Magnet di Morowali itu Bernama Bahodopi

24 Mei 2018 13:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Gelap dan sunyi adalah teman sehari-hari warga Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, kala malam menjelang. Teknologi bernama listrik belum menjamah tempat ini.
ADVERTISEMENT
Bila fajar menyingsing, masyarakat Bahodopi mulai bergerak menuju sawah. Suasana agraris begitu tampak di desa yang telah mekar menjadi kecamatan ini. Hamparan sawah padi menghijaukan wilayah ini. Mayoritas masyarakat hidup dari sektor pertanian.
Tetapi, itu dulu, pemadangan Bahodopi sebelum tahun 2010.
"Berburu" TKA China di Morowali (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Saat ini, mayarakat Bahodopi tak lagi berteman gelap dan sunyi. Listrik sudah mengaliri wilayah ini. Anak-anak mulai bisa melihat dunia lebih luas dengan televisi. Bahkan, warga dari wilayah lain mulai datang berbondong-bondong ke tempat ini. Alasannya tak lain tak bukan karena ingin mendapat jaringan internet yang lancar. Ya, di tempat ini akses internet sudah ada, bahkan warga bisa menikmati jaringan 4 G.
Wajah baru Bahodopi berubah tak serta merta begitu saja. Nyatanya, kandungan bumi dalam perut Bahadopi adalah musabab transformasi ini.
ADVERTISEMENT
“Jadi memang adanya perusahaan (tambang) di Morowali membawa perubahan yang signifikan, salah satunya listrik tadi,” ungkap Adriansa Manu, Manajer Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka, LSM di Morowali, kepada kumparan, Selasa (15/5).
Listrik datang setelah sebuah PLTU dibangun di sana. Tenaga uap dihadirkan untuk menjalankan roda aktivitas pertambangan. Oleh karena itu, masyarakat Bahodopi yang notabene tinggal di dekat kawasan itu turut dialiri listrik.
Sejumlah pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Di Bahadopi, terdapat kandungan nikel yang besar. Kementerian ESDM merilis data tahun 2016, terdapat 15.608.200 ton cadangan nikel di Bahodopi. Perusahaan tambang pun hadir di Bahodopi. Di antara yang terbesar, ada PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Kehadiran perusahaan tambang ini nyatanya semakin menambah ramai Morowali, khususnya Bahodopi. Para pekerja dari luar Morowali berbondong-bondong datang ke wilayah ini. Ada dari Sulawesi Selatan, bahkan juga yang berasal dari pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, para Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China pun ramai-ramai menyerbu tempat ini. Di PT IMIP, data dari perusahaan menyebut ada sekitar 2.100 TKA China yang bekerja di sana.
Bila ditilik, PT IMIP sendiri merupakan perusahaan pengembang kawasan industri terintegrasi. Perusahaan ini merupakan hasil kerja sama dari Tsinghan Group (China) dan juga Bintang Delapan Grup (Indonesia).
Laila, salah seorang warga Desa Fatufia, Bahodopi tempat PT IMIP beroperasi, mengaku keberadaan industri tambang mengubah wajah desanya.
“Dulu itu sulit kalau belanja baju-baju, harus ke Bungku (pusat kota Morowali) dulu. Sekarang di sini sudah ramai, apa saja ada,” tutur Laila.
Pekerja Tenaga Asing di Pasar Bahodopi, Morowali (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Menurutnya, dahulu Fatufia tak ubahnya daerah tak bertuan yang jauh dari keramaian. Sepi dan gelap jadi santapan sehari-hari penduduk Fatufia. Semuanya berganti ketika Industri tambang merajai Fatufia. Mulai dari pasar, hotel, hingga karaoke tersedia di sana.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya wajah desa yang berubah. Mata pencaharian penduduk pun tak ketinggalan. Sebagai daerah pinggir laut, mayoritas penduduknya pun bekerja sebagai nelayan. Namun kini, nelayan dari Fatufia sudah bisa dihitung dengan jari.
“Sekarang sudah hampir tidak ada. Semenjak ada tambang, warga desa sini banyak yang ikut kerja jadi buruh di sana,” tambah Laila.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kehadiran perusahaan tambang ini ternyata mendatangkan berbagai konsekuensi. Hal tersebut diungkapkan oleh oleh Adriansa Manu.
Wilayah pertambangan di Bahodopi (Foto: dok. Adriansyah Manu)
“Tidak bisa dihindarkan adanya perusahaan tambang ini membawa kerusakan alam. Kawasan tambang yang berada di atas kemudian membuat sawah yang berada di bawah tercemar limbah pabrik dan tidak produktif,” sebut Adriansa.
Saat sawah tidak lagi produktif, para petani pun dihadapkan pada kerugian. Produksi beras lokal tak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Akibatnya, masyarakat harus membeli beras dari wilayah lain yang harganya dua kali lipat lebih mahal dari beras produksi mereka.
ADVERTISEMENT
“Biasanya kalau harganya Rp5.000 bisa jadi Rp10.000,” kata Adriansa.
Terlepas dari itu, Bahodopi realitasnya sudah disulap menjadi tempat yang terang dan tak lagi sunyi. Namun, perut Bahodopi kini juga tak lagi tenang. Ia terus terkoyak seiring usaha manusia memperbaiki hajat hidup.
Diserbu pekerja China,. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)