Kembang Api dan Politik 2018 yang Riuh

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
Konten dari Pengguna
3 Januari 2018 19:36 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti tahun baru pada umumnya, 1 Januari 2018 disambut dengan semarak. Terdengar ledakan petasan di langit, acara musik di titik-titik keramaian, sederet resolusi yang digaungkan orang di media sosial, hingga notifikasi ucapan selamat tahun baru di smartphone. Riuh sekali.
ADVERTISEMENT
Walaupun, kalau kita bayangkan 2018 ke depannya, keriuhan tersebut mungkin terdengar begitu sepele. Sebab pesta demokrasi pada 2018 nanti pastinya akan lebih riuh daripada pesta tahun baru kemarin.
Berbagai kabar seputar manuver para aktor politik akan kita dengar tiap hari. Komentar-komentar politik, baik dari awam, pengamat, hingga elit, akan terus menghiasi media sosial.
Kita mungkin akan lebih berisik daripada jutaan kembang api yang meledak di langit.
Ilustrasi Politik (Foto: Pixabay)
Pada 2018 ini, Pilkada akan diselenggarakan di 171 daerah, tepatnya di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Seiring dengan itu, tahapan menuju Pemilu 2019 juga tetap berjalan--tahun ini capres-cawapres akan ditetapkan.
Bagaimanapun juga, Pemilu sudahlah tentu akan ramai. Pemilu ‘formalitas’ ala Orde Baru saja ramai, apalagi Pemilu langsung sungguhan?
ADVERTISEMENT
Ketatnya pertarungan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada 2014 boleh jadi acuan betapa ramainya gelanggang politik kita nanti. Saat itu, obrolan politik merasuk hingga ke keseharian masyarakat. Debat menyeruak di mana-mana. Tak usah antarteman yang beda haluan, antaranggota keluarga saja tak segan saling hujat.
Tensi serupa juga terjadi saat pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Besarnya pengaruh DKI Jakarta di konstelasi politik nasional, serta sensitifnya isu penodaan agama yang menjerat Ahok, membuat seantero negeri terpolarisasi, lengkap dengan julukannya masing-masing--ada cebongers, ahokers, kaum bumi datar, bani serbet, dan semacamnya.
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
Sekilas, kondisi ini mungkin wajar semata--namanya juga demokrasi. Di antara adu argumen yang sehat, pasti ada saja argumen yang isinya sesat pikir semata. Tapi, yang mana kiranya yang lebih dominan belakangan ini?
ADVERTISEMENT
Rasanya lebih banyak orang berlomba-lomba untuk merendahkan orang lain. Sementara di dalamnya, gagasan yang ditawarkan demi kemaslahatan bersama nyaris tidak ada. Seakan yang penting adalah banyak orang setuju dengan saya; soal apa yang saya percayai itu belakangan.
Menggalang suara tentunya penting dalam praktik demokrasi. Namun, pikir saya, demokrasi itu bukan semata kompetisi perolehan suara terbanyak. Demokrasi adalah ruang untuk mengakomodir sekecil-kecilnya suara masyarakat.
Sayangnya, belakangan ini orang semakin jarang menjelaskan bagaimana pilihan politiknya mampu mengakomodir kebutuhan orang lain. Mereka justru lebih banyak berbicara kepada kelompok mereka sendiri. Ketimbang menghidupkan dialog antarkelompok, mereka lebih asyik bermonolog ramai-ramai.
Cara pikir "mayoritas lawan minoritas" tak henti mengemuka. Kekuatan ditakar sebatas dari identitas dan jumlah, bukan dari bagaimana sebuah ide mampu mencapai cita-cita bersama.
ADVERTISEMENT
Bila kondisi ini terus berlangsung, maka bersiaplah: 2018 akan menjadi tahun yang menyebalkan. Perbedaan suara dan warna takkan dicecap sebagai keragaman nan elok, melainkan sumber perseteruan yang melelahkan dan tak ada ujungnya.
Saya jadi teringat dengan kembang api yang saya lihat pada malam tahun baru. Memang, mereka begitu bising dan memiliki warna yang berbeda-beda. Tapi mereka tahu, dunia akan lebih indah ketika mereka meledak dalam ritme yang padu.