Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 3)

Konten dari Pengguna
9 November 2018 0:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chiara Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 3)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Foto: Dok. Pixabay)
Sudah beberapa minggu kisah yang akan saya ceritakan ini terus terbayang-bayang. Selalu muncul di setiap kesempatan, mengetuk-ngetuk hati saya meminta untuk diceritakan. Tapi jujur, saya bingung harus memulai dari mana.
ADVERTISEMENT
Baiklah. Saya coba ya…
Suatu ketika masih di New York, saya mau mengerjakan cucian baju yang terletak di lantai basement Gedung apartemen. Ruangan cuci kering ini cukup luas karena berukuran 6x6 meter yang diisi dengan 7 mesin cuci dan 7 mesin pengering. Sekilas ketika masuk tidak ada orang, namun ketika saya mau mengecek baju di mesin pengering ada seorang ibu-ibu berumur sekitar 68 tahunan, rambutnya yang telah memutih bergaya bob di atas bahu dan mukanya banyak kerutan. Tubuhnya termasuk imut, tingginya sekitar 145 cm dan jika berjalan agak membungkuk.
Kita sebut dia si Eyang saja ya. Si Eyang menunggu di balik pilar dekat mesin pengering paling besar. Mukanya marah dan kesal. Ketika melihat saya dia bilang “Is this your clothes?” sambil menunjuk mesin pengering tersebut. “Saya bilang bukan. Baju-baju saya di mesin pengering sebelahnya”. Kaget juga saya tiba-tiba ditanya dengan nada yang tidak mengenakkan.
ADVERTISEMENT
Ternyata dia sebal dengan orang yang mengeluarkan cuciannya yang belum kering di pengering dan dia sedang menunggu biang keroknya datang. Setelah meminta maaf karena telah berprasangka buruk dia memberanikan diri menanyakan.
“Can I ask you something personal?”
“Why do you wear this ? (sambil menunjuk ke hijab saya)”
“Does it have to be pink? (karena saat itu saya memakai hijab merah muda)”
“Can you wear other color?”
“Sorry for the many questions, I’m just curious. I’m Jewish and when I went to Jerusalem a few years ago I had an unpleasant experience where I was told to wear covered clothes when praying by other Jews. So I just want to know if you don’t mind.”
ADVERTISEMENT
Panjang Cyyyyn pertanyaannya si Eyang…
Saya jawab semampunya pengetahuan saya yang sangat terbatas. Ya, saya pakai hijab karena menurut saya wajib hukumnya bagi seorang muslim. Tidak, tidak perlu pakai warna pink. Bebas pakai warna apa saja untuk pakaian dan hijabnya yang penting matching. Si Eyang mengira bahwa muslim memiliki color code tertentu untuk kegiatan atau hari-hari khusus.
Saya tanya balik, kenapa dia diminta pergi dari tempat ibadah ketika di Jerusalem. Memang Eyang pakai baju apa sampai disuruh keluar?
“I was wearing short sleeves blouse and mid length skirt. They told me to wear something more covering and with a scarf to cover my head when praying. I find them very rude.”
ADVERTISEMENT
Jadilah sesi cuci baju saya malam itu dengan ngobrol panjang bersama si Eyang. Dia tersinggung dan tidak suka dengan cara orang yang menegurnya. Dia bilang “I was praying to my God and they interrupted of something that was totally personal for me. I’m a Jew too. Why can’t I pray in the Jewish house of worship.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 3) (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Dok. Pixabay)
Percayalah…mereka itu penarasan sama kita. Keingintahuannya besar, tapi dia sudah takut duluan mau negur karena stigma kita sebagai orang Islam dan sebagai komunitas adalah eksklusif dan sangat tertutup. Bagaimana orang asing bisa mengetahui tentang Islam dan kita sebagai muslim kalo kesannya sudah unapproachle duluan?
Setelah tinggal di Houston dan New York dan berinteraksi dengan berbagai macam orang, termasuk orang Yahudi, persepsi saya tentang mereka berubah. Tidak semua memuja-muja Zionisme dan mendukung pendirian negara Israel.
ADVERTISEMENT
Pernah satu ketika di stasiun subway terdapat sekumpulan orang Yahudi Ortodoks yang sedang membagi-bagikan brosur. Ketika melihat saya salah dari mereka langsung berjalan ke arah saya dan bilang “We support the Palestinian cause.” Wah saya terharu. Baru kali itu saya melihat orang Yahudi lengkap dengan payot (rambut jambang yang dibiarkan tumbuh dan dibentuk keriting seperti rambut Shirley Temple), tzitzit (tali putih yang diikat di pinggang dan dibiarkan menjuntai), dan topi hitam lebar menyebarkan brosur yang membunyikan penentangan terhadap Zionisme dan mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Rasanya gak percaya ada orang Yahudi yang baik. Ya, karena saya dulu suka diceritakan mengenai buruknya orang Yahudi, betapa bencinya mereka dengan orang Islam. Narasi yang saya terima rasanya orang Yahudi itu tidak ada benarnya. Salah semua. Namun setelah bertemu beberapa teman yang keturunan Yahudi rasanya malu sendiri telah su’udzon terhadap mereka.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 3) (2)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Dok. Pixabay)
ADVERTISEMENT
Lanjuuut…. Salah satu mata kuliah Sekolah Dinas Luar beberapa minggu yang lalu mendatangkan Romo Frans Magnis Suseno, rohaniawan Katolik dan budayawan Indonesia, sebagai narasumber untuk memberikan pencerahan terkait pluralisme. Salah satu peserta menyapa beliau dengan kata “shalom” sebelum melanjutkan dengan pertanyaannya.
Beliau menjawab, “Tidak banyak orang tahu bahwa kata shalom memiliki sentimen negatif dan pertama kali dipopulerkan oleh orang Kristen Evangelis di Amerika Serikat pada tahun 1970an sebagai bentuk dukungan mereka terhadap pendirian negara Israel. Tidak ada dalam sejarah Kristen atau Katolik budaya untuk mengucapkan kata tersebut. Dan saya tidak akan menggunakan kata tersebut sampai rakyat Palestina merdeka dan berdiri. Saya tidak setuju dengan negara Israel yang menindas Palestina secara hukum, ahlak, dan moral”.
ADVERTISEMENT
Ucapan beliau masuk ke hati saya. Beliau tokoh Katolik yang sangat disegani, memiliki pengetahuan luas, dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Keyakinannya tidak mencegahnya untuk melakukan hal yang benar.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 3) (3)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Dok. Pixabay)
Saya kadang merenung, saya beruntung memiliki keluarga yang cukup terbuka. Mama saya sedari kecil selalu mengajarkan untuk berteman dengan siapa pun, agama apa pun. Interaksi dengan teman-teman di sekolah swasta umum dan negeri juga membentuk pola pikir saya bahwa jangan terlalu cepat memberikan label terhadap orang lain.
Berinteraksi, berteman, dan memiliki hubungan dengan orang lain di luar kelompok kita baik dari sisi agama, etnis, ras akan memberikan pengalaman dan pemahaman tentang orang lain yang berbeda latar belakang dengan kita. Minimal kita tahu bahwa tidak semua orang yang berbeda agama, atau etnis itu jahat. Tidak. Sehingga apabila ada orang yang mencoba menyulut api kebencian tentang kelompok tertentu kita bisa menangkisnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki sejarah pluralisme yang kuat. Negara kepulauan tercinta kita ini sejak dahulu merupakan tempat transit pada saudagar dari berbagai belahan dunia. Saudagar Tiongkok, Gujarat, Belanda, Portugis yang datang melewati Indonesia turut membawa kebudayaan, adat-istiadat, agamanya dan melakukan asimilasi dengan orang setempat.
Kadang saya merenung, kenapa Indonesia begitu lama dijajah oleh VOC, ya memang kita mudah sekali dipecah belah. Rasa curiga atas golongan, agama, ras, dan etnis dijadikan alat utama mereka untuk dapat terus menguasai gugusan nusantara. Mungkin hikmahnya kita dijajah VOC adalah nenek moyang kita menyadari bahwa mereka tidak akan bisa mengalahkan VOC apabila tidak bersatu.
Hikmahnya semua etnis, ras, agama, golongan bersatu padu membela Indonesia dengan segenap tumpah darahnya. Makanya saya tidak rela apabila ada sekelompok orang yang dengan gampangnya menafikkan hak minoritas di negara ini. Memberikan label yang merendahkan, menyebarkan keresahan, ketakutan, dan berita bohong terhadap kelompok minoritas adalah pengkhianatan terhadap sejarah kita. Semakin kita terpecah-belah, semakin rapuh tenun-tenun kebangsaan yang telah dirajut. Untuk itu, penting bagi kita semua menjaga keutuhan nusa dan bangsa kita tercinta.
ADVERTISEMENT