Surat Dokter di Papua untuk Ketua BEM UI soal Kartu Kuning Jokowi

5 Februari 2018 13:46 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
dr. Yafet Yanri bersama anak-anak Papua (Foto: Facebook Yafet Yanri Sirupang)
zoom-in-whitePerbesar
dr. Yafet Yanri bersama anak-anak Papua (Foto: Facebook Yafet Yanri Sirupang)
ADVERTISEMENT
Aksi Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, yang memberikan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo pada Jumat (2/2) terus menimbulkan pro kontra. Banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengecam.
ADVERTISEMENT
Sejumlah politikus seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon bahkan ikut meniru aksi kartu kuning ini saat menghadiri Musyawarah Kerja Nasional 1 KAMMI. Sementara, Joko Widodo sendiri mengatakan akan mengirim anggota dan ketua BEM UI ke Kabupaten Asmat, Papua. Hal itu dikatakan Jokowi usai menghadiri Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (3/2).
Isu gizi buruk di Asmat memang menjadi salah satu alasan Zaadit memberikan kartu kuning kepada Jokowi. Pemerintah dinilai belum mampu menuntaskan masalah gizi buruk yang terjadi di Asmat.
Kini, di tengah polemik kartu kuning yang masih menghangat, seorang dokter yang bekerja di pedalaman Papua ikut angkat suara terkait isu gizi buruk di Asmat. Dokter tersebut bernama Yafet Yanri Sirupang.
ADVERTISEMENT
Yafet yang sudah lima tahun praktek di Papua itu, menulis sebuah surat terbuka kepada Zaadit melalui akun Facebooknya pada Minggu (4/2). Dikonfirmasi oleh kumparan (kumparan.com), Senin (5/2), Yafet telah mengizinkan tulisannya untuk dikutip.
"Saat ini saya masih bekerja di Kabupaten Mappi yang berbatasan langsung dengan Asmat dengan kondisi geografis yang hampir sama," ujar Yafet kepada kumparan, Senin (5/2).
Berdasarkan penelusuran kumparan, pada Senin (5/2), unggahan Yafet soal surat terbuka tersebut sudah tidak ditemukan. Tulisan Yafet kini banyak diunggah dan dibagikan ulang oleh pengguna Facebook lainnya. Yafet mengatakan, dirinya sama sekali tidak menghapus unggahanya soal surat terbuka tersebut.
"Soal tulisan belum saya hapus. Tapi sempat keblok sama FB tadi pagi sepertinya," kata Yafet.
ADVERTISEMENT
Menurut Yafet, aksi yang dilakukan Zaadit kepada orang nomor satu di Indonesia itu membuat banyak orang geram dan terusik, termasuk dirinya.
"Namun secara pribadi saya bersyukur. Hal ini membuat saya ingin memberikan gambaran kepada Anda (Zaadit) mengenai kondisi sesungguhnya pengalaman di Papua itu seperti apa. Hal yang sebenarnya malas untuk saya lakukan, tapi demi lo dit," tulis Yafet di surat terbukanya.
Yafet juga mengungkapkan apa yang ia sampaikan tidak terkait unsur politik melainkan berdasar pengalaman yang ia rasakan selama menjalankan tugas di Papua. Ia juga menilai sebagian besar masyarakat di Papua merasa puas atas kinerja Jokowi selaku Presiden.
"Karena terus terang Dit, Saya bahkan tidak mencoblos beliau (Jokowi) saat pilpres 2014 kemarin," terang Yafet.
Penderita Gizi Buruk di Asmat (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
zoom-in-whitePerbesar
Penderita Gizi Buruk di Asmat (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Pria asal Sulawesi Selatan ini justru mempertanyakan kepada Zaadit apakah ia sudah memahami latar belakang terjadinya kasus gizi buruk di Asmat. Yafet lalu menggunakan data dari UNICEF, lembaga PBB yang betugas untuk mengatasi permasalahan anak-anak di dunia. Dari data tersebut, menurut Yafet, gizi buruk dipengaruhi oleh tidak cukupnya asupan makanan dan penyakit infeksi.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan penyebab tidak langsung karena kurangnya ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga, pola asuh yang tidak memadai, serta masih rendahnya akses kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat," beber Yafet.
Lebih lanjut, dokter lulusan UKI Jakarta ini mengatakan masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, dan minimnya kesempatan kerja. Ia juga menyesalkan permasalahan gizi buruk selalu mengkambinghitamkan sektor kesehatan dengan mengabaikan peran-peran di sektor lainnya.
"Memang benar bahwa tenaga kesehatan di Papua sangatlah kurang, namun bukan hanya itu. Tenaga-tenaga ahli lainnya seperti insinyur, guru, dan lain-lain juga masih sangat kurang. Itu kendala pertama," tuturnya.
Kendala lainnya yang juga berpengaruh menurutnya, adalah kondisi medan dan geografis Papua. Seperti sulitnya menjangkau lokasi masyarakat di kampung-kampung dan dusun-dusun yang harus melewati gunung dan lembah, melintasi laut, sungai, dan rawa-rawa.
ADVERTISEMENT
"Makanya kasus gizi buruk sendiri di Papua sebenarnya sudah dari dulu terjadi, bukan hanya pada saat era Pak Jokowi," katanya.
Yafet mengatakan, upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut sudah mulai diatasi dengan pembangunan infrakstruktur untuk membuka akses ke daerah yang sulit dijangkau. Salah satunya adalah wilayah tempatnya bekerja yang kini sudah dialiri oleh listrik.
"Tempat tugas saya puskesmas Kota I Kabupaten Mappi tahun 2017 akhirnya dialiri listrik setelah 72 tahun Indonesia merdeka. Akses internet di Merauke sekarang enggak kalah kencang sama Depok, Dit," papar pria berusia 31 tahun ini.
Yafet juga meminta Zaadit sebagai mahasiswa untuk tidak berkoar-koar tanpa mengetahui realita di lapangan. Ia mengatakan gizi buruk tidak hanya terjadi di Papua, namun juga tempat-tempat di sekitar Zaadit berada.
ADVERTISEMENT
"Sementara faktanya, bahkan di Depok dan Jakarta saat ini juga masih ditemukan kasus gizi buruk, apalagi Papua? Lantas salah siapa? Mungkin lebih elok kalau Mas Zaadit kuliah dulu yang benar, jadilah orang yang ahli dan berkompeten di bidangnya. Nanti kalau sudah lulus ajak teman-teman yang lain ramai-ramai datang ke Papua dan tunjukkan secara nyata kontribusi kalian sesuai kompetensi yang dimiliki," jelas Yafet.
Yafet mengaku, bekerja di pedalaman Papua sangatlah sulit dijalani apabila hanya menilainya dari uang. Ia mengungkapkan banyak dari rekan-rekannya yang tidak betah dan memilih untuk secepatnya pulang dari Papua.
"Namun tidak sedikit juga yang bertahan dan akhirnya mencintai Papua," tambahnya.
Pria yang sejak tahun 2012 telah bertugas di Papua ini lalu menceritakan sedikit pengalamannya selama menjadi dokter di pedalaman Papua.
ADVERTISEMENT
"Bekerja di pedalaman Papua itu risikonya berat, bahkan bisa nyawa taruhannya. Pelayanan kesehatan dari kampung ke kampung yang jauh jaraknya menggunakan speed boat, long boat, atau perahu sampan di tengah teriknya matahari, derasnya hujan, apalagi ombak. Bahkan kadang berjalan kaki berjam-jam sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya," jelas Yafet.
Masalah lainnya yang pernah dirasakan oleh Yafet adalah kesulitan air bersih, ketiadaan akses sinyal hingga listrik. Yafet merasa bahwa pengalamannya selama lima tahun bertugas di Papua cukup beralasan untuk diceritakan.
Zaadit Taqwa (kedua dari kiri) (Foto: Instagram/ @zaaditt)
zoom-in-whitePerbesar
Zaadit Taqwa (kedua dari kiri) (Foto: Instagram/ @zaaditt)
Di penghujung suratnya, tak lupa Yafet meminta doa dari Zaadit agar dirinya bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis di UI. Menurutnya hal itu agar dirinya bisa bertemu dan saling bertukar pikiran.
ADVERTISEMENT
"Kita bisa sharing pengalaman gua di Papua, sambil lihat-lihat foto-foto di laptop. Pengalaman lima tahun jadi dokter di pedalaman Papua cukuplah untuk diceritain. Tapi doain dulu gua bisa keterima, biar nanti kalau sudah selesai sekolah gua bisa balik lagi ke Papua, siapa tahu lo mau ikut," pungkas Yafet.