KPK "Dijagal" Koruptor?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
19 Juni 2017 12:19 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung KPK (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung KPK (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
ADVERTISEMENT
Atmosfir korupsi Indonesia kian pekat, sesak dan pengap. Para koruptor beserta kurawanya, berupaya sangat kuat dan sepenuh hati memproduksi dan memfabrikasi rencana “serangan” paling solid dan utuh. Ada indikasi, siapapun yang dianggap menghadangnya akan “ditumpas dan ditebas” hingga kelak berkalang tanah.
ADVERTISEMENT
Pada titik itu, cita Indonesia bersih dan bebas dari korupsi, nampaknya, hendak “dihabisi”, “dilumat” dan “dihancurkan”. Fitnah, terror, kekerasan dan suasana ketakutan terus ditebar dan dipertontonkan secara kasat mata.
Ada kebijakan yang sengaja diada-adakan justru untuk mendekonstruksi upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, lembaga yang serius melawan korupsi didelegitimasi, dan kriminalisasi justru dijustifikasi.
KPK si anak kandung reformasi yang secara sengaja dibuat untuk menggerakan perlawanan semesta atas kekuasaan yang korup, kini, berada di tubir jurang, diintai sakratul maut dan tengah dipaksa menuju tempat penjagalan untuk “diistirahatkan”. KPK dijadikan target utama, musuh bersama dan sasaran prioritas yang harus segera “dienyahkan” berapapun biayanya dengan acara apapun.
Nampaknya, KPK tengah “dijagal” koruptor?
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, tidak lah mengherankan jika ada serangkaian upaya illegal, mispolitis dan tuna kewarasan datang menyergap KPK. Indikasinya terlihat sangat kuat, KPK tak sekadar dilemahkan namun dibuat seolah ada tapi tiada, serta diberi “taring” untuk lakukan pemberantasan korupsi tapi kewenangan koersifnya, sesungguhnya, tengah dilucuti.
Lebih dari itu, disuruh “berkelahi” melawan koruptor diseantero Indonesia tapi markasnya hanya diizinkan berlokasi di ibukota republik dengan jumlah SDM yang hanya “seumprit” saja, serta diberi “amunisi” seadanya dengan sangat terbatas, dan tidak diberi perlindungan yang memadai sehingga harus ikhlas karena setiap saat ddapat “dibedil” dan dianiaya para kurcaci suruhan koruptor.
Pendeknya, ada indikasi berupa tindak kriminalisasi atas upaya pemberantasan korupsi, khususnya, ditujukan pada KPK dalam bentuk “three in one criminality” melalui serangan “maut mematikan”.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada tiga jurus “maut dan mematikan” tengah diperagakan oleh pihak yang diindikasikan sebagai pelaku kejahatan korupsi beserta kurawa dan para kurcacinya.
Lihat saja, salah satu ikon KPK “dianiaya” secara brutal, institusi KPK hendak “dikuliti” melalui ilegalisaasi Hak Angket yang tidak dipercaya publik seantero Indonesia dan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa direkodifikasi jadi kejahatan yang biasa-biasa saja.
Novel Baswedan, salah satu ikon KPK yang selalu berada digaris terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi dianiaya “teroris sungguhan”, cilakanya, pelakunya tak kunjung bisa ditemukan walau kejadian sudah berhitung bulan.
Ada pernyataan yang mencengangkan dari Novel: “…ini kejahatan yang mudah diungkap, bukan kejahatan yang terjadi di tempat sepi, di tempat yang enggak ada saksinya. Saksinya banyak, buktinya juga banyak…”.
ADVERTISEMENT
Lebh lanjut juga dikemukakan suatu sinyalemen: “…ada banyak orang terlibat di dalam kasus ini…” dan diduga ada sidik jari yang dihilangkan dari dari cangkir tempat air keras.
Yang menarik, ini kali keenam Novel diserang, sebelumnya Novel malah hendak “dibunuh” melalui modus kecelakaan lalu lintas. Kasus Novel menjelaskan, tidak ada satupun jaminan, seluruh fungsional KPK potensial mendapatkan teror, ancaman dan fakta kekerasan. Hal ini juga menegaskan, Negara dapat dituduh telah abai dan gagal menunjukan political will yang kuat di dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tidak hanya itu, jurus “maut mematikan” kedua untuk “menghanncurkan” eksistensi KPK juga tengah terjadi, dilalukan secara sistematik melalui kebijakan perundangan.
