Perasaan dan Firasat dalam Jurnalisme Indonesia

Konten dari Pengguna
8 November 2018 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Hijriah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membedah kecelakaan Lion Air. (Foto:  Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membedah kecelakaan Lion Air. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Bagaimana perasaan Anda dan sebelumnya ada firasat apa?” Pertanyaan tersebut nampak selalu ada dalam praktik jurnalisme bencana di Indonesia. Terlebih dengan jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang, Indonesia kembali berduka, pada Senin (29/10). Beberapa media massa masih menggunakan judul bertajuk "firasat" dan "perasaan" untuk menarik pembaca. Di antaranya, berita yang dimuat oleh Liputan6.com dengan judul Firasat Siti Carlina Sebelum Kecelakaan Lion Air JT 610.
ADVERTISEMENT
Wartawan Kompas sekaligus penulis buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, Ahmad Arif, menyinggung hal tersebut dalam kuliah umum yang diselenggarakan Prodi Jurnalistik Fikom Unpad bertema Jurnalisme Bencana: “Komodifikasi Bencana di Media Massa”, Rabu (31/10), di Auditorium Pascasarjana Fikom Unpad, Jatinangor. Menurutnya, media di Indonesia tidak lepas dari jenis pertanyaan tersebut.
Pria yang akrab dipanggil Kang Aik ini, membandingkan dengan berita penyelamatan anak di Thailand yang terjebak di dalam gua. “Ada hal menarik dalam penyelamatan anak di Thailand yang terjebak di gua, yaitu nama anak tidak perlu diungkap, tetangga tidak perlu diwawancara, tidak ada dukun, ustaz dan politisi diminta komentar, keluarga tidak ditanya 'bagaimana perasaan Anda dan sebelumnya ada firasat apa?',” jelas Arif.
Ilustrasi pers (Foto: Nunki Pangaribuan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pers (Foto: Nunki Pangaribuan)
Aik menuturkan bahwa seorang jurnalis harus bersabar dan berhati-hati dalam melaksanakan praktik jurnalisme bencana. Waktu yang tepat dalam mewawancara merupakan etika yang perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Arif pun memiliki pengalaman ditolak oleh salah satu korban Tsunami Aceh yang kakinya sampai harus diamputasi. Namun, Ia bersabar hingga akhirnya mendapatkan kesaksian hidup dari korban.
Menurutnya, peliputan bencana merupakan liputan yang paling sulit karena berhadapan dengan orang yang sedang mengalami masa trauma. “Kita harus berhati-hati karena bisa saja kita pun terpapar trauma,” lanjut Arif. Dalam praktiknya, seorang jurnalis harus menjaga perasaan keluarga korban dan penyintas. Menumbuhkan optimisme terhadap publik dan mengedukasi khalayak tentang mitigasi bencana adalah hal terbaik yang seharusnya dilakukan media, pungkas Arif.