news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sandiwara Teater Tak Hanya Pertunjukan Seni

Redaksi Suara Mahasiswa UI
Pers Suara Mahasiswa UI Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Konten dari Pengguna
3 Mei 2018 0:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Redaksi Suara Mahasiswa UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sandiwara Teater Tak Hanya Pertunjukan Seni
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Teater bukan hanya menjadi sarana mengaktualkan diri sebagai seniman, melainkan juga wadah untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi masyarakat dan media perpolitikan yang terjadi di Indonesia, selama perjalanannya dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
“Pada suatu waktu tertentu mungkin teater-teater itu baik yang tradisional maupun yang modern itu terkooptasi oleh perkembangan situasi, secara sosial politik, budaya, dan ekonomi, pada suatu kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, setiap periode itu memiliki kekhasannya sendiri-sendiri,” tutur M. Yoesoef selaku Dosen Sastra Indonesia Universitas Indonesia.
Teater di Indonesia juga terbawa pengaruh dari orang-orang Belanda khususnya yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya yang kemudian disebut sebagai teater tradisional. Namun pada masa itu, teater sendiri belum berafiliasi dengan gerakan politik di Indonesia.
Berbeda dengan masa kependudukan Belanda yang hanya mempergunakan teater untuk hiburan semata, pada masa kependudukan Jepang teater digunakan secara aktif untuk menjadi media propaganda kepada masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Sandiwara atau grup-grup sandiwara itu dipakai oleh pemerintah barat (dan –red) tentara Jepang. Untuk apa? Untuk propaganda. Untuk apa? Propaganda untuk mendukung perang Asia Timur. Jadi, tugas para seniman secara umum adalah mempropagandakan bagaimana menyukseskan perang Asia Timur Raya,” ujarnya.
Ilustrasi teater kuno (Foto: AFP/Mahmud Turkia )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teater kuno (Foto: AFP/Mahmud Turkia )
Teater yang ditampilkan tidak hanya menggunakan bahasa Melayu, tetapi juga menggunakan bahasa daerah yang lain, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Pada tahun 1950-an, grup-grup drama mulai muncul kembali, namun berbeda landasan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu menjadikan teater sebagai alat untuk menarik massa, sehingga teater zaman itu berlandaskan politik. Di Indonesia sendiri saat itu ada tiga kelompok, yaitu partai agama, partai nasional, dan partai komunis.
“Nah ketiga kelompok ini dengan segala macam partai-partainya tentu punya sayap-sayap kebudayaan ‘kan, sayap-sayap kesenian. Untuk apa? Mereka memproduksi pertunjukan, mereka menulis naskah-naskah drama sesuai dengan kepentingan mereka,” jelasnya ketika ditemui pada Senin (26/3).
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, tahun 1965 terjadi peristiwa G30S pada akhir masa jabatan Presiden Soekarno yang menyebabkan teater kembali tidak muncul. Namun, teater muncul kembali pada masa orde baru, tahun 1970-an. Pada 10 November 1968, dibangun Taman Ismail Marzuki.
“Dari situ, kita akan menemukan kreativitas para penulis drama, kreativitas pertunjukan. Kita ambil contoh nih, yang muncul pada saat itu dalam konteks teater di Indonesia,” tuturnya.
Adanya pembangunan gedung teater tersebut menyebabkan pertumbuhan teater di Indonesia, terutama era modern cukup bagus. Dibuktikan dengan banyaknya seniman, seperti Arifin C. Noer, Teguh Karya, Putu Wijaya, Danarto, Ikranegara, Wisran Hadi, dan Aldi Sasrafan. Pertumbuhan teater kembali mengalami penurunan ketika tahun 1980-an, dikarenakan adanya pergantian tim dewan kesenian Jakarta secara rutin, yang mengakibatkan penurunan dalam tata kelola Taman Ismail Marzuki dan atmosfer kesenian pun menjadi turun. Ditambah lagi dengan didirikannya gedung bioskop yang seakan menjadi pesaing seni teater.
ADVERTISEMENT
Tetapi, ada jenis teater yang masih tetap berjaya saat itu, yaitu Teater Koma, teater yang menampilkan sebuah lelucon disertai dengan pemain yang menirukan perilaku para pejabat. Sehingga kala itu teater berfungsi sebagai alat kritik.
“Dalam hal ini, teater berfungsi sebagai alat kritik terhadap kebijakan, terhadap kekuasaan, terhadap perilaku para pengambil keputusan dan segala macem,” tuturnya.
Teater pun pernah dibredel oleh pemerintah. “Pernah Teater Koma dibredel kan tidak boleh pentas. Kenapa? Karena menyinggung Soeharto, menyinggung perilaku Cendana,” lanjutnya.
Pada tahun 1990-an teater kembali mengalami perubahan landasan yaitu teater dipakai untuk menyatakan suatu kasus dan mengutarakan suatu kegelisahan tertentu. Contohnya drama oleh Putu Wijaya yang berbicara mengenai hutan Kalimantan yang rusak dan membuat penonton terbawa dalam drama tersebut.
ADVERTISEMENT
“Nah jadi dalam hal ini kita akan mengetahui bahwa dari setiap periode itu akan memunculkan suatu kondisi-kondisi yang berkait dengan perkembangan. Perkembangan siapa? Perkembangan sosial, politik, budaya pada suatu masyarakat tertentu,” ucapnya.
Saat ini, di tengah perkembangan teknologi mengakibatkan masyarakat dapat dengan mudah menyatakan sesuatu. Pertunjukan teater semakin jarang diminati oleh masyarakat dalam konteks menyuarakan pendapat karena kalah cepat dengan media sosial.
“Jadi tinggal apa yang ada di dalam teater kecuali sebuah ekspresi bersama antara sutradara, pemain, pemain musik untuk suatu kreasi. Pencapaian artistik barangkali itu masih sangat relevan,” tuturnya.
Fungsi teater saat ini kembali berubah yaitu untuk memberi hiburan bagi masyarakat di samping menyuarakan pendapat. Selain itu, Syifa Hanifah, selaku ketua Teater UI 2018, mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi teater di masa kini.
ADVERTISEMENT
“Kalau menurut aku pribadi, teater sekarang ini beberapa masih ada yang menjadikannya alat politik tapi udah gak sekuat dulu lagi, dengan teater yang sekarang ini kebanyakan sebagai pertunjukan seni, sebagai bentuk estetika seni pertunjukan yang meliputi banyak unsur seni lainnya,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa teater yang apabila dilihat dari konteks zamannya maka teater tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan suatu pesan kepada masyarakat melainkan bisa meliputi fungsi sebagai media pendidikan hingga “drama theraphy” yang merupakan fungsi teater untuk memperbaiki masalah psikologis seseorang.
Adapun Hari Teater se-Dunia yang jatuh setiap tanggal 27 Maret juga memberikan harapan tersendiri bagi Ketua Teater UI tersebut.
"Ya.. Harapan aku sederhana aja. Semoga Teater UI bisa jadi pelopor kebangkitan popularitas teater di Indonesia dan semoga teater di mana pun itu, selalu bisa memberi lebih dari sekadar liburan."
ADVERTISEMENT
Teks: Ajeng Riski Anugrah dan Grace Elizabeth Kristiani
Foto: Teater UI
Editor: Kezia Estha T.