Setelah berkali-kali gagal untuk mengkooptasi dan mendelegitimasi KPK melalui revisi UU KPK, kini, Pemerintahan RI bersama DPR telah sepakat bulat untuk merekodifikasi kejahatan luar biasa, yaitu seperti: korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, terorisme, narkotik, dan pencucian uang di dalam Revisi KUHP.
ADVERTISEMENT
Pengesahan Revisi KUHP ini akan membawa implikasi hukum yang sangat menguatirkan karena dapat menyebabkan UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Pencucian Uang tidak berlaku lagi.
Ada pasal peralihan yang mengatur bahwa pelaksanaan kodifikasi selambatnya tiga tahun setelah revisi KUHP diundangkan. Itu artinya, perundangan tipikor di atas akan “perlahan-lahan dimatikan” hingga kematian yang abadi.
Ada beberapa pasal yang potensial menghapus atau setidaknya melemahkan eksistensi dan kewenangan KPK dan Kejaksaan dalam penanganan tipikor, seperti tersebut di dalam: pasal 687, pasal 706 dan pasal 767. Unsur pidananya menjadi lebih ringan dan tidak sepenuh-penuhnya mencerminkan prinsip premium remedium.
Kerja sama antara pemerintah dengan DPR dalam melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dikonfirmasi oleh Enny Nurbaningsih, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Enny menyatakan, pemerintah telah menyelesaikan rancangan untuk mengatur pola tindak pidana khusus. Itu artinya, pemerintah secara sadar, diam-diam, sengaja dan sistematis berupaya melemahkan kebijakan pemberantasan korupsi yang kuat, tegas dan paripurna.
Serangan “maut mematikan” yang lain tak kalah riskannya. Hal ini ditandai dengan kenekatan parlemen untuk terus mendesakkan pelaksanaan Hak Angket. Ada yang sangat menarik dari proses ini, Ketua Pansusnya, politisi senior dari Partai Golkar. Partai yang dicap banyak kalangan sebagai penguasa era otoritariain rezim Orde Baru yang ditaklukkan Era Reformasi.
Sang Ketua Pansus, diduga, punya potensi melakukan “revenge” untuk “menganiaya” KPK sang anak kandung Reformasi.
Sesuai TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan No. VIII/MPR/2001, KPK dibentuk dengan mandat politik yang sangat jelas, salah satunya, melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan tegas, khususnya, pada penguasa pelaku kejahatan korupsi dengan membawanya ke pengadilan.
ADVERTISEMENT
“Dagelan politik” ini, tidak hanya melawan TAP MPR dan dapat dijadikan arena “balas dendam” saja tapi juga potensial menjadi bagian dari proses pembusukan Era Reformasi.
Selain itu, konflik kepentingan mewarnai dan menjadi bagian penting dari proses pembentukan Pansus Angket KPK karena sebagian anggotanya adalah pihak yang potensial terlibat dan menjadi pelaku kejahatan dalam kasus E-KTP dan kejahatan lain yang rengah diperiksa KPK.
Padahal konflik kepentingan adalah salah satu akar masalah korupsi. Jadi, lembaga anti korupsi tengah dikorupsi melalui proses politik. Belum lagi, pembentukannya dipenuhi “aroma” kebencian sehingga dipastikan tidak akan menghasilkan keadilan dalam bentuk apapun.
Pendeknya, Era Reformasi nampak mulai berbalik arah dan kehilangan substansi hakikinya. Semula, reformasi didasarkan atas spirit dan moralitas yang sangat jelas, berupa perlawanan atas rezim otoritarian yang bersenyawa dan bersekutu dengan maharaja korupsi.
ADVERTISEMENT
Kini, ada sinyalemen yang kian tak terbantahkan, Era Reformasi saat ini bukan anti tesa dari rezim Otoritarian Orde Baru.
KPK dihadapkan pada situasi kritis yang paling parah dalam menghadapi soliditas tanpa batas dari koruptor dan segenap kurawanya. KPK tengah dijagal dan dijegal, ditelikung, dikebiri dan diluluh-lantakan agar dapat segera “dikebumikan” tanpa syarat apapun. Keseluruhan kedzaliman di atas dipastikan diorkestrasi oleh kekauatan oligarki, kartel politik dan penguasa tidak amanah yang justru terlibat di dalamnya.
Akhirnya, pada kekuatan daulat rakyat dengan segenap kewarasannya, kita berharap dan bersamanya untuk berkelahi melawan korupsi.
DR. Bambang Widjojanto, Senior Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
ADVERTISEMENT