Intoleransi Agama Jadi Wabah Global, Tak Cuma di Indonesia

13 Februari 2018 17:54 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyerangan gereja di Yogyakarta (Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
zoom-in-whitePerbesar
Penyerangan gereja di Yogyakarta (Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu dua minggu, empat tokoh agama di berbagai tempat di Indonesia bergantian mengalami kekerasan.
ADVERTISEMENT
Akhir Januari (27/1), Kyai Umar Basri dipukuli kepalanya di Bandung. Lima hari setelahnya, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam H.R. Prawoto tewas dianiaya di kediamannya, juga di Bandung.
Rabu (7/2), gantian Biksu Mulyanto dipersekusi dan sempat diusir dari desanya sendiri di Tangerang. Daftar tadi lengkap ketika Romo Edmund Prier dan tiga orang lainnya di Gereja Santa Lidwina Bedog, Yogyakarta, ditebas parang hingga luka berat, Minggu (11/2).
Kasus-kasus itu tentu saja cuma puncak gunung es. Berdasarkan data Wahid Institute, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada multikulturalisme dan kebebasan beragama, pada 2016 terdapat 204 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Jumlah tersebut naik tujuh persen dari catatan 2015.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, memasuki momen-momen politik, percik api sekecil apapun di masyarakat bisa menjadi kobar besar apabila penanganannya tak tuntas, dan rumor lebih kencang beredar.
Kekerasan terkait agama dan terhadap pemuka-pemukanya memang bukan fenomena baru di Indonesia. Bahkan, menurut laporan tahunan lembaga penelitian masalah politik-sosial Amerika Serikat, Pew Research Center, dari 2007 hingga 2014 Indonesia selalu berada di antara negara-negara dengan tingkat pembatasan kebebasan beragama dan konflik agama terburuk di dunia.
Namun, catatan buruk soal kebebasan beragama dan konflik sosial akibat agama bukan hanya masalah Indonesia. Bahkan, masih menurut Pew Research, Indonesia mendapatkan tempat lebih baik di tahun 2015 --meski tak bisa dibilang baik sama sekali.
Muslim di Amerika menjalankan Ramadan  (Foto: REUTERS/Amr Alfiky)
zoom-in-whitePerbesar
Muslim di Amerika menjalankan Ramadan (Foto: REUTERS/Amr Alfiky)
Dalam laporan tahunan Pew Research Center 2015 yang baru dikeluarkan April 2017, angka pembatasan atas agama dan konflik sosial dengan akar agama meningkat secara global pada 2015.
ADVERTISEMENT
Pembatasan kebebasan beragama, yang indikatornya ditunjukkan dengan pembatasan aktivitas beragama oleh negara, seperti: hukum, kebijakan, dan tindakan yang membatasi keyakinan dan praktik beragama macam menyatakan bahwa satu agama sesat, naik dari 24 persen di 2014 menjadi 25 persen di 2015.
Peningkatan yang sama juga terjadi dengan konflik sosial akibat agama. Indikator ini meningkat secara global sebanyak empat persen, dari 23 persen di 2014 menjadi 27 persen pada 2015. Konflik ini termasuk pengusiran terhadap seseorang karena alasan agama, serangan fisik, dan tindakan permusuhan secara umum dari individu, kelompok, maupun organisasi, terhadap pemeluk agama lain.
Berdasarkan penelitian Pew itu, dari 198 negara yang menjadi objek penelitian, 105 di antaranya mengalami peningkatan dalam hal pembatasan kebebasan beragama. Prancis dan Rusia, misalnya, masing-masing lebih dari 200 kali membatasi praktik beragama di negaranya, seperti menghukum individu yang melanggar larangan menutup wajah (misal dengan burka) di tempat umum dan gedung pemerintahan di Prancis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pelanggaran juga terjadi di Jerman. Februari 2015, kepolisian Jerman menyerbu Islamic Cultural Center di Bremen, menuduhnya menjadi pendukung kelompok Salafi dan menjadi tempat penyebaran senjata untuk serangan teror.
Polisi membobol pintu depan dan memborgol jemaat beberapa jam, hanya untuk menemukan tak ada senjata di tempat tersebut. Juli 2015, Pengadilan Tinggi Bremen menyatakan bahwa penggeledahan polisi tersebut tak punya dasar hukum cukup kuat.
Pembatasan terhadap kebebasan beragama tak selalu berbentuk fisik. Ia juga bisa berupa pernyataan merendahkan dan diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu. Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban, misalnya, mengeluh bahwa imigran dari agama tertentu memenuhi negaranya.
“Mereka yang datang dengan agama lain merepresentasikan budaya yang sangat jauh berbeda. Mereka bukan umat Kristen, tapi Islam. Saya pikir kami punya hak untuk menentukan bahwa kami tak ingin imigran Muslim di negara kami,” ucapnya, seperti dikutip dari laporan Pew.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan yang sama, lima negara dengan pembatasan kebebasan beragama tertinggi pada 2015 berturut-turut adalah Mesir, China, Iran, Rusia, dan Indonesia. Sementara negara dengan konflik agama tertinggi di 2015 dari yang teratas adalah Nigeria, India, Rusia, Pakistan dan, Mesir.
Klaim bahwa intoleransi beragama meningkat di dunia agaknya bisa dipertanggungjawabkan. Laporan Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat pada 2016 juga menunjukkan terdapat peningkatan secara global soal intoleransi beragama.
Bahkan, laporan itu juga menyebut ada negara-negara yang memerlukan perhatian khusus soal toleransi beragama. Negara-negara ini termasuk: 1) Myanmar dengan masalah Rohingya, 2) China dengan Muslim Uighur, 3) Eritrea dengan Protestan Evangelis dan komunitas Pantekosta.
4) Iran dengan masyarakat selain Islam, 5) Korea Utara dengan semua agama, 6) Arab Saudi dengan semua non-Islam dan kelompok Syiah, 7) Sudan dengan perusakan terhadap gereja dan kelompok Kristen secara umum, serta 8) Turkmenistan dan 9) Uzbekistan yang sama-sama tak ramah dengan kelompok beragama.
ADVERTISEMENT
Laporan itu juga mencermati bahwa pembatasan terhadap kegiatan beragama tak hanya dilakukan oleh negara ke masyarakatnya.
“Kami melihat sendiri bagaimana aktor non-negara --termasuk organisasi teroris macam Daesh (ISIS), Al-Qaeda, Al-Shabaab, Boko Haram-- menjadi ancaman besar terhadap kebebasan beragama,” ucap Antony J. Blinken, Deputi Menteri Luar Negeri AS pada 2016 kepada Huffington Post.
Kenyataan tersebut, meski tak mengagetkan, tetap menyedihkan. Padahal, sebenarnya secara umum dunia setuju bahwa tak ada agama, ras, maupun budaya yang lebih tinggi atau lebih mulia ketimbang agama lainnya.
Klaim tersebut ditemukan oleh Gallup International Poll, yang surveinya pada akhir 2016 menyatakan bahwa lebih dari mayoritas masyarakat di 66 negara tidak percaya bahwa satu negara lebih baik/benar/mulia ketimbang negara lain.
ADVERTISEMENT
Kecuali di sembilan negara --di dalamnya termasuk Indonesia.
Mayoritas masyarakat Indonesia, bersama masyarakat negara lain macam Bangladesh, Vietnam, Pakistan, Afganistan, Lebanon, Makedonia, Ghana, Nigeria, dan Paraguay masih secara kolot percaya bahwa agama, ras, atau budaya mereka lebih oke ketimbang yang lain.
Alasannya, menurut hasil survei tersebut sebagaimana dikutip dari Bloomberg, adalah adanya konflik internal, instabilitas yang bersumber campur tangan asing, dan transformasi kehidupan sosial di dalam negara tersebut.
“Ini menjadi bukti bahwa di negara-negara yang stabil dan tidak merasa terancam, perasaan superior dalam hal agama, budaya, dan ras akan lebih rendah. Demikian pula sebaliknya,” tulis laporan tersebut.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!
ADVERTISEMENT