Potret 'Telanjang' Lapas Koruptor Sukamiskin

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
24 Juli 2018 10:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ruang Percetakan Lama,Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung, Bandung. (Foto: Instagram/@rosiana1990)
zoom-in-whitePerbesar
Ruang Percetakan Lama,Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung, Bandung. (Foto: Instagram/@rosiana1990)
ADVERTISEMENT
KPK menangkap “koruptor” di Lapas “koruptor” Sukamiskin. Apa yang aneh? Lebih-lebih, di negeri di mana “kekuasaannya” secara kasat mata, dipandang tak sepenuh hati memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang bisa dipotret dan dipelajari agar kita tidak meninggikan kebodohan dengan melakukan “kedunguan” berulang kali dipersoalan penjara, koruptor, dan kekuasaan yang tidak amanah.
Akui saja, fakta OTT KPK di LP Sukamiskin tak sekadar ironi tapi tragedi. Bahkan, tak sekadar riak biasa korupsi tapi tsunami tak bertepi dari masifitas akumulasi kejahatan di proses penegakan hukum yang terjadi dari hulu hingga hilir.
Korupsi jenis ini bukan kali yang pertama dan tidak ada satupun yang menjamin tak akan terjadi lagi “jual beli” fasilitas sel penjara ilegal yang diduga “dilindungi”.
Hanya pihak yang “bongak”, “ponggah”, dan “cupet” pikiran dan hatinya yang tak paham, salah paham, dan punya paham salah atas fakta dan magnitude dampak korupsi di Lapasnya Koruptor.
ADVERTISEMENT
Pihak itu diduga tengah berkhayal dan mengeksploitasi libido imajinasinya dengan melakukan framing bahwa OTT KPK di Lapas Sukamiskin adalah tindakan sensasi untuk menekan supaya revisi KUHP tidak diteruskan.
Pihak tersebut juga diharapkan berhenti untuk mengada-ada dan mengumbar dalih yang menyesatkan. Lembaga pemasyarakatan, khususnya, petugas pemasyarakatan merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum sesuai UU Pemasyarakatan.
Institusi itu adalah bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu sehingga pemasyarakatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.
Akui juga, penjara adalah ujung dari seluruh proses penegakan hukum yang panjang dan begitu mahal yang dimulai dari penyidikan. Penegakan hukum bukan sekadar untuk menegakan kepastian hukum dan mewujudkan keadilan tapi juga ditujukan untuk menjamin tersedianya ketertiban dan perlindungan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi, ditujukan untuk menjaga keselarasan, keseimbangan, dan keserasian nilai moralitas dan level keberadaban suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Korupsi di penjara yang tak mau dan tidak mampu dikendalikan adalah upaya sistematis dan sengaja untuk “menghina-dinakan” seluruh upaya revoluasi mental.
Karena penjara harus ditempatkan sebagai latar depan yang dapat memperlihatkan seberapa besar tekad, upaya, dan keseriusan untuk menunaikan janji dalam mewujudkan Indonesia sebagai suatu Negara Hukum.
Akui saja kita tengah melakukan kegagalan. Jika tidak mampu mengurus penjara sesuai tujuan pemenjaraan, jangan pernah bermimpi akan mampu diwujudkan suatu negara hukum yang dapat mengakomodasi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Urus penjara saja tidak sanggup, apa mungkin dapat mewujudkan negara hukum yang dicitakan di dalam konstitusi.
Bukankah revolusi mental itu dimaksudkan untuk meningkatkan spiritualitas dan integritas serta juga ditujukan untuk memuliakan keadaban dan memunculkan peradaban dalam kaitannya dengan pembangunan karakter bangsa untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Jadi, “legalisasi” diam-diam atas transaksi ketidakadilan yang terjadi begitu sistematis di penjara bukan persoalan remeh-temeh belaka.
ADVERTISEMENT
Untuk jelasnya, lihat saja, UU Pemasyarakatan dengan sangat eksplisit menegaskan, sistem pemasyarakatan ditujukan agar Warga Binaan, termasuk koruptor, menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana. Diharapkan, mereka kelak dapat kembali bertanggung jawab serta berperan aktif kembali dalam pembangunan.
Akui sajalah, kita telah gagal menggapai tujuan yang dirumuskan di dalam UU Pemasyarakatan. Bagaimana mungkin dapat diwujudkan, sementara, ada praktik perdagangan dalam pemberian dan penyediaan fasilitas di dalam sel penjara.
Lihat saja, di Lapas Sukamiskin ditemukan ada fasilitas pendingin ruangan (AC), televisi, rak buku, lemari, wastafel, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk dan water heater, kulkas, dan spring bed. Ada netizen mengomentari “Ya ampun ada speaker, microwave, kulkas....hahahahaaa koplaaak”, “Buju busyet … ada toko elektronik dalam lapas plus lengkap mesin ATM.”
ADVERTISEMENT
Lalu, apa cukup menterinya sekedar minta maaf tanpa mau mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawabnya dan dilakukan seremoni sidak serta diniatkan untuk melakukan “pembongkaran” berbagai fasilitas di luar aturan resmi kepenjaraan. Faktanya, apa lacur, belum lagi sehari berselang, sebuah media sudah memberitakan, Gazebo di Lapas Sukamiskin ditunda pembongkarannya.
Belum lagi jika dikaitkan, Menteri Yasonna Laoly adalah pihak senantiasa berupaya untuk meliberalisasi PP No. 99 Tahun 2012 yang mengatur kebijakan remisi untuk para koruptor. Pada titik ini perlu diajukan pertanyaan reflektif, di mana sesungguhnya posisi dari kekuasaan atas upaya pemberantasan korupsi yang utuh, tegas, dan sistematis?
Hal ini kelak dapat dilihat, apakah kekuasaan mau belajar dari fakta OTT Lapas Sukamiskin dengan melakukan tindakan serius, yaitu antara lain: dilakukan revisi tujuan pemenjaraan yang mengedepankan efek “deterrent” sebagai bagian dari pembinaan, dirumuskannya kebijakan yang tidak menoleransi pemberian berbagai fasilitas yang bertentangan dengan tujuan pemenjaraan yang sudah direvisi, dikembangkannya sistem kontrol yang dapat menegakan akuntabilitas penggunaann kewenangan, dibangun dan ditingkatkannya integritas seluruh unsur dan elemen di Lembaga penjara secara tegak lurus dan tanpa padang bulu dan dilibatkannya publik untuk turut serta melakukan pengawasan atas penjara.
ADVERTISEMENT
Pendekanya, sudahlah, akui sajalah potret “telanjang” dan “wajah buruk” kondisi penjara di Indonesia melalui Lapas Sukamiskin sebagai wajah kita semua, khususnya kekuasaan; dan jadikanlah penjara sebagai “halaman depan” untuk mengukur keberhasilan rumah Indonesia dalam menegakan upaya untuk mewujudkan negara hukum.