Semua Murid Semua Guru: Mengakhiri Diri, Berhenti Menghakimi

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
10 Juni 2018 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang depresi. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang depresi. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Berita bunuh diri, menghias hari-hari ini — tokoh kenamaan, anak sekolahan, bahkan yang dilakukan di tengah ibadah di “rumah” Tuhan. Reaksi pertama kita (seberapa dekat ataupun jauh hubungan dengan pelaku) adalah “mengapa”. Kita butuh penjelasan yang tak jarang berujung menyalahkan.
ADVERTISEMENT
Data berkata, (upaya) bunuh diri, bukan peristiwa tanpa sebab yang tiba-tiba. Perbandingan yang serupa — serangan jantung yang muncul dengan rasa sakit di dada — sesungguhnya dipengaruhi banyak hal yang terjadi pada tubuh dan gaya hidupnya.
Pelaku bunuh diri sama kompleksitasnya. Sebagian memiliki penyakit psikotik (misalnya schizophrenia atau gangguan bipolar), sebagian kasus adalah keputusan impulsif yang biasanya dilakukan oleh orang dalam pengaruh narkotika dan zat adiktif lainnya.
Sebagian pelaku, punya alasan-alasan filosofis untuk mengakhiri hidupnya (misalnya oleh penderita penyakit terminal), bahkan ada bunuh diri yang dilakukan tanpa sengaja karena kebablasan dalam “permainan” atau tantangan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Proses bunuh diri, bukanlah proses yang mudah. Butuh “ketahanan” untuk melewati masa akhir kehidupan dengan penuh kesakitan, dan banyak yang menyerah di tengah percobaan (misalnya tak lama setelah menyayat diri atau saat dosis obat belum maksimal).
Banyak pelaku yang “berhasil” adalah punya pengalaman menyakiti diri dan kebiasaan “berani” dalam berbagai bidang kehidupan — berbagai hal seperti pengalaman menggunakan tatoo sampai menantang risiko bisnis dan olahraga ekstrem cendrung memperbesar resiko seseorang.
Bunuh diri juga tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang dirundung kegagalan. Seringkali, pelaku memiliki kesuksesan yang di permukaan patut dirayakan — biasanya berkait ketenaran, jabatan, atau kekayaan.
Sedihnya, keberhasilan ini datang dengan pengorbanan. Walau terpaksa tersenyum di depan umum, di saat yang sama bertarung dengan diri sendiri. Ingin berhenti atau ingin berlari dari “tanggung jawab” yang dimiliki. Mempertanyakan citra diri atau mempertanyakan makna teman sejati. Kesuksesan yang menjadi tak bermakna, karena dibayar dengan kebebasan dan kedamaian pribadi yang kelihatannya “murah” padahal tak ternilai harganya.
ADVERTISEMENT
Penderitaan, permasalahan kemasyarakatan, rasa kesakitan, dan putus harapan dialami oleh banyak orang dalam ujian kehidupan. Namun, pembeda utama pelaku bunuh diri adalah beban yang berlebihan.
Pertanyaan pemicu bagi pelaku adalah “apakah orang-orang yang saya cintai dan berarti bagi saya akan lebih bahagia tanpa adanya saya di dunia”. Pelaku bunuh diri, bukan orang yang memikirkan diri sendiri, sebaliknya, seringkali orang yang terlalu memikirkan orang lain di lingkungan.
Depresi, penyebab terbesar keputusan bunuh diri, masih banyak disalahpahami. Ada anggapan bahwa depresi sama dengan moody, atau bahkan lebay. Tak heran, banyak anggota keluarga yang mengalami gangguan emosional malah ketakutan akan pandangan lingkungan. Kesepian, merasa sendirian, tidak mampu mengutarakan apa yang ada di pikiran, tidak percaya bahwa keluarga adalah tempat yang aman. Semuanya memang bukan situasi yang normal.
ADVERTISEMENT
Namun sebenarnya, keinginan untuk didengarkan dan kebutuhan pada dukungan lingkungan bukan kelemahan, ini bagian dari kemanusiaan. Dunia tidak terbagi menjadi kelompok orang yang tergantung bantuan dan kelompok orang yang memberikan bantuan, kita berbagi dan bertukar peran sepanjang kehidupan. Ini bagian dari kewajiban sosial, yang sedihnya, justru kadang kita dilupakan.
Masalahnya, pertanyaan ini sengaja tidak diajukan oleh teman dan keluarga di sekitar, karena dianggap tidak nyaman. Pada akhirnya, kegagalan menjalin hubungan dan kepercayaan, yang seringkali membuat yang ditinggalkan dipenuhi penyesalan.
Perubahan perilaku yang mengawali keinginan dan percobaan bunuh diri, tidak mudah diamati. Marah dan mengkritik berlebihan, hilang konsentrasi, dan berubahnya kondisi emosi, perubahan nafsu makan dan pola tidur, sering dianggap wajar. Tetapi, bila hal yang biasanya menyenangkan misalnya berkumpul dengan teman makin jarang dilakukan, atau hobi yang ditekuni sudah mulai dihindari, maka ini adalah tanda awal bahwa orang tersebut membutuhkan perhatian.
ADVERTISEMENT
Sulitnya deteksi dini, seharusnya mengingatkan kita bahwa yang dibutuhkan adalah konsistensi. Kehadiran bagi teman dan keluarga dengan penuh empati tanpa perlu diminta. Membangun rasa aman bagi siapapun di lingkaran terdekat, sebelum tanpa merendahkan masalahnya hingga menjadi spiral yang tak berkesudahan. Mari berhenti menghakimi. Mengakhiri diri, tidak akan dipilih sebagai vonis dan solusi, bila kita semua memulai hari dengan menularkan damai di dunia ini.
#semuamuridsemuaguru