"Dapur Solo" Bukan Hanya Untuk Orang Solo

Sigit Budi
Blogger, travel, kuliner, wisata founder komunitas koperblogg
Konten dari Pengguna
15 Desember 2017 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Budi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa kuliner tradisional perlu dilestarikan ? Pertanyaan ini menggugah saya untuk menelusuri aneka kuliner tradisional. Sebagai pribadi yang dibesarkan dalam budaya Jawa selama 25 tahun, ada keinginan mencicipi kuliner daerah lain. Ketika bekerja di Jakarta, masakan - masakan dari asal kota saya, Kota Solo sulit saya temui. Tiap hari dihadapkan aneka makanan dari pelbagai daerah, masakan favorit saya masakan Padang. Kenapa saya menyukainya ? Lidah saya yang terbiasa dengan masakan khas Solo yang manis - manis mendapatkan sensasi lain ketika mengecap bumbu - bumbu dari Sumatera Barat ini. Mungkin karena restoran atau warung masakan Padang mudah ditemui di Jakarta, saya menjadi getol menyantapnya. Tak masakan Padang, tapi juga masakan Sumatera Utara. Dimana dalam soal perbumbuan kedua masakan ini tidak jauh beda. Mengandalkan rempah - rempah seperti kapulaga, mrica, bawah putih, bawah merah, kunyit, tambahan jahe, dan beberapa rempah lainnya. Kekhasan masakan asal Sumatera adalah pedas, kebetulan saya menyukai masakan bumbu pedas. Meski sudah terbiasa melahap aneka masakan tradisional dari berbagai propinsi di Indonesia, ternyata kerinduan akan masakan daeral asal tak pernah padam. Seperti kisah Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK) saat berhadapan dengan masakan asal kota saya, yakni Kota Solo. Seribu kenangan dan ingatan yang tak pernah terhapus dari benak saya. Ketika mendapatkan undangan pembukaan cabang ke-5 dari restoran khas Solo, Dapur Solo memori - memori lama kembali muncul. Dalam kesempatan yang indah itu, saya diingatkan lagi masa - masa lalu dengan aneka "Jajanan Pasar " (kudapan) khas Solo, antara lain Lumpia kering, Combro, Risoles Rogut, Bolu Ubi, Lemper. Semasa kecil saya, Jajanan Pasar itu banyak dijual di pasar - pasar tradisional dan disajikan dengan "tampah", sebuah piring besar terbuat dari anyaman bambu diatasnya dilapisi daun pisang untuk menaruh makanan tadi. Ketika di Dapur Solo, sajian makan ini ini lebih modern, dikemas dengan kardus lebar dan penutupnya terdapat plastik transparan. Sehingga aneka isi makanan dapat terlihat terlihat, kesan bersih dan rapi membuat tampilannya menarik. Hebat sekali cara Ibu Swan Kumarga mengemas dan menyajikan makanan 'ndeso' ini lebih kekinian. Bayangan tidak hiegienis terusir dari benak saya ketika melihat kemasan "Jajanan Pasar" ini. Tak salah bila Kementerian Pariwisata menggandeng Dapur Solo mendapatkan fasilitas "co-branding" Wonderful Indonesia. Tak hanya makanan itu, saya pun disuguhi bubur khas Solo, yakni "Bubur Lemu". Makanan ini selalu menjadi incaran para pemudik yang datang ke Solo. Terbuat dari bubur beras, telor rebus, kuah khusus. Rasa sangat otentik, berbeda dengan bubur - bubur yang dijual di seputaran Kota Solo. Ibu Swan Kumarga, pendiri Dapur Solo mengawali bisnis restoran ini dari garasi rumah. Berkat ketekunan dan kecintaan terhadap kota asalnya, Kota Solo ia bersama suami dan anak satu-satunya sukses melebarkan usahanya di Jabodetabek. Salah satu kelebihan Dapur Solo menurut saya adalah kekhasan masakannya yang sudah disesuaikan dengan lidah warga ibukota yang multi -etnis. Kekhasan rasa manis pada masakan dari Kota Solo sudah dikurangi, dibumbui dengan rasa lain yang tak kalah sedap. Perlahan namun pasti, kuliner Dapur Solo bisa diterima oleh rata - rata lidah warga Jakarta dan sekitarnya. Makanan - makanan "ndeso" dari Kota Solo pun akhirnya masuk dalam jajaran resto modern di Jakarta yang didominasi restoran dari luar negeri.
ADVERTISEMENT