Bung Karno Si Penyayang Binatang

Konten dari Pengguna
25 Maret 2017 3:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagaimana perlakuan Bung Karno kepada binatang?
Indonesia kaya dengan binatang. Sayang, cerita tentang peristiwa pembantaian dan penyelundupan binatang tak pernah berhenti. Pemerintah seperti tidak serius mengatasi ini.
ADVERTISEMENT
Ah, tapi saya tidak begitu berselera membahas kondisi pemerintah kita sekarang. Saya ingin menceritakan Bung Karno saja. Dan ini sama sekali bukan soal politik atau kisah kudeta yang menyedihkan. Ini tentang si Bung dengan binatangnya.
Bung Karno adalah penyayang binatang—bukan cuma pecinta perempuan, ya! Sejak kecil ia mendapat didikan yang 'keras' dari bapaknya, Raden Sukemi, agar menyayangi binatang. Juga dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, pemeluk Hindu yang taat.
Alkisah, pada suatu ketika, ia memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Ia tidak sengaja menjatuhkan sarang burung. Sukemi rupanya menyaksikan. Apa yang terjadi? Wajah Sukemi langsung pucat dan memerah karena marah.
“Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi binatang,” begitulah bapaknya memarahi si anak bontotnya yang masih berusia tujuh tahun itu.
ADVERTISEMENT
Sukarno ketakutan. Ia hanya bisa mengangguk dan berkata ‘Ya, Pak’. Bapaknya kemudian menjelaskan tentang arti ungkapan dalam ajaran Hindu: Tat Twam Asi. Artinya ‘dia adalah aku dan aku adalah dia.
“Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?” tanya bapaknya.
“Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada dalam kita semua,” kata Sukarno dengan patuh.
“Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?” Bapaknya terus mencecar pertanyaan.
“Ya, Pak.”
”Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu?”
“Ciptaan Tuhan, Pak.”
Meski Sukarno sudah meminta maaf, tetap saja ia mendapatkan sabetan rotan di pantatnya. Sejak itu, Sukarno begitu menyayangi binatang. Bahkan, ia terbiasa tidur dengan anjingnya yang bernama Kiar.
“Aku tidur dengan Kiar, suatu campuran dari fox terrier dengan anjing jenis Indonesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan jenis yang murni. Orang lslam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku mengaguminya," kata si Bung dalam otobiografinya.
ADVERTISEMENT
Ketika menjalani hukuman pembuangan di Bengkulu, Bung Karno juga memelihara dua anjing jenis dachshund. Itu pemberian dari seorang sahabatnya bernama Jimmy. Anjing tersebut dijuluki Ketuk Satu dan Ketuk Dua.
"Aku sayang sekali kepada anjing‐anjing itu. Ia kubawa tidur. Aku memanggilnya dengan mengetuk‐ngetukkan lidahku. Tuktuktuktuk. Karena aku tidak pernah memberinya nama, binatang‐binatang ini dikenal sebagai Ketuk Satu dan Ketuk Dua," kata Bung Karno.
Untuk menambah senang hatinya, Bung Karno juga coba-coba memelihara burung. Ia membeli 50 ekor burung gelatik dengan harga murah. Kemudian, ia membeli sangkar besar dan menaruh sepasang burung barau barau agar gelatik tak kesepian.
"Tapi kesenangan ini tidak menyenangkan hatiku. Kulepaskan binatang‐binatang ini. Aku tidak sampai hati melihat makhluk yang dikurung dalam sangkar," kata Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan-tulisannya di surat kabar, Bung Karno kerap bercerita tentang binatang. Bahkan untuk topik yang prinsipil: agama. Di Panji Islam 1940, misalnya, ia mengisahkan bagaimana mengatasi liur anjing yang dalam Islam termasuk najis atau kotor.
"Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci! Saya menjawab: Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin," kata si Bung.
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia bertanya: “Tidakkah Nabi Muhammad bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?"
Bung Karno menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.”
ADVERTISEMENT
"Muka Ratna menjadi terang kembali. Malam itu ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti muka orang yang mendapat kebahagiaan besar. Maha Besarlah Allah Ta'ala, maha mulialah Nabi yang Ia suruh!"
Meski harus berdebat dengan tokoh-tokoh pemikir Islam sekaliber Mohammad Natsir, Bung Karno tetap memegang teguh keyakinan bahwa Islam mencintai kemajuan. Muslim, katanya, harus mewarisi 'apinya' Islam, bukan 'abunya'.
Dalam kursus mengenai Pancasila di Istana Negara pada 1958, Bung Karno juga menceritakan hadist Nabi Muhammad tentang seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing. Perempuan itu, di panas yang terik, tak tega melihat anjing menjulur-julurkan lidahnya di sekitar sumur.
"Nabi berkata: Masya Allah, saya melihat perempuan ini masuk surga, oleh karena dia merasakan benar bahwa ada hubungan antara dua makhluk ini," cerita Bung Karno dalam kursusnya.
ADVERTISEMENT
Bung Karno menyadari bahwa selama menjadi presiden sikapnya memang serba paradoks. Ia dikenal sebagai diktaktor: menjebloskan musuh-musuh politiknya ke penjara, bahkan mengeksekusi mati Karto Soewirjo--pemimpin DI/TII yang merupakan sahabatnya.
"Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya, aku berbisik kepada binatang itu: hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku," kisahnya dalam otobiografinya berjudul Penyambung Lidah Rakyat itu.
Pada suatu kali, di Sumatera, Bung Karno pernah diberi seekor monyet. Si monyet diikat dengan rantai. Bung Karno rupanya tidak bisa membiarkannya. Ia menyuruh agar binatang itu dilepaskan kembali ke hutan.
"Ketika Irian Barat kembali ke pangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Ia dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya."
ADVERTISEMENT