Hari AIDS Se-Dunia Di Kala Pandemi

Ade wiharso
Seorang penulis, pemerhati sosial, politik dan ekonomi
Konten dari Pengguna
2 Desember 2020 7:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade wiharso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun ini kita memperingati hari AIDS se-dunia di tengah kesibukan menanggulangi pandemi covid-19. Momentum peringatan hari AIDS sedunia di tengah pandemi ini seharusnya mampu menyadarkan kita semua, bahwa meskipun virus corona saat ini tengah menjadi sorotan utama, namun sejatinya negeri ini masih terus berjuang melawan virus mematikan lainnya: HIV.
ADVERTISEMENT
Bangsa kita masih terseok-seok menghadapi virus HIV sejauh ini, bahkan Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan respon pencapaian hasil terendah dalam penanggulangan HIV di dunia. Tidak heran jika organisasi berbasis komunitas Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyebut Indonesia masuk dalam kategori darurat AIDS.
Banyak hal yang menyebabkan penanganan AIDS di Indonesia belum begitu menggembirakan, salah satunya masih terganggunya ketersediaan obat antiretroviral (ARV). Di Indonesia, keterbatasan stok obat ARV yang membantu pengidap HIV bertahan hidup telah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Padahal, para penderita atau ODHA harus meminum ARV setiap hari, agar virus tidak semakin menyebar dan menyebabkan kematian. Jika pasien HIV tidak mendapatkan pengobatan ARV, maka penyakit itu menjadi sebuah penyakit mematikan dan hampir seratus persen dapat meninggal dunia akibat HIV ketika mereka terinfeksi.
ADVERTISEMENT
Situasi pun semakin memburuk ketika pandemi covid-19 menghampiri negeri ini, sejak Maret 2020 lalu. Pandemi telah berdampak negatif terhadap rantai pasokan, ketersediaan, dan aksesibilitas ARV di tanah air, karena adanya lockdown di beberapa negara produsen. Padahal ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) menjadi salah satu kelompok yang bersiko tinggi jika terpapar COVID-19.
Buruknya ketersediaan obat bagi ODHA tersebut, tentu saja turut menurunkan pencapaian Indonesia dalam memenuhi target dari The 2016 Political Declaration on Ending AIDS. Bahkan, tanpa menghilangkan kerja keras pemerintah dalam penanganan AIDS di Indonesia, setidaknya kita harus jujur bahwa target kita mencapai komitmen global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 akan sulit tercapai, jika penaganan hanya business as usual.
ADVERTISEMENT
Perlu ada trobosan berarti untuk mencapai komitmen di mana terdapat target bernama 90-90-90 yang memiliki arti bahwa 90% ODHA tahu tentang statusnya, 90% ODHA sudah mendapatkan pengobatan, dan jumlah virus dari 90% ODHA sudah tidak terdeteksi atau virally suppressed. Sejauh ini, Indonesia gagal memenuhi target tersebut.
Berdasarkan persentase ODHA yang mengetahui statusnya, laporan UNAIDS 2019 menyebut Indonesia hanya lebih baik dari 6 negara di Asia Pasifik, antara lain Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Sementara yang terbaik dipegang Thailand, Papua Nugini, dan Malaysia. Selain itu, jikal melihat data statisktik, estimasi jumlah orang dengan HIV AIDS (ODHA) di Indonesia pada 2020 adalah 640.443 orang. Jika target global yang di harapkan sebesar 90 persen artinya 576.399 orang dapat teratasi. Namun capaian Indonesia pada 2020 hanya sebesar 54 persen yakni sekira 344.525 orang. Alhasil Indonesia memiliki gap terhadap komitmen sebanyak 231.874 orang.
ADVERTISEMENT
Masih banyak tantangan yang dialami ODHA untuk bertahan hidup, apalagi di tengah pandemi COVID-19 ini, yang membuat pengobatan mereka menjadi terganggu. Pandemi ini tentu telah menggangu kehidupan ekonomi banyak orang, tidak terkeculai sebagian ODHA yang selama ini mengandalkan pendapatan dari sektor non-formal. Kondisi keterhimpitan ekonomi inilah yang memaksa para ODHA mengesampingkan kebutuhan pengobatan HIV untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Stigma negatif
Tantangan yang tidak kalah seriusnya dalam penanggulangan AIDS di Indonesia adalah masih kuatnya stigma negatif terhadap ODHA. Padahal, stigma negatif inilah salah satu faktor yang mempercepat kematian ODHA. Di masa pandemi Covid-19 ini, kita setidaknya mengetahui betapa masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap penderita covid-19. Sehingga membuat mereka tertekan secara sosial. Hal demikian, sebetulnya telah lama menimpa ODHA, ketika mereka harus bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif itu tentu saja berdampak buruk, berupa rasa malu bagi penderita. Malu, suatu emosi negatif berupa perasaan tidak layak yang berkaitan dengan identitas inti seseorang, adalah konsekuensinya. Rasa malu membuat orang berperilaku yang bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka. Hal ini mendorong mereka untuk mencari aman di lingkungan dan komunitas yang justru berisiko.
Takut akan penganiayaan dan respons negatif seperti kekerasan, penelantaran, dan putusnya hubungan karena stigma yang berkaitan dengan HIV membuat orang menghindari mengambil tes atau menjalani pengobatan. Stigma ini meningkatkan risiko seperti keengganan mengakses layanan tes dan pengobatan yang akhirnya juga dapat meningkatkan risiko HIV dalam kelompok-kelompok tersebut.
Kita seharusnya dapat belajar dari strategi yang terbukti dapat mengurangi stigma terkait HIV di beberapa negara. Mengingat, negara yang secara strategis bisa mengurangi stigma terkait HIV telah menunjukkan jumlah tes yang meningkat dan pengobatan yang lebih baik. Hasilnya, infeksi HIV berkurang. Tren ini telah diamati, misalnya, di negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
ADVERTISEMENT
Ternyata, keberhasilan strategi penanganan HIV ternyata berbanding lurus dengan keberhasilan dalam menangani covid-19 di masa pandemi ini. Hal itu seperti yang kita temukan di Thailand dan Vietnam, bagaimana kedua negara itu bisa dikatakan lebih berhasil dibanding kebanyakan negara di Asia Tenggara dalam mencegah kematian dan kasus Covid-19 dengan mengurangi stigma negatif bagi penderita.
Ade Wiharso (Peneliti Inmind Institute)