Transportasi Publik Sarang COVID-19: Mitos atau Fakta?

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Desember 2020 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Transportasi Publik Foto: Chang Hsien
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Transportasi Publik Foto: Chang Hsien
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak terasa, Covid-19 sebentar lagi akan merayakan ulang tahunnya yang pertama dalam beberapa bulan ke depan. Masih teringat bagaimana reaksi masyarakat, termasuk kita, tentang cara penularan Covid-19 ini. Sampai-sampai, ada yang harus rela disemprot disinfektan sebelum masuk rumah, bahkan tidur di tenda demi menjaga keluarga tercinta agar tidak tertular virus jahat ini.
ADVERTISEMENT
Semenjak pemerintah memberlakukan kerja dari rumah (WFH), sejumlah transportasi publik mengalami penurunan jumlah penumpang secara drastis. Namun demikian, ternyata masih ada pandangan sebagian orang yang menganggap bahwa transportasi publik rawan penularan Covid-19. Benarkah itu sebagai fakta? Atau hanya mitos?
Ilustrasi Covid-19 di transportasi publik
Sebagian orang yang penulis temui menyatakan telah mengubah pola penggunaan transportasi akibat Covid-19. Sebelumnya mereka adalah pengguna transportasi publik. Seiring dengan isu penularan Covid-19 di transportasi publik, mereka menjauhkan diri dari transportasi publik. Jadi, banyak rekan-rekan kerja yang lebih memilih kendaraan pribadi dengan alasan lebih aman dari Covid-19. Apakah tindakan tersebut menjamin bebas Covid-19? Yuk kita bahas satu per satu.

Kebiasaan dan prosedur berkendara di transportasi publik

Jika kita lihat belakangan ini semenjak Covid-19 dinyatakan merebak di tanah air, terdapat sejumlah perubahan kebijakan dalam penggunaan transportasi publik. Hal ini terjadi pada hampir semua moda transportasi, baik penerbangan, pelayaran, jalan raya, maupun perkeretaapian. Perubahan tersebut tergolong signifikan, sehingga sebagian orang yang kurang sadar bahaya Covid-19 malah justru merasa tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Moda penerbangan adalah yang paling mudah untuk melihat perubahan perilaku pengguna jasa transportasi. Karakter penumpang yang cenderung kalangan menengah atas memudahkan pemerintah untuk mengatur kebiasaan baru berupa penggunaan masker, cuci tangan, cek temperatur, dan jaga jarak antarpenumpang. Fenomena ini terjadi tidak hanya di boarding lounge, tapi juga di dalam pesawat. Ketika ada penumpang yang membuka maskernya tanpa alasan yang jelas, maka akan langsung ditegur oleh petugas, baik ground staf (petugas di darat) maupun flight attendant (pramugara/i).
Moda perkeretaapian juga tidak kalah disiplin dibandingkan penerbangan. Lihat saja kereta jarak jauh, PT KAI selaku operator tunggal membagikan pelindung muka (face shield) kepada para penumpang secara cuma-cuma. Para penumpang pun akan diperlakukan sama sebagaimana penumpang pesawat di mana mereka diminta untuk memperhatikan protokol kesehatan. Hal yang sama juga diterapkan pada penumpang kereta perkotaan, Commuter Line (CL). Malah, para penumpang CL dilarang untuk berbicara, baik kepada manusia atau kepada gawai (ponsel/HP, tablet, dll) selama berada di dalam kereta. Bagi sebagian orang mungkin hal ini terlihat sok bersih atau kejam, tapi langkah ini seharusnya diapresiasi, mengingat droplet terlontar hingga beberapa kali lipat lebih banyak dan lebih cepat ketika berbicara. Apalagi dibantu hembusan angin AC.
ADVERTISEMENT
Moda pelayaran juga menerapkan protokol kesehatan. Para penumpang kapal Pelni diharuskan melakukan tes uji Covid-19, minimal rapid test. Hal ini sama seperti penumpang pesawat. Penerapan protokol kesehatan lainnya tidak perlu disebutkan karena sudah sama seperti moda penerbangan dan perkeretaapian.
Moda jalan raya juga tidak kalah. Protokol kesehatan untuk penumpang bus jarak pendek dan panjang juga diberlakukan. Belakangan ini malah ada terobosan unik dari perusahaan karoseri yang mendesain sistem sirkulasi udara menggunakan filter seperti di pesawat yang disebut HEPA.

Kebiasaan dan prosedur masyarakat di tempat kerja

Setelah melihat bagaimana pola perilaku masyarakat di transportasi publik, ada baiknya kita bandingkan dengan perilaku di tempat kerja. Fenomena yang terjadi di perkantoran belakangan ini cukup menarik sekaligus berbahaya. Salah satu indikasi adalah munculnya klaster perkantoran yang mulai marak sejak sekitar setengah tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Meskipun di setiap perkantoran, pabrik, sekolah, dan tempat kerja lainnya diharuskan untuk menerapkan protokol kesehatan, namun fakta yang terjadi mengecewakan. Fenomena yang muncul justru asimilasi antara new normal dan normal. Salah satu contohnya adalah penggunaan masker melorot sambil mengobrol. Lebih parah, fenomena makan bareng mulai marak, terutama pada masa penyerapan anggaran di penghujung 2020.
Penyerapan anggaran memang tidak salah. Malah bagus jika anggaran tersebut akan diserap untuk berbagai program pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk menangani pandemi ini. Akan tetapi, ketika perjalanan dinas memaksa ASN untuk tinggal di kamar hotel dengan berbagi kamar (sharing room) dan makan bareng, maka di sini justru paradoks.
Jika kita bandingkan, para penumpang transportasi publik jarang yang membuka maskernya. Tidak semua jenis transportasi publik memungkinkan untuk bisa makan ketika penumpang berada di dalamnya. Tapi, ketika masyarakat berada di tempat kerja, apa pun bisa dilakukan, mulai dari berbicara, makan, teriak, hingga bersin dan batuk. Ketika bersin/batuk, kecepatan droplet bisa mencapai 10 sampai 25 m/detik (Xiao 2020) di mana kecepatan itu setara dengan mobil berkecepatan 90 km/jam di jalan tol.
Ilustrasi makan bersama di kantor
Perbandingan ini sangat kontras dan semakin menguatkan bahwa anggapan bahwa transportasi publik lebih buruk daripada bepergian dengan kendaraan pribadi. Yang menjadi masalah justru bukan ketika berada di dalam transportasi publik, tapi justru ketika sudah berbaur bersama rekan kerja atau berada di lokasi yang mengharuskan membuka masker, yang lebih banyak terjadi bukan di dalam transportasi publik. Percuma saja di jalan sendirian terhindar kontak dengan penumpang lain, tapi di kantor malah tidak menerapkan protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Masker bukan sekadar kain/material aksesoris muka. Masker kain sekalipun masih berfungsi baik dibandingkan tanpa masker (Saif 2020 dan Biomedcentral 2020). Tanpa masker, droplet akan melesat jauh dengan kecepatan tinggi, meski hanya dengan bernapas (Anfinrud 2020). Apalagi dengan berbicara atau bersin. Seharusnya, masyarakat sadar bahwa masker inilah cara perlindungan terbaik, bukan dengan mengharapkan keajaiban dari vaksin yang saat ini semuanya dikembangkan dengan status dan prinsip kerja darurat.
Dengan perilaku perpindahan ke transportasi pribadi, pada dasarnya hal ini meningkatkan probabilitas kecelakaan. Bisa dibayangkan jika banyak orang yang bekerja di Jakarta, tapi tinggal di Bodetabek, mereka harus menempuh jarak puluhan kilo meter dengan kendaraan pribadi. Pastinya, hal ini berdampak langsung dengan kelelahan. Berbagai studi telah mengungkapkan bahwa durasi perjalanan (Bioulac 2003) dan jenis moda transportasi (Keall dan Newstead 2012). Artinya, jika tinggal sampai 50 km dari lokasi kerja, lalu berkendara pakai sepeda motor pergi-pulang, itu hanya memindahkan maut dari Covid-19 ke aspal di jalan. Salam sehat dan selalu gunakan logika akal sehat!
ADVERTISEMENT