diajari sudah terbiasa di depan publik sejak masih belum bisa menulis. Dan yang menarik adalah bahwa keterampilan berbicara ini justru menjadi alat bantu dalam menulis.
ADVERTISEMENT
Penggunaan gambar diulas oleh Farida (2007) sebagai katalis bagi siswa untuk mengeluarkan kata, baik dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Gambar kartun, misalnya, terbukti mendorong siswa untuk lebih banyak bercerita daripada penggunaan teks semata.
Jika kita bandingkan dengan kebanyakan siswa Indonesia, justru kebalikannya. Presentasi dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, bukannya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Terkadang malah ada siswa yang terdiam mematung atau menangis karena terlalu grogi/canggung.
Permasalahan ini kemudian cenderung diatasi dengan cara yang tidak tepat. Mendikte siswa adalah solusi instan yang paling sering ditemukan. Misalnya, guru meminta siswa untuk menghafalkan kata demi kata. Apa yang diucapkan oleh siswa harus 100% tepat sama dengan yang ada di script yang diberikan oleh guru.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran siswa tidak bisa menjelaskan presentasi ditambah dengan ketidaksabaran adalah faktor utama yang merusak proses pembelajaran public speaking. Seharusnya, para siswa dibiarkan memilih kata-katanya sendiri. Wajar jika ada perbedaan pemilihan kosa kata atau ada beberapa hal tertinggal, karena mereka bukanlah komputer.
Jika siswa dipaksa harus tepat sama dengan script ketika presentasi, yang terjadi adalah pembunuhan kreativitas. Siswa tidak memiliki ruang untuk improvisasi kosa kata yang dimilikinya. Ketika ada kata yang beda, padahal artinya sama atau mendekati, langsung disalahkan. Lambat laun, hal ini akan menjadi budaya negatif yang menyulitkan siswa untuk mengembangkan dirinya.

Bongkar Kebiasaan Lama

Hanya ada satu solusi untuk mengatasi rasa takut, minder, canggung ketika menulis dan presentasi. Caranya adalah penetapan kurikulum pendidikan yang mengedepankan penghargaan pada kreativitas siswa yang mana hal ini sering disebut student centered learning. Metode ini memusatkan siswa sebagai pembelajar yang aktif.
ADVERTISEMENT
Penambahan porsi bercerita dan pemberian kebebasan memilih topik dan gaya bahasa merupakan faktor penting untuk merangsang kemampuan menulis siswa secara sistematis (Taufik 2014). Bersamaan dengan itu, lingkungan positif yang tidak menghukum dan mengolok kekeliruan, yang sejatinya adalah wajar dalam proses pembelajaran, harus dijunjung tinggi oleh para guru dan siswa.
Proses perubahan akan lebih mudah ketika dimulai dari sistem. Memang benar ada yang mengatakan, “Kalau bukan dari kita, siapa lagi?” Akan tetapi, kalau sistem yang diperbaiki, bukan lagi “kita’, tapi semua wajib mengikutinya. Dengan demikian, perbaikan kurikulum terkait pembelajaran menulis dan presentasi akan jauh lebih mudah dilakukan jika sistemnya diubah terlebih dahulu.