10 Puisi yang Menggambarkan Peristiwa 1998 (2)

Tutur Literatur
O Captain, My Captain. (Whitman, 1865)
Konten dari Pengguna
22 Mei 2017 11:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tutur Literatur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
10 Puisi yang Menggambarkan Peristiwa 1998 (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat kembali ke belakang, pada Bulan Mei 1998, kita akan dihadapkan pada rasa haru para mahasiswa dan masyarakat yang akhirnya berhasil menumpas dan menjatuhkan rezim Orde Baru yang Otoriter. Akan tetapi, dibalik sebuah kebahagiaan, ada suatu tragedi memilkukan yang sampai saat ini masih menorehkan luka di sebagian masyarakat Indonesia, terutama para etnis Tionghoa yang menjadi korban ketidakadilan. Demi merawat ingatan tentang peristiwa tersebut, beberapa sastrawan muda merekamnya dalam bentuk puisi yang bisa kita baca dan pelajari hingga hari ini. Jika sudah menyimak beberapa puisi di bagian awal, mari kita renungi lima puisi lainnya berikut ini.
ADVERTISEMENT
5. Percakapan Usai Tragedi - Lasinta Ari Nendra
…Kapan terjadinya peristiwa itu
Aku ingin merunuti mula terjadinya aku
~
Lalu apa sesungguhnya kesalahan ibu
Barangkali ibu berkulit putih dan bermata sipit
Konon itulah penyebab awal keadaan jadi sulit
Hingga rakyat-rakyat kecil terlilit dan terbelit
Oleh pelukan kemiskinan yang menghimpit
Etnis Tionghoa kerapkali disalahkan karena selalu dianggap sebagai biang kerok terjadinya kesulitan ekonomi yang terjadi pada saat itu. Dalam puisi ini, Lasinta Ari Nendra membuat kita merenenung kembali, apakah sebetulnya kesalahan etnis Tionghoa yang dirampas haknya pada saat peristiwa kerusuhan 98 terjadi? Kulit putih dan mata sipit tak serta merta menjadikannya orang lain di negara Indonesia, karena mereka juga adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
6. Narasi Memorabilia 598 - Whijang Warek AM
Perempuan-perempuan tanpa kebaya
Telanjang kehilangan muka
Kelaminnya diperkosa
Dalam perjamuan angkara
Tubuhnya lilin pucat kesumba
Menggigil di kolong langit senja
Meratapi nasib hidup yang luka
Tersedu tanpa isak kata-kata
Masih mengangkat tentang tema pemerkosaan perempuan-perempuan etnis Tionghoa, Whijamg Warek AM menuturkan trauma dan luka psikis yang diderita oleh para korban pemerkosaan yang akan terus diderita disepanjang hidupnya.
7. Sebotol Shampo - Impian Nopitasari
Sebotol shampo di balik kaca
Depan rumahku
Selalu membuatku penasaran
Ingin sekali kuhirup aromanya
Kata si Ling, wanginya tak ada yang menandingi
Entahlah, orang tuaku tak pernah membelikannya
Mungkin esok pagi, akan kubeli shampo itu
Pagi ini, ya, seharusnya ini masih pagi
ADVERTISEMENT
Tapi gulita membuatku sangsi
Itik-itikku kembali ke kandang, menambah keyakinanku
Asap-asap tebal membumbung tinggi
Orang-orang berhamburan keluar
Kulihat mereka memecah kaca toko Tan Tjik Ling
Kaki kecilku reflek berlari
Tak ada yang boleh mengambil shampo si Ling
Kubawa shampo itu ke rumah
Ayahku marah
“Kembalikan, barang jarahan tak boleh masuk rumah ini”
Tapi aku terlalu takut keluar, mereka semakin brutal
Membakar apapun dan sibuk berteriak “Hidup Pribumi!”
Dulu orang-orang Tionghoa pemilik toko dilanda ketakutan, menutup pintu tokomya rapat-rapat dan menitipkan barang berharga di rumah teman atau sadara yang mereka percaya. Mereka mengecat toko mereka dengan kata-kata 'Pribumi Asli'dan berharap terhindar dari tindak penjarahan dan amukkan masa.
Puisi ini menggambarkan peristiwa kerusuhan dan penjarahan yang terjadi pada tahun 1998 lewat keinginan seseorang membeli sampo di sebuah toko yang pemiliknya adalah orang keturunan Tionghoa.
ADVERTISEMENT
8. Mengenang Anyir Air Mata - Nurni Chaniago
…Teriakan dan jerit kepiluan langkah kecil yang dirubuhkan
Gadis-gadis berlampion dalam gaun-gaun bersobekan
Berlarian dalam kelam
~
Membawa kegetiran dan dendam yang tak terhapuskan
Ketika yang paling suci direnggutkan atas nama perjuangan
Betapa anyir air mata mengenangnya!
Oknum yang berteriak "hidup pribumi" pada masa itu menganggap bahwa melumpuhkan etnis lain yanh dianggap "non - pribumi" sebagai bentuk perjuangan. Puisi ini mengutarakan bahwa peristiwa yang mengatasnamakan perjuangan itu, begitu memalukan untuk dikenang.
9. Suamiku Tragedi Mei - Kinanthi Anggraini
…Sinar matamu menghidupkan mayat berpembuluh
Di parasmu tampak ukiran-ukiran bibit lelaki ke sepuluh
Yang membuatku kembali merasakan guguran peluh
Hingga aku tak sanggup berdiri dan hanya bersimpuh
ADVERTISEMENT
Tak kuasa menolak dan berbuat banyak, aku lumpuh!
~
Sementara saat membedaki lehermu sore ini
Seolah tanganku bergerak mencekik sendiri
Saat menyisiri rambutmu yang wangi
Serasa ingin kujambak dan segera kupangkasi…
Pada puisi ini digambarkan seorang wanita yang harus terus menanggung luka akibat peristiwa pemerkosaan, karena lelaki yang mengoyak kesuciannya pada waktu itu berhasil menanam benih. Perasaannya begitu dilematik. Di satu sisi menyayangi anak yang lahir dari rahimnya sendiri, akam tetapi di sisi lain ia hadir sebagai pengingat luka yang akan terus mendampingi dan bahkan menjadi tanggungjawabnya.
10. Reformasi - Ngadiyo
…Ayahku baru pulang dari pasar
Membeli dempul sebagai cat dasar
Di atas caping untuk dibawa ke pasar
ADVERTISEMENT
~
Lihat,
Toko Cina dibakar
Toko Cina dijarah
~
Ini sedang reformasi
Semua toko dicat Pribumi
Untung toko cat masih sepi
Ayahku bisa membeli dengan ngeri…
(Reformasi, Ngadiyo)
Dalam puisi berjudul Reformasi, masih tergambar bagaimana peristiwa penjarahan toko-toko berpemilik orang Tionghoa terjadi. Mereka, mengecat toko-toko mereka dengan tulisan "Pribumi Asli" demi terhindar dari penjarahan saudara sebangsa - setanah airnya sendiri